Wayang menjadi tema utama Festival Gunungan yang digelar pada 22 – 24 Mei lalu di Kota Baru Parahyangan Padalarang, Bandung. Bukan tanpa alasan, telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2008, wayang perlu terus dihidupkan di negeri sendiri agar tak hilang.
Dalam festival yang telah diselenggarakan empat kali ini tampil berbagai jenis wayang, seperti wayang golek, wayang kulit, wayang potehi, wayang sampah, wayang kancil, wayang elektrik, wayang ruwat, wayang pepadi, hingga wayang orang. Tampil juga seni topeng dan boneka, seperti Thomas Herfort dari Jerman yang menampilkan teater boneka dan Ria Enes dan boneka Susan. Juga dimeriahkan oleh seniman musik seperti Dwiki Dharnawan dan Samba Sunda.
“Festival ini salah satu upaya menyosialisasikan wayang kepada generasi muda. Ini sejalan dengan misi Kota Baru Parahyangan sebagai kota budaya dan pendidikan,” ujar Raymond Hadipranoto, perwakilan dari PT Belaputra Intiland.
Menurut Aat Soeratin, tokoh seni Bandung, ada pesan moral dari Festival Gunungan, yaitu menemukan makna peran kita sebagai manusia dalam ekosistem. Karena gunungan berarti ekosistem antarmanusia dan lingkungan. Manusia sebagai penentu ekosistem memiliki peran yang besar. Lewat acara semacam ini manusia diajak untuk mengolah rasa demi menemukan kembali perannya dalam ekosistem. Sebab, kekacauan lingkungan sering terjadi karena kita terlalu lama mengesampingkan rasa, dan hanya asyik mengolah akal.
NF
FOTO: NF