Fiction
Aroma Dapur Tetangga

20 Jul 2016


MASTUR TERBATUK-BATUK. Perutnya yang sebesar beduk naik-turun menahan. Aroma ikan asin goreng menusuk hidung masuk ke dalam rumahnya melalui lubang angin selebar batu bata. Lantas berpusing di ruang tengah, mengusik Mastur yang sedang leyeh-leyeh sambil menemani Denayu menggosok pakaian. Sumpah serapah hampir saja meluncur sebelum Denayu menahannya dengan telunjuk ditegakkan di celah mulut. Denayu memberi aba-aba untuk berhenti. Bu Nurdiasih sedang masak, bisik Denayu begitu pelan seolah miskin suara. Mastur mengalah. Mastur keluar mencari udara segar ke teras rumah.
“Maaf Dik Denayu, bapaknya lagi ngidam ikan asin,” seru Bu Nurdiasih dari dapurnya.
Mboten punapa Bu, kebetulan pilek,” jawab Denayu berpura-pura agar Bu Nurdiasih tak sakit hati.
“Pilek? Memang sedang musim pancaroba. Ibu punya ramuan manjur dari Koh Apong.” Bila sakit Bu Nurdiasih gemar meminum ramuan Tiongkok.
“Tidak usah, Bu. Kemarin sudah diantar Mas Mastur ke klinik kampus,” Denayu mencoba menghindar.
Bu Nurdiasih menimpali dengan ‘ooo’ pendek. Lalu terdengar suara sreng, tanda sebujur ikan asin basah meluncur ke dalam minyak goreng panas. Serta merta aroma asin tajam kembali menghunjami hidung Denayu.
Syukurin!” goda Mastur dari teras. Mastur mengipas-ngipasi badan, mencoba  mengusir aroma menusuk dengan selembar koran. Dua kancing paling atas terlepas, memperlihatkan kilatan keringat yang lengket di pangkal leher Mastur.
Denayu hanya tertawa sebentar lalu tangannya kembali memaju-mundurkan setrika, menyemprot pengharum dan melipatnya.
Rumah kontrakan Denayu dan Mastur berimpit dengan rumah induk pemilik kontrakan, Bu Nurdiasih dan suami. Pasangan setengah baya mendekati renta tanpa putra. Sudah lima bulan ini mereka menempati rumah kontrakan tersebut. Mastur dan Denayu harus mengatur keuangan, Denayu mengambil pendidikan master dan Mastur kerja dosen bantu swasta. Semua harus diatur agar rencana bisa terkabul.

Rumah kontrakan tidak seberapa luas. Hanya ada dua kamar, satu untuk mereka istirahat, satu lagi untuk meja kerja serta perpustakaan kecil mereka, sekotak ruang tamu, dapur dan kamar mandi yang saling memunggungi. Tidak mengapa, anggaran menyewa rumah harus ditekan seminimal mungkin.
Dapur mereka hanya dipisahkan oleh tembok dengan dapur Bu Nurdiasih. Berkali-kali Mastur menutup lubang angin di atas dapur dengan kardus atau tripleks, agar aroma-aroma yang berasal dari dapur Bu Nurdiasih tidak mencemari rumahnya. Pun sebaliknya. Namun, hasilnya selalu nihil. Udara beraroma menusuk selalu berhasil masuk dan mengusik ruangan Denayu dan Mastur. Bila aroma bumbu bacem yang digoreng akan membuat liur membanjir, tentu sedap. Tetapi tidak jarang dari dapur Bu Nurdiasih berarak aroma-aroma menusuk hidung yang merangsang untuk bersin. Aroma ikan asin, terasi bakar, atau bahkan sekali pernah aroma sambal goreng yang pedasnya mampu membuat mata basah.
Sebenarnya belum pantas disebut rumah. Hanya sebuah tambahan ruangan yang mepet dengan rumah utama Bu Nurdiasih. Masih dalam satu pagar rumah Bu Nurdiasih, memiliki teras yang bersambung dengan teras rumah Bu Nurdiasih, dan yang paling meresahkan adalah bergabungnya dua dapur, dapur Denayu dan dapur Bu Nurdiasih.

Denayu, sebagaimana wanita modern pada umumnya, tidak punya waktu lebih untuk memasak. Denayu sedang fokus merampungkan tesis master. Denayu lebih suka membeli sayur dan lauk di pujasera ujung gang. Lebih murah, praktis, dan tidak menghabiskan waktu. Mau apa saja ada, begitu alasan Denayu. Denayu hanya memanfaatkan rice cooker untuk memasak nasi. Sedangkan Mastur suami jenis nriman, tidak rewel urusan makan, asal bisa memenuhi volume perut sudah membuatnya terpuaskan. Apa pun yang kamu hidangkan pasti aku makan, demikian Mastur memberi penjelasan kepada Denayu.
“Perempuan bisa memasak akan disayang suami,” katanya.
Keributan baik kecil maupun besar, di rumah tangga Bu Nurdiasih ditengarai karena tak lihainya istri memasak. Setiap hari Denayu dan Mastur harus berbagi kebisingan dengan suara bentakan suami Bu Nurdiasih. Sesekali perkataan kasar, umpatan nama binatang meluncur dari mulut suami Bu Nurdiasih. Lelaki yang berprofesi sebagai tukang ledeng itu tidak kuasa menahan lonjakan pitam. Apapun bisa menjadi biang percekcokan.
Termasuk pagi tadi. Suami Bu Nurdiasih tiba-tiba membanting ember di depan pintu dapur. Dari mulutnya terdengar ucapan kasar bahwa Bu Nurdiasih tidak becus mengurus rumah, tidak bisa mengurus suami. Mungkin itu pula yang membuat Bu Nurdiasih memasak ikan asin, pesanan suami sebagai peluluh amarah.

Cinta pertama kali tumbuh dari pandangan mata lantas merasuk ke dada. Namun setelah menikah, cara jitu melanggengkan cinta adalah menguasai persoalan perut (dan sedikit di bawah perut), lantas naik dan kekal abadi dalam dada. Itu wejangan ibu Denayu sebelum boyongan bersama Mastur. Bila rumah tangga mulai gonjang-ganjing, pasti ada yang tidak beres perihal dapur dan kasur.
Hipotesis tersebut tidak Denayu percayai, sebelum bercermin dari Bu Nurdiasih. Bu Nurdiasih tidak mahir urusan dapur hingga suaminya sering marah. Selain tak pandai mengolah penganan, Bu Nurdiasih tipe ibu-ibu yang tak mengacuhkan penampilan. Setiap hari, hanya memakai daster gombrang kembang-kembang. Perempuan memang tidak harus berdandan menor, tetapi minimal bisa memulas riasan hingga tidak lecek dan sesekali mengusir aroma bawang, kencur dari badan dengan wewangian. Bu Nurdiasih tidak. Usai membereskan urusan dapur dan cucian, dia dengan santai menonton televisi tanpa lebih dulu membersihkan badan. “Sekalian mandi nanti siang sebelum zuhur”, kata Bu Nurdiasih kalau kebetulan ditanya Denayu.
Tak jauh berbeda dengan suaminya yang juga lemah lunglai seperti gombal mukiyo. Tak rapi bila mencukur brengos, pakaian asal kena, dan yang bikin Denayu eneg adalah aroma apak keringatnya usai membersihkan ledeng.
Pantas selalu berantem, batin Denayu.

Perkara masak-memasak Bu Nurdiasih seharusnya lebih jago daripada Denayu. Dari aroma yang berhamburan hingga ke dalam rumah Denayu, bisa dipastikan masakannya juga seheboh aromanya. Nyatanya tidak! Di hari pertama pindahan, Denayu menerima ransum berisi nasi putih, tumis kacang panjang dengan tahu kuning, dan dua potong ayam bacem. Betapa gembiranya Denayu mendapatkan ibu kos sekaligus tetangga yang dermawan seperti Bu Nurdiasih. Seharusnya sebagai penghuni baru, Denayu-lah yang memberi bingkisan kue atau buah sebagai bingkisan perekat.
Ransum diletakkan di meja. Naluri seorang wanita membuat Denayu meraih sendok dan mencicipi masakan Bu Nurdiasih. Tumis kacang panjang, terlalu lembek dan dingin kurang bumbu. Sedangkan ayam bacemnya benar-benar terasa seperti ayam yang direndam kecap selama dua jam.
“Masakan dari siapa, Denayu?” tanya Mastur.
Denayu menoleh ke samping, memberi kode bahwa makanan tersebut dari penghuni rumah sebelah.
“Jangan dimakan, enggak enak!” seru Denayu.
“Asal makanan dan tidak beracun, aku doyan, kok.” Mastur menarik kursi dan mulai menuang tumis ke piring nasi. Mastur mengernyit sebentar, lalu seolah tanpa ada masalah melahap sepiring habis.
Semenjak itu, Denayu selalu berusaha menolak pemberian makanan Bu Nurdiasih dengan berbagai alasan yang tidak menyakiti hati tua Bu Nurdiasih. Denayu akan terjebak dalam dilema. Menerima makanan tidak enak dan membuangnya atau menampik yang berpotensi menimbulkan salah persepsi. Meski beberapa kali Denayu kecolongan, karena yang lebih dulu menerima makanan pemberian Bu Nurdiasih adalah Mastur, suaminya yang hanya mengenal makanan enak dan sangat enak.
 
DENAYU MELANJUTKAN menggosok pakaian. Dengan suara dari dapur Bu Nurdiasih tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Bubungan aroma menusuk harus Denayu tanggulangi dengan menutupi hidung dengan selendang. Beberapa menit setelahnya Bu Nurdiasih menyenandungkan sebuah lagu dangdut lawas dengan nada yang pating plethot, tidak keruan. Denayu ingin tertawa tapi ditahan agar tidak menyakiti hati tua Bu Nurdiasih.
Mastur sesekali menyiuli seekor kutilang, yang sepertinya juga mulai terusik dengan bebauan makanan dari dapur Bu Nurdiasih.
“Dik Denayu, hari ini masak apa?”
Denayu buru-buru melepas selendang yang membekap hidung dan mulutnya.
“Masak sayur asem sama tempe goreng, Bu!” Denayu membalas setelah mengatur napas.
“Wah, cocok, nih. Ibu lagi goreng ikan asin.”

Denayu hanya membalas tertawa kikuk. Lalu terdengar suara kenop kompor diputar. Tanda Bu Nurdiasih selesai memasak. Keributan kecil, yang sepertinya muncul karena Bu Nurdiasih merapikan perkakas, terdengar hingga ruang tengah Denayu. Dalam hati Denayu merasa selamat dari kepungan bau ikan asin.
Bu Nurdiasih tidak terdengar. Denayu kembali fokus menyelesaikan tumpukan cucian yang harus disetrika sebelum besok Senin dipakai. Denayu menangkap suara gebyuran dari kamar mandi. Tumben Bu Nurdiasih habis masak mandi, Denayu membatin.
Beberapa menit kemudian, saat Denayu masih melipati pakaian, Bu Nurdiasih keluar dari rumah.
“Mas Mastur, Dik Denayu mana?” suara Bu Nurdiasih bertanya kepada Mastur.
“Di dalam. Nyetrika,” jawab Mastur. Denayu tidak hendak menyahut.
“Ini Ibu buatkan ikan asin pedas. Cocok sama sayur asemnya Dik Denayu,” kata Bu Nurdiasih.
“Sebentar, Bu, biar saya bawa masuk dan ganti,” jawab Mastur begitu sopan. Denayu hanya tersenyum membayangkan wajah suaminya.
“Sebentar Mas Mastur, Ibu mau tanya. Memang kurang sopan sepertinya, tapi ini persoalan penting dalam rumah tangga Bu Nurdiasih dan Bapak. Karena kita sama-sama dewasa, jadi menurut Ibu tidak masalah kalau Bu Nurdiasih tanyakan.”
“Apa, ya, Bu?” Mastur bertanya agak serius.
Denayu di dalam rumah, mengangkat setrika dan mulai saksama menyimak apa yang hendak ditanyakan Bu Nurdiasih.
“Begini Mas, kalau boleh minta tolong. Tolong kasih saran ke suami Bu Nurdiasih, biar bisa melayani saya di ranjang lagi. Ibu juga kangen,” suara Bu Nurdiasih terdengar dengan nada yang berbeda. Lebih lembut bergelayut.
Denayu gegas berdiri. Dia berdiri di balik gorden. Mastur menunduk malu. Denayu mengamati Bu Nurdiasih yang tumben memakai bedak dan memulas bibir dengan gincu sedikit merah pudar. Dan betapa terkejutnya Denayu menyaksikan Bu Nurdiasih mengedipkan mata sebelah kiri dan mulai mendekati Mastur, suaminya. Aroma wangi yang menyengat dari tubuh Bu Nurdiasih tidak lebih baik dari aroma ikan asin yang menghantui Denayu beberapa waktu lalu.(f)
 
***
Teguh Afandi


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?