Family
Ini Alasan Orang Tua Masa Kini Memilih Pesantren untuk Anak

6 Sep 2017


Foto: 123RF
 
Pertumbuhan pondok pesantren yang kian meningkat tiap tahunnya kurang lebih dapat menunjukkan bahwa makin banyak orang tua kini yang percaya pendidikan agama masih sangat dibutuhkan di tengah perkembangan dunia pendidikan yang bersifat modern.

Seperti paparan Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A., Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, dalam sebuah wawancara di majalah PENDIS (majalah internal Kementerian Agama, edisi No.7 Tahun 2017), bahwa tingginya kesadaran masyarakat atas pentingnya pendidikan sebagai pembentuk akhlak menjadi salah satu pendorong mereka menyekolahkan anak di pontren.

Mereka menilai, ilmu agama dapat menjadi fondasi keimanan yang kuat untuk membentuk akhlak yang baik, sehingga ketika terjadi masalah saat dewasa kelak, anak memiliki pegangan dan dapat mencari solusi sesuai dengan kaidah agama Islam.

Menurut Gus Sholah, kekhawatiran bahwa anak-anak akan terpapar perbuatan negatif juga menjadi alasan para orang tua memilih pondok pesantren. “Di pondok pesantren, dengan pengajaran ilmu Islam yang intens, komprehensif dan terpadu, dapat mencegah anak-anak dari pengaruh buruk narkoba, minuman keras, hingga menjauhkan mereka dari perilaku kekerasan seperti tawuran,” tuturnya. Hal ini disebabkan oleh ketatnya aturan yang diterapkan pontren dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menghindarkan mereka melakukan perbuatan tersebut.

Kecemasan-kecemasan itu jugalah yang membawa Irma Hantoyo (38), menyekolahkan putranya, Rakha Bima Arya Sambarana (12), di Daarul Quran Islamic Boarding School (Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an), Tangerang.

“Melihat zaman sekarang yang rentan pergaulan bebas, narkoba, dan hal buruk lainnya, saya merasa lebih baik jika anak dibekali pengetahuan agama sejak dini,” tutur Irma, yang berpikir dengan bersekolah di sana, sang anak akan mendapatkan fondasi agama yang kuat.

Di sisi lain, ajaran Islam yang lebih mendalam dibandingkan sekolah umum, memantapkan hati Lila Muliani (39) untuk menyekolahkan putranya, Riefli Ken Farras (12), masuk Pondok Pesantren Azzikra di Sentul, Bogor. Para santri diajarkan untuk lebih dekat dengan Alquran dan hadis, mempraktikkan puasa Senin dan Kamis, membiasakan diri salat berjemaah di masjid dan salat Tahajud, serta hal-hal yang disunahkan Nabi Muhammad SAW.

“Dengan belajar hal itu, anak saya bisa menjadi muslim pintar dan bermanfaat bagi orang lain,” tutur Lila, yang memercayakan penuh pengajaran moral dan agama di pontren pilihannya tersebut. Berbeda dengan sekolah umum, di pontren para santri diajarkan untuk mandiri, disiplin, dan life skill lainnya di tengah pembinaan yang dilakukan selama 24 jam sehari.

Anak-anak di era modern sekarang ini hidup serba kecukupan, instan, dan apa-apa dibantu orang tua. Dengan tinggal di pondok pesantren, mereka belajar menggantungkan hidup mereka sendiri, harus taat dengan aturan yang ketat, terbiasa dengan keterbatasan karena harus berbagi dengan para santri lainnya,” tutur Imam, yang juga mengatakan bahwa ini bisa melatih kemandirian anak karena berpisah dari orang tua.

Kendati demikian, tak dapat dipungkiri, banyak terjadinya kasus terorisme mengatasnamakan Islam yang terjadi belasan tahun belakangan ini, menumbuhkan stigma negatif pontren sebagai tempat bersarangnya paham radikalisme. Gus Sholah tak menampik terkadang ada beberapa pontren yang mungkin mengajarkan paham radikal tersebut kepada para santrinya.

Namun, berdasarkan pengamatannya terhadap ajaran-ajaran pontren di berbagai daerah, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan puluhan ribu pontren yang ada di Indonesia. “Islam itu lembut, penuh welas asih, dan tidak pernah melakukan kekerasan atau paksaan. Ini adalah nilai Islam sebenarnya yang ditanamkan kebanyakan pondok pesantren di Indonesia,” jelas adik mantan Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ini. Ia juga mengingatkan bahwa tiap ajaran Islam itu mengajarkan kebaikan.

Kekhawatiran paparan radikalisme di pontren akhirnya pudar dengan sendirinya. Setidaknya dialami oleh Khasnau Saifira (22) dan Rifqi Jauhari (22), yang sebelum masuk pesantren sempat cemas dengan kemungkinan tersebut. Ketika menjadi santri mereka bisa mengalami sendiri seperti apa ajaran Islam dan toleransi yang mereka dapat di lingkungan pontren.

“Di pondok pesantren, kami diajari ilmu Islam sesuai Alquran dan assunah. Islam mengajarkan toleransi, tidak ada paksaan dalam beragama, merujuk pada surat Al- Baqarah ayat 256,” ujar Saifira, yang pernah bersekolah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Sukoharjo. Sehingga, menurutnya, ilmu tersebut akan melindunginya agar tidak ikut pergaulan negatif ataupun menghasut orang lain dengan membawa nama Islam yang berujung sesat.

Begitu juga Rifqi, yang mengenyam pendidikan tingkat SMA di Cahaya Madani Banten Boarding School. Menurutnya, pelajaran toleransi justru ditanamkan oleh para ustaz. “Pasalnya, Islam saja sering terjadi perdebatan perbedaan golongan di Indonesia antara Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama. Perbedaan pasti ada, tetapi saya diajarkan untuk menghormati pebedaan tersebut. Jika ingin melakukan perdebatan, lakukan secara musyawarah,” ujar Rifqi.

Saran Gus Sholah, perihal kekhawatiran paparan radikalisme di pontren, baiknya orang tua mencari informasi sebanyak mungkin tentang sekolah yang akan dipilih.

“Periksa apakah pondok pesantren tersebut punya rekam jejak yang baik atau tidak dari lingkungan sekitarnya. Tanya pada Kementerian Agama apakah pondok pesantren itu punya potensi radikal atau tidak,” ujarnya. Hal ini juga diamini Imam Safei agar orang tua perlu memeriksa pontren tersebut telah mendapatkan izin dari Kemenag atau tidak. (f)

Ikuti ulasan lengkapnya di topik #Pesantren.

Baca juga:
Intip 3 Wajah Pondok Pesantren Kini
Pesantren Terus Berevolusi, Tumbuh Subur di Tengah Globalisasi


Topic

#Pesantren, #PendidikanAnak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?