Family
Perdebatan Pola Asuh Anak di Dunia Maya: Saat Jumlah Like Jadi Simbol Pembenaran Para Orang Tua

25 Nov 2016


Foto: Fotosearch

Ibarat pintu ke mana saja, orang tua kini bisa dengan mudah mencari informasi mengenai tumbuh kembang anak dari belahan bumi mana pun, hanya dengan satu klik lewat internet dan gadget. Praktis dan gratis. Bagi orang tua generasi sebelumnya, kemudahan-kemudahan yang diwujudkan oleh internet dan teknologi saat ini rasanya, mungkin, seperti mimpi. Siapa tak mau punya ‘dokter anak pribadi’ atau ‘guru pribadi’ yang bisa ditanya kapan saja dan di mana saja?
 
Uniknya, sebuah fakta mengejutkan mencuat dari survei yang digelar TIME dan SurveyMonkey pada akhir 2015 lalu: informasi tentang pola asuh anak di internet, termasuk di media sosial, jugalah yang ternyata membuat orang tua era millennial lebih sering merasa tidak becus dan kewalahan dalam merawat anak mereka. Benarkah demikian?
 
Kabul Indrawan (40) benar-benar merasakan manfaat internet dan teknologi digital untuk memantau tumbuh kembang dua buah hatinya. Apalagi, ia dan keluarga harus tinggal berjauhan dari orang tuanya karena dipindahtugaskan dari Jakarta ke Makassar, Sulawesi Selatan.   
 
“Saat kembali ke Jakarta, kami sudah punya rumah sendiri, tidak nebeng orang tua lagi. Jadi, kami memang tidak bisa bergantung pada orang tua untuk menjaga anak. Saya dan istri benar-benar memanfaatkan situs-situs kesehatan untuk mencari info penyakit anak, terutama karena paru-paru anak pertama saya sempat kemasukan air ketuban ibu saat proses persalinan,” ujar pria yang bekerja sebagai executive producer di salah satu stasiun televisi itu.
 
Bagi kita (ya, femina termasuk di dalamnya), pengalaman Kabul mungkin terdengar biasa saja. Dengan makin banyaknya jumlah digital natives yang kini menjadi orang tua, memang tidak mengherankan jika internet dan teknologi digital kemudian berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengasuh anak. Meski begitu, pengamat komunikasi digital dan pengajar Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Indonesia, Dr. Ir. Firman Kurniawan S., M.Si. mengingatkan, hal yang kita anggap wajar itu sebenarnya harus mendapat perhatian lebih.          
 
Sebab, selain membuka informasi secara lebih luas, murah, dan mudah, internet serta teknologi digital juga berdaya untuk menciptakan jejaring keingintahuan di kalangan netizen. Misal, ketika foto penyanyi Beyonce sedang memberikan ASI kepada anaknya, Blue Ivy, tersebar di dunia maya, para ibu  dari berbagai belahan dunia ikut sibuk mencari tahu serta memperdebatkan pro kontra ibu rumah tangga dan ibu bekerja dalam memberikan ASI. Pada akhirnya, debat pro kontra itu dijadikan standardisasi perilaku bagi kalangan tertentu.
 
“Pertukaran informasi, gambar, comment, dan status yang bebas diungkapkan di internet itu akan terakumulasi menjadi alat ukur, bahkan simbol pembenaran atas pola asuh tertentu di kalangan orang tua,” papar Firman.

Secara paralel dengan kehidupan di dunia nyata, standardisasi perilaku yang tercipta di dunia maya itu kemudian akan membentuk eksklusivitas kelompok. Bahkan, di antara sesama orang tua millennial sekalipun bisa terbagi menjadi in group atau out group.
 
Kelompok orang tua A yang pro dengan pola asuh jenis A akan ‘bersaing’ secara komunal di dunia maya dan dunia nyata dengan kelompok orang tua B yang pro dengan pola asuh jenis B. Kondisi inilah yang berpotensi membuat orang tua di era digital lebih mudah merasa bingung, kewalahan, bahkan frustrasi karena  tiap kelompok merasa paling benar,” ujar Firman.
 
Tak hanya soal ASI, kebingungan lainnya pernah dirasakan oleh Vina Agustiani (31). Ibu dari Zahra Rahmania Zulfikar (6 bulan) itu awalnya sangat mengandalkan forum diskusi ibu di internet, blog, situs web, dan aplikasi kehamilan untuk mendapatkan berbagai informasi kesehatan kandungan. Mulai dari mencari rekomendasi dokter kandungan, rumah sakit bersalin, hingga seluk-beluk pantangan makanan saat hamil.

Baca juga:
 
Namun, pada titik tertentu, Vina memutuskan untuk berhenti mencari informasi kesehatan anak lewat internet. Saat itu, Zahra yang belum berusia 6 bulan, membutuhkan makanan pendamping ASI (MPASI) karena berat badannya termasuk dalam batas bawah kategori sehat. Vina pun mencari-cari informasi mengenai MPASI di internet.
 
“Tapi malah membingungkan dan bikin saya stres, ternyata para ibu di luar sana punya ‘aliran’ berbeda-beda untuk MPASI dan semua meyakini tekniknya yang paling benar. Saya jadi enggak tahu harus percaya info yang mana,” kenang wanita yang bekerja sebagai karyawati di perusahaan ekspor-impor di Jakarta, itu. Akhirnya, ia pun memutuskan kembali ke cara lama, yakni berkonsultasi langsung  dengan dokter anak dan praktisi kesehatan.
 
Baca juga: 6 Aplikasi 'Penyelamat' Para Ibu

Berkonsultasi langsung dengan dokter anak dan praktisi kesehatan, menurut Vina, membuatnya merasa lebih tenang, meski harus membayar lebih mahal dan tidak bisa dilakukan kapan saja. “Dengan dokter dan praktisi kesehatan, saya bisa berdiskusi, bukannya saling mendebat. Itu membuat saya merasa lebih tenang, mereka tidak memosisikan diri sebagai pihak paling benar dan menghakimi seperti jika membaca komentar-komentar di internet,” ujar Vina, yang saat ini sudah berhasil memberikan MPASI pada Zahra hingga bobot tubuh anaknya masuk dalam kategori sehat. (f)


Topic

#Keluarga

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?