Fashion Trend
Lomba Perancang Mode 2017: Mencari The Style Maker

11 Jan 2018


Penjurian Final
 

Lemah dalam Entrepreneurship
 
Dalam penjurian final pada 25 Oktober lalu di Apartment Senayan City Residence, di depan para juri masing-masing finalis mempresentasikan business plan dan hasil karya rancangannya selama 10 menit. Anthony Tandiyono (29), finalis dari Jakarta, mendapat kritikan dari juri mengenai rencana penetapan harga koleksi busananya. Karya lulusan Bachelor of Design dari RMIT University, Melbourne, yang diberi konsep Sinful Light ini berupa long coat dan celana dengan elemen desain yang menggambarkan peleburan budaya Betawi peranakan dan karakter wanita Betawi modern yang kuat dan mandiri.
 
“Untuk masuk ke pasar retail sebagai desainer baru, mematok harga Rp1 - Rp5 juta akan kemahalan. Desainer juga harus bisa memikirkan pricing strategy agar orang mau beli bajunya,” saran Melinda Babyana, CEO Argo Apparel Group.
 
Sebaliknya, Jesica Ayu Tamara (19) dari Lasalle Surabaya dikritik karena mematok pricing terlalu rendah. Kaus yang diberi sentuhan printing ikan lele hanya dihargai Rp80.000 saja. Meskipun target pasarnya anak muda, tetap harus memperhatikan margin keuntungan yang bisa didapat.
 
Para juri terkesan dengan ide yang tak biasa yang diusung oleh Jesica. Ia memilih ikon ikan lele karena terinspirasi dari pecel lele, kuliner khas dari Surabaya. Mengangkat hewan menjadi ikon telah dilakukan oleh Disney dan sukses. “Mereka mengangkat tikus sebagai ikon, tetapi desainnya kan tikus yang dibuat
lucu, bukan tikus yang hitam jelek,” kata Musa.
 
Dalam proses penjurian ini ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur penilaian juri, di antaranya ide/konsep, daya pakai, daya jual, pengetahuan kreatif mode, desain, warna, dan ilustrasi, business plan, pengetahuan teknis bahan dan biaya, serta estetika produk/nilai artistik.
 
Meskipun banyak ide segar datang dari finalis tahun ini, juri sangat menyayangkan masih banyak finalis belum memahami entrepreneurship. “Diharapkan mereka sudah memiliki visi untuk siap masuk ke retail dengan mendalami industri pakaian jadi. Mulai dari proses produksi hingga pricing. Misalnya saja,
mereka perlu tahu, untuk memenuhi kebutuhan retail, sedikitnya bisa memproduksi 5.000 potong per desain,” kata Melinda.
 
Musa mengkritik mengenai pengertian ready to wear yang masih salah kaprah pada sebagian peserta. “Kalau orang mau beli, tapi barangnya enggak ada dan harus pesan dulu, itu namanya bukan ready to wear,” protes Musa.
 
Musa Widyatmodjo menambahkan, hal yang tak kalah penting adalah strategi peserta menyusun rencana bisnis yang akan dikembangkan ke depannya. “Tiap finalis akan menjadi calon desainer Indonesia yang akan bersaing dengan banyak desainer yang telah memiliki nama besar. Itulah sebabnya, sangat penting untuk memiliki rencana bisnis agar bisa bertahan di industri ini,” tegas Musa.
 
Di antara finalis lainnya, Astika Suprapto (26) terlihat menguasai business plan. Wanita yang bermukim di Paris ini menetapkan pasar Eropa sebagai target market karyanya. Karenanya, ia hanya memberikan sentuhan wastra batik yang tak mendominasi, misalnya ditaruh di bagian dalam saku. Atau, dalam
beberapa rancangannya dibuat reversible.
 
“Saya ingin menggelitik rasa penasaran pembeli dengan adanya sentuhan batik ini dan memberi pengetahuan tentang Indonesia,” ujar pemegang gelar master di bidang Contemporary Fashion Design dari IFA, Paris, ini. Untuk menekan biaya produksi, ia merencanakan proses produksi dilakukan di Indonesia. Sebagai bagian dari strategi pemasaran, ia akan mengikuti trade show, bekerja sama dengan para blogger dan masuk ke pop up store.
 
“Tahun 2018 ini saya menargetkan sudah bisa produksi dan berjualan,” katanya, antusias. Usai penjurian, seluruh karya ke-10 finalis ditampilkan di atas panggung Jakarta Fashion Week 2018.
 
Di penghujung show, dibacakan pengumuman dan pemberian award bagi para pemenang. Astika berhasil menjadi Pemenang I, Caramia menduduki posisi Pemenang II, dan Anthony sebagai Pemenang III. Sedangkan Retnayu Jiwangga dari Surabaya terpilih sebagai Pemenang Favorit berdasarkan voting online.
 
“Tiap penyelenggaraan LPM selalu berbeda tantangan dan hasilnya. Demikian pula dari segi kualitas. Tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Yang jelas, tahun ini usia peserta lebih muda. Umumnya awal 20-an, dan banyak yang berasal dari sekolah mode di luar negeri. Dari 20 finalis, rata-rata sudah punya online shop, bahkan dengan lebih dari 1 brand. Kreativitas mereka tidak diragukan. Namun, yang menjadi catatan adalah kelemahan riset pada wastra maupun elemen budaya yang dipakai,” kata Petty.
 
Pemenang I akan mendapatkan kesempatan mengikuti short course di Instituto Marangoni Milan, Italia, dan magang selama 6 bulan di Argo Apparel. Pemenang II mendapat hadiah berupa uang sebesar Rp 10 juta, Pemenang III membawa pulang Rp 7,5 juta, dan Pemenang Favorit mendapatkan Rp 5 juta.  Pemenang II dan III jugamendapat kesempatan magangselama 3 bulan di Argo Apparel. Selamat!(f)


Baca juga:
Sejak 1979, Lomba Perancang Mode Femina Melahirkan Para Style Maker, Dari Samuel Wattimena Hingga Tex Saverio
Tip Pintar Menentukan Harga Jual Produk Fashion
10 Tip Bagi Desainer Pemula Agar Karya Tetap Autentik


Topic

#lpm2017

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?