Fiction
Aroma Gula di Ujung Senja [2]

10 Aug 2016



Bagian 2
Kisah sebelumnya:
Dikecewakan kekasihnya, Ginsa yang kuliah di Jawa memilih pulang ke kampung halaman di Bolaang Mongondow dan menjadi guru. Ia bergaul akrab dengan Amak Wetik, wanita tua yang tinggal sendirian. Di sisi lain, ada Hego, pria dari ibu kota yang datang untuk mencari orang tua kandungnya.
 
Jam tiga pagi Ginsa telah mandi. Rambutnya diekor kuda tinggi-tinggi. Poninya dibiarkan menjuntai ke wajah bagian kiri. Amak Wetik hendak mengajaknya mengambil gomutu ke kebun aren hari ini. Ada seorang teman Amak Wetik yang berbaik hati menggerutkan gomutu dari kulit batangnya, untuk kemudian bisa diolah oleh Amak Wetik dan hasil penjualannya akan dibagi dua.
Ginsa mengayuh sepeda menembus kabut. Udara dingin menyelinap ke sela sweater rajut yang ia kenakan. Membuatnya mengentak tergigil. Kuduknya meremang. Makin dilajukan kayuhan sepedanya agar bisa segera sampai ke rumah Amak Wetik yang berjarak lima ratus meter dari rumahnya.
Pikirnya, ia akan meminta segelas teh panas untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai gemetaran. Lima ratus meter bisa terasa bagai berkilo-kilo kalau sambil menggigil. Ia berkelok di ujung jalan. Memasuki sepetak halaman, kemudian terburu-buru memarkirkan.
Pintu rumah Amak Wetik telah terbuka lebar. Tungkunya sudah menyala dan wangi aroma nasi masak sudah menguar ke ruang penciumannya. Seketika perutnya memberontak. Terbayang di benaknya sepiring panada tongkol yang gurih. Ginsa bergegas masuk.
Assa-la-mu’ala-ikum,” ujarnya lirih, masih sambil menggigil.
Tak ada yang menyahut. Ginsa membawa langkahnya ke dalam kamar Amak Wetik. Barangkali Amak tertidur selepas menanak nasi. Ia buka tirai kamar tak sabaran.
Astaghfirullah!” jerit Ginsa, yang terkejut melihat seorang lelaki bertelanjang dada di dalam kamar Amak Wetik. Ia menutupi wajahnya, berlari kembali ke dapur.
Lelaki itu tak kalah terkejut melihat kehadiran Ginsa yang tiba-tiba. Ia buru-buru memakai pakaiannya.
Amak Wetik yang sedang sibuk menjemur pakaian segera berlari ke dalam.
“Ada apa?” tanyanya sedikit panik pada Ginsa.
Ginsa hanya menggelengkan kepala sambil menunjuk-nunjuk ke arah kamar. Sesaat kemudian keluarlah lelaki tadi, kali ini telah berpakaian rapi.
“Lain kali kalau masuk rumah orang beri salam dulu,” gerutu Hego culas.
“Su-sudah salam, kok, tadi,” jawab Ginsa terbata. Wajahnya bersemu merah. Tak berani menatap lawan bicara. Malah memandangi Amak Wetik dengan sirat penuh tanya.
Amak Wetik seperti menangkap kebingungan Ginsa.
“Kau ingat Hego?”
Ginsa mengernyit.
“Hego?”
Ada sebersit memori yang muncul ke permukaan otaknya. Hego.
“Anak Amak yang tinggal di Jakarta?” tanya Ginsa, ragu.
Amak mengangguk mantap. Hego menatap sinis, nyaris nyinyir.
“Amak lanjutkan menjemur pakaian dulu. Takutnya nanti tidak sempat.”
Amak Wetik sudah kembali menghilang.
“Kapan sampai?” tanya Ginsa, berusaha memulai pembicaraan.
“Semalam,” jawabnya.
“Oh. Pantas,” Ginsa mendingin.
“Pantas?” Hego mengernyit.
“Pantas aku tidak tahu,” jawab Ginsa, sambil menolehkan pandangan ke arah berlawanan.
“Memangnya kamu perlu tahu semua hal?” cetus Hego.
Ginsa mendelik kesal.
“Kalian berangkat duluan saja. Amak nanti menyusul,” ujar Amak Wetik yang tiba-tiba muncul dari balik daun pintu.
“Berangkat sama-sama saja, Mak,” protes Ginsa.
“Tidak bisa, sepedanya cuma satu. Nanti Amak menyusul sama Mak Tobi,” jawabnya tegas.
“Berangkat ke mana?” Hego kebingungan.
“Ke kebun aren,” sahut Ginsa.
 “Saya di rumah saja. Masih capek,” Hego bersungut enggan sambil berjalan meninggalkan dapur.
“Tidak boleh! Anak lelaki harus lebih giat bekerja daripada perempuan. Jangan jadi pemalas!” omel Amak Wetik.
Hego beringsut ngeri. Ginsa paham betul Amak Wetik paling tidak bisa dibantah, tapi Hego yang baru pertama kali bertemu merasa sangat terkejut. Dan entah apa yang membuat Hego tak berani membantah perkataan wanita tua itu.
Akhirnya mereka berdua berboncengan sepeda menuju perkebunan aren yang jaraknya kurang lebih satu kilometer ke utara.
“Kampung di mana-mana sama, ya,” ujar Hego, yang mengayuh ringan sepedanya seolah tanpa beban. Tampak betul kalau ia  orang yang gemar berolahraga.
“Tergantung cara kamu melihatnya,” sahut Ginsa.
“Jalanan masih tanah berbatu. Rumah-rumah gubuk. Kekeringan di musim kemarau. Mata pencaharian utama bertani, tapi jarang punya lumbung penuh padi. Listrik pun cuma orang kaya yang bisa menikmati.” Hego menarik napas dalam.
Ginsa terdiam. Menyadari kalau Hego melihat apa yang tidak pernah ia perhatikan.
Sejak kedatangannya kembali ke kampung, Ginsa hanya disibukkan dengan pemikiran akan kemerosotan moral. Sampai-sampai ia relakan  tiap Senin hingga Jumat ikut mengajar di sekolah bentukan Zending dan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang dulunya berfungsi untuk menampung lepasan sekolah rakyat. Meskipun letaknya jauh, Ginsa punya sebuah tujuan mulia. Ia ingin sejak dini menanamkan pentingnya budi pekerti pada anak-anak.
“Lalu dari penglihatanmu bagaimana?” Hego mulai bertanya karena Ginsa   diam saja.
“Kamu benar. Aku harus mengubah sudut pandangku,” ujar Ginsa melirih.
“Ha?” Hego kebingungan dengan jawaban Ginsa.
“Dulu waktu kecil, semuanya terasa damai, indah, tanpa masalah. Semua orang hidup berdampingan. Saling membantu dan tolong-menolong. Tapi, sekarang semua berubah. Kebanyakan orang hanya memikirkan diri sendiri.”
Hamparan pohon aren terbentang luas di depan mereka. Membentuk lukisan tanpa bayang bertakhtakan langit yang birunya melebihi lazuardi. Ginsa turun tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari sederet  julang pepohonan. Dedaunan bergemerisik syahdu ditiup angin yang berlalu. Menciptakan irama yang menohok kalbu.
Ginsa menarik napas panjang
“Sekarang semua berubah,” katanya lirih.
Hego hanya memandangnya heran. Belum bisa menangkap apa yang sedang wanita itu bicarakan.
“Aku selalu mempertanyakan soal moral. Tapi tidak pernah sekali pun terpikir untuk menanyakan apa yang memicu mereka menjadi seperti itu. Apakah karena hidupnya susah? Apakah malam-malam mereka gelap tanpa penerangan? Apakah mereka kelaparan? Ataukah karena pemerintah tidak pernah memperhatikan? Barangkali kalau hiudp mereka sejahtera, mereka tak akan sudi membuat orang lain sengsara.”
Hego terkesiap sesaat. Masih belum bisa menangkap.
“Di kota ini sedang marak poleagon,” tukas Ginsa, yang mulai menangkap kebingungan di mata Hego.
“Pole-apa?”
“Poleagon. Semacam hukum adat yang diberlakukan untuk menghukum pelaku kejahatan. Mereka diusir dari kampung.”
“Oh. Ada juga yang seperti itu zaman sekarang?” celetuknya.
Ginsa mengangguk.
“Sebenarnya sudah lama tidak ada. Tapi belakangan ramai lagi. Yang jadi masalah, kali ini dibumbui aksi kekerasan. Bukan cuma diusir dan diarak keliling kampung, tapi juga dihajar beramai-ramai. Kalau kata Amak, ini permainan politik. Terselubung.”
“Rumit kalau sudah bicara soal politik. Tidak ada ujung pangkalnya,” sambung Hego yang mulai paham.
Ginsa kembali mengangguk. Merasa frekuensinya telah setara dengan lelaki di sampingnya.
Anyway, kenalkan. Saya Ginsa.” Ginsa mengulurkan tangannya.
“Hego,” sambut Hego. “Asli sini, ya?”
Ginsa mengangguk ramah.
“Tapi kuliah di Yogya,” lanjutnya.
“Oh gitu. Ambil jurusan apa?”
“Hukum.”
“Oh. Pantesan.”
Pantesan kenapa?” selidik Ginsa.
“Terlalu kritis.”
Ginsa dan Hego terkikik geli.
“Sudah semester berapa?”
“Semester?” Ginsa hampir tidak mempercayai pertanyaan yang baru saja didengarnya.
Hego mengangguk ringan seolah tidak ada masalah dengan pertanyaannya.
            “Sudah selesai, kok,” jawab Ginsa yang telah berusaha menguasai diri.
“Oh. Sudah sarjana rupanya.”
Ginsa hanya menggeleng.
“Lalu? Kok, selesai? Putus kuliahnya?” tanya Hego ingin tahu.
Ginsa mendengus geli. Ingin sekali Ia segera menjawab pertanyaan itu. Barangkali memang begitu tipikal orang Jakarta, sering memandang remeh orang kampung. Ginsa penasaran akan seperti apa tampang Hego kalau tahu dirinya sudah meraih gelar master, tapi Ginsa menahan dirinya sekali lagi.
“Aku harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku,” Ginsa tampak merana memilah jawaban.
Ada yang menusuk perasaan Hego.
 
 
 
***
 
Lamat-lamat para penyadap nira berdatangan dari beberapa penjuru kegelapan. Dengan cekatan mereka memanjati pohon aren yang tingginya mencapai hingga empat puluhan meter.
Masing-masing pohon aren sudah dipasang sebilah bambu yang dilubangi sebesar ibu jari runtut dari bawah hingga ke puncak. Para penyadap nira memang harus terampil memijak lubang itu menggunakan kedua ibu jarinya untuk meminimalkan terjadinya kram kaki ataupun tergelincir.
Di tengah kegelapan dan udara yang menusuk tulang, para penyadap itu seolah melenyap. Nira hanya bisa disadap pada dini hari sebelum matahari terbit atau saat senja. Lepas itu, getah aren akan terfermentasi oleh sinar matahari menjadi tuak.
Amak Wetik dan Amak Tobi telah tiba bersama beberapa orang lain yang segera membawa serta Hego dan Ginsa ke dalam rerimbunan semangat hidup.
“Menyadap nira itu ada triknya. Tidak boleh asal,” Hego melirik ke arah Ginsa yang mulai pegal menggerut gomutu. Penyadap nira lain yang tengah beristirahat tampak memperhatikan Hego saksama.
Ginsa  makin kesal melihat tingkah Hego yang suka sekali meremehkan dan sangat sok tahu. Tentu saja para penyadap di sini jauh lebih berpengalaman. Tapi, lagi-lagi Ginsa hanya diam mendengarkan. Baginya, orang seperti Hego percuma dilawan.
“Tangkai bunga jantannya, harus rajin dipukul-pukul tiap beberapa hari sekali. Di hari pertama misalnya dilakukan pemukulan selama setengah jam, tiga kali sehari. Di hari berikutnya kita diamkan. Hari ketiga diulangi lagi,  tapi dikurangi jadi sehari dua kali. Berulang-ulang yang rutin.”
Para petani manggut-manggut.
“Dipukulnya pakai martil kayu saja. Jangan terlalu keras, nanti bisa patah. Supaya pembuluh-pembuluh tapis di dalam tangkainya menjadi longgar, atau bahkan pecah. Jadi aliran niranya makin deras,” tutur Hego, yang bicara bak penyuluh profesional.
Anehnya para penyadap nira itu seolah tersihir oleh semua perkataan Hego. Seolah ingin segera mempraktikkan ilmu yang baru saja mereka dapat. Wajah mereka tampak semringah memandang Hego. Bahkan beberapa dari mereka sempat menjabat  tangan Hego sebagai ucapan terima kasih.
Bisa ia lihat segaris senyum bangga di wajah Amak Wetik. Ginsa makin kesal.
 “Aku sangat menyukai pohon aren. Kamu tahu kenapa?” tanya Ginsa dengan nada bicara yang cukup serius ketika Amak Wetik dan yang lainnya telah kembali larut dalam pekerjaan.
Hego menggeleng penasaran.
“Karena pohon aren sangat bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Tidak ada satu bagian pun dari pohon aren yang tidak bisa dimanfaatkan,” lanjutnya.
Hego menyimak.
“Kamu lihat akarnya? Akar serabut itu membantu menggemburkan tanah. Artinya apa? Tanah di sekitar pohon aren menjadi subur. Meskipun serabut, jangan ragukan kemampuannya dalam menahan air. Lalu lihat batangnya. Ada dua lapisan. Yang keras ditumbuhi serabut hitam yang kita kenal sebagai gomutu. Bisa dijadikan sapu, keset, tali, juga atap rumah. Di sela-sela gomutu masih ada mumu’itam yang bisa digunakan para tonaas(* untuk menaweng. Sedangkan lapisan dalam jadi penghasil sagu.”
Mata Hego mulai berbinar.
“Daun yang muda bisa dipakai untuk hiasan di acara pesta. Daun yang tua bisa jadi dinding sabuah. Tulang daunnya pun jauh lebih kuat dari struktur tulang daun kelapa, yang tentunya bisa dijadikan sapu lidi. Makin ke atas, kita lihat buahnya. Di dalam buahnya yang sudah cukup tua bisa kita dapatkan kolang-kaling. Sementara dari tangkai buahnya bisa kita sadap nira. Setelah selesai disadap, tandannya masih bisa digunakan lagi untuk hiasan di acara pernikahan,”  papar Ginsa sambil tersenyum lebar.
 “Kau tidak mencintai lelaki itu, ‘kan?”
Ginsa melipat senyumnya. Sedikit mendengus kesal karena lagi-lagi Hego bersikap sok tahu segalanya.
“Apa filosofi pohon aren itu yang mendasari keputusanmu?” Hego masih tak lepas memandangi Ginsa yang dirasa jauh dari perkiraannya.
“Keputusan apa?”
“Setuju dinikahkan dengan lelaki yang tidak kau cintai.”
Ginsa hanya terdiam. Pikirannya membuana.                                         
Sinar matahari bergulir perlahan. Kilaunya menerpa sebelah muka Ginsa. Menciptakan siluet yang seumpama mahakarya Sang Kuasa. Hego memandang wanita itu lekat. Ginsa tampak sangat memesona dari jarak dekat. Ginsa merasa hangat pada sebelah wajahnya. Tapi hati Hego jauh lebih hangat.
“Kalau begitu, aku harus belajar hidup seperti pohon aren,” gumam Hego yang telah ikut memandangi cahaya pagi.
Ginsa mengangguk. Senyumnya terkembang.
 
****
 
Dua pekan berlalu, Ginsa belum kembali bertandang ke rumah Amak Wetik. Selain karena sibuk mengajar, Ginsa merasa segan dengan Hego. Ia tidak akan bisa mengobrol dengan leluasa seperti biasanya kalau Hego ada di antara dirinya dan Amak Wetik. Tapi jauh di dalam hatinya ingin sekali Ia bertandang ke sana. Ada yang Ia rindukan. Obrolan dengan Amak Wetik ataukah kehangatan yang Ia rasakan saat berada di dekat Hego?
Ginsa berusaha mencuci pikirannya. Ia paham betul Hego terlalu angkuh sebagai orang kota yang merasa tahu segalanya. Lagi pula, tak lama lagi Ia akan menikah dengan Guma, lelaki pilihan orang tuanya. Lelaki yang masih sama-sama keturunan bangsawan serupa keluarganya. Jadilah seharian itu Ginsa habis dalam lamunan.
“Permisi Ibu Inka,” sapa sesosok suara dari balik pintu ruang kelas.
“Ya, silakan Shifa.”
Seorang anak perempuan berjalan ke arah Ginsa. Mereka memang terbiasa memanggilnya Ibu Inka agar lebih akrab. Anak itu menenteng sebuah kantong plastik hitam.
“Shifa jualan apa hari ini? Bu Inka kangen, lho, sama panada buatan amak Shifa.” ujar Ginsa ramah.
Ginsa paham betul dengan kondisi ekonomi anak didiknya. Sebagian besar dari mereka harus bekerja selepas sekolah untuk meringankan beban orang tua. Bahkan tak jarang anak-anak lelaki melakukan pekerjaan kasar sebagai sopir bentor ataupun penyadap nira.
“Panada buatan Amak memang tidak ada duanya, Bu Inka. Tapi, hari ini Shifa bawa gula semut. Kata Amak repot masak panada. Gula semut jauh lebih menguntungkan.”
“Gula semut?” Ginsa mengernyit.
“Nah. Ibu baru dengar, ‘kan?”
Ginsa mengangguk.
“Ini Bu.” Shifa mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam kantong plastiknya, kemudian menyodorkan pada Ginsa.
Ginsa membuka bungkusan itu. Terhirup aroma manis serupa gula aren. Ia jumput sekenanya. Serupa gula pasir berwarna kecokelatan tapi butirannya lebih kecil dari gula pasir, meskipun tak selembut gula halus. Ginsa menjilatnya.
Hmm… enak, ya.”
Shifa semringah.
Sepulang mengajar, Ginsa mendapati beberapa pedagang gula semut dadakan di tepian jalan. Beberapa di antara mereka adalah tetangganya di kampung. Pemandangan yang sebelumnya nihil. Ginsa merasa seperti ketinggalan zaman. Ia pun melajukan skuternya pulang dengan perasaan heran.
Yang  makin membuat Ginsa heran, saat ia hendak meletakkan gula semut yang ia beli dari Shifa di sekolah tadi, sudah tergeletak beberapa kantong gula yang sama. Sebenarnya ia ingin bertanya dari mana asal gula semut yang ada di rumah itu, tapi Ginsa malas berbicara dengan orang rumah.
Senja itu Ginsa memutuskan untuk mampir ke rumah Amak Wetik. Sebelumnya ia memasak beberapa buah panada tongkol kesukaan beliau. Biasanya Ginsa membawakan Amak Wetik panada yang ia beli dari Shifa. Tak lupa ia bawa serta beberapa bungkus gula semut yang tadi hendak ia berikan untuk orang di rumahnya.
Lain dari biasanya, Ginsa menyibak rambutnya yang hitam. Beberapa kali Ia berkaca dan membolak-balik badan. Disemprotkan beberapa kali parfum beraroma cherry blossom yang sudah berbulan-bulan menganggur di meja riasnya. Tapi, kali itu Ginsa tidak bersepeda, Ia mengendarai skuter matic-nya.
Dari kejauhan rumah Amak Wetik tampak tidak seperti biasanya. Rumah itu ramai orang. Tapi Amak Wetik dan Hego tidak kelihatan. Ginsa  makin penasaran. Ia melihat orang-orang itu tengah mengangkut karung-karung beraroma manis dari dalam rumah Amak Watik.
Ginsa melangkah masuk memberanikan diri. Di dapur, Ginsa melihat dua buah mesin yang sangat asing baginya. Menyeruaki kerumunan, Ginsa langsung menuju ke kamar. Hari ini benar-benar aneh, pikir Ginsa.
Assalamu’alaikum,” ujar Ginsa  eragu.
Tak ada yang menjawab.
Assalamu’alaikum,” ujarnya sekali lagi.
Wa’alaikumussalaaam. Eh, ada calon pengantin datang,” jawab sesosok suara lelaki yang mendegupkan jantung Ginsa.
            Hego telah berdiri di belakangnya.
            “Bikin kaget saja!” omel Ginsa. Sejujurnya Ginsa tidak nyaman dengan panggilan calon pengantin yang dialamatkan Hego padanya.
            Hego terkekeh geli. Dalam hatinya ia merasa tidak sepantasnya memanggil Ginsa seperti itu. Namun hanya dengan panggilan seperti itu Hego bisa menyekati perasaan yang ia rasakan tiap kali memandang Ginsa.
            “Wah. Baunya enak, tuh,” Hego mendengus-denguskan  hidung sambil melirik tangan Ginsa yang menenteng sebuah kantong.
Ginsa terkikik geli.
            “Buat Amak,” tampiknya.
            “Jadi aku tidak boleh ikut makan?” goda Hego.
            “Syukur, deh, kalau tahu diri,” timpal Ginsa balas menggoda.
            Giliran Hego yang dongkol setengah mati.
            “Tapi Amak sedang pergi, tuh,” Hego merasa bisa menang.
            “Ke mana?” Ginsa menyelidik khawatir.
            “Ke kota. Menjual gula semut. Sama amak lainnya juga, kok,” tukasnya, menghapus kekhawatiran Ginsa.
“Gula semut lagi. Hari ini topiknya gula semut, ya?” dengusnya kesal.
“Memangnya ada masalah apa dengan gula semut?”
Ginsa diam. Ia tak mau memperlihatkan ketidaktahuannya di hadapan orang yang ia anggap paling sok tahu sedunia.
“Syukurlah para petani di sini terbuka terhadap perkembangan zaman. Mereka menyerap sesuatu dengan sangat mudah. Baru pekan lalu aku bercerita soal gula semut, sekarang semua sudah ingin mengembangkan usaha ini,” ujar Hego.
“Jadi ini semua ulahmu?” Ginsa hampir tak percaya.
“Ulah? Seolah-olah ini hal yang buruk buatmu. Padahal warga lain merasa ekonominya sangat terbantu. Ini namanya ekonomi kreatif,” Hego menggerutu.
Ginsa meringis segan. Dalam hatinya ia merasa salah menilai Hego selama ini.
            “Kalau Amak tidak ada, aku permisi pulang saja.” Ginsa beringsut menyodorkan bungkusan berisi panada ke arah Hego sekaligus menghindari perdebatan.
            “Lhoo. Kok, buru-buru. Sudah jauh-jauh masa langsung pulang?”
            “Jauh apanya. Cuma sepuluh menit dari sini,” Ginsa menggerutu.
            “Kalau cuma sepuluh menit, masa harus menunggu dua minggu baru bisa ke sini?” Hego mulai menggoda.
            Ginsa salah tingkah.
            “Duduk dululah. Sudah bertamu, kok, tidak minum-minum dulu,” pinta Hego. Kali ini dengan nada yang ramah.
            Ginsa memang sudah menunggu ajakan itu, tapi gengsinya setengah mati. Ia berpura-pura berpikir agak lama agar Hego terkesan memaksa.
            “Ayolah,” Hego terus meminta.
            Ginsa berpura-pura mendengus malas di hadapan Hego, tetapi dalam hatinya bersorak menang.
            “Bagaimana kalau kita ngobrol di luar saja. Tidak enak kalau di dalam kamar hanya berdua.” Pipi Ginsa menyemu merah.
            “Di luar ramai sekali,” Hego mengernyit enggan.
            “Kalau kita ke warung kopi bagaimana? Kamu harus coba kopi Kotamubagu. Kopi terlezat di dunia,” ajak Ginsa.
            “Oh ya? Kenapa aku baru dengar?”
            Ginsa hanya tersenyum lebar. (Bersambung)
 
*Tonaas= orang pintar

***

RAHAYU PERTIWI


Topic

#FiksiFemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?