Health & Diet
Makanan Transgenik

2 Apr 2014


Makanan atau bahan makanan yang sudah direkayasa secara genetis umumnya disebut genetically modified organism (GMO). Sementara, istilah yang lebih populer di Indonesia adalah makanan transgenik. Sering kali, istilah-istilah ini menimbulkan keraguan, ketakutan, atau setidaknya tanda tanya dalam benak orang awam. Apakah rekayasa yang dilakukan pada tumbuh-tumbuhan aman terhadap lingkungan? Terlebih lagi, apakah makanan yang sudah direkayasa genetikanya ini aman dikonsumsi?
   
Dekan Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya, Jakarta, Dr. Diana Waturangi mengungkapkan, ada kecurigaan bahwa makanan transgenik dapat memicu alergi, seperti bahan-bahan makanan lain yang tidak direkayasa apa pun. “Sebetulnya belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa bahan-bahan makanan yang sudah direkayasa ini berdampak buruk bagi tubuh manusia,” katanya.

Seperti layaknya percobaan ilmiah, tentu rekayasa genetika tidak selalu sukses. Tapi, Diana menegaskan bahwa kegagalan rekayasa genetika umumnya hanya terjadi saat masih di laboratorium atau di lapangan, bukan ketika makanan tersebut sudah sampai di tangan konsumen dan siap dimakan. Sehingga, dampak buruknya tidak akan mengena langsung pada manusia.
   
“Ada beberapa worst case scenario dalam bioteknologi. Misalnya, semangka yang harusnya tanpa biji, ternyata masih berbiji. Atau, tanaman yang harusnya tumbuh subur, ternyata malah tidak bisa tumbuh. Atau, beras yang harusnya memiliki tambahan vitamin, ternyata kandungan nutrisinya sama saja seperti beras biasa,” tutur Diana.
   
Beberapa negara bagian Amerika Serikat, seperti Connecticut dan Vermont sudah menyerukan pemberian label GMF untuk semua  produk makanan yang telah melewati rekayasa genetika. Negara bagian lainnya sedang mempertimbangkan hal yang sama. Sementara, sekitar 60 negara Eropa, Cina, Rusia, dan Brasil ada yang melarang ada pula yang hanya membatasi penggunaannya.
  
Di  Indonesia,  belum ada aturan pemakaian label untuk makanan transgenik, karena jumlahnya memang belum terlalu banyak seperti di AS. Dalam pandangan Diana, masyarakat Indonesia masih dalam tahap edukasi dini tentang perbedaan antara rekayasa genetika, fortifikasi atau penambahan nutrisi tertentu pada makanan (misalnya omega 3 pada telur), dan  proses pengolahan makanan pada umumnya. “Sering kali terjadi kesalahpahaman di sini. Misalnya, soal ayam yang disuntik hormon. Sebenarnya ini bukan rekayasa genetika, melainkan proses pengolahan hasil pertanian saja,” tutur Diana. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?