Celebrity
Tulus, Pria Introver yang Mencintai Musik

6 Jan 2017


Foto: Dachri MS

Beberapa tahun belakangan, nama Tulus (29) kerap hadir di berbagai perhelatan musik. Sosoknya yang murah senyum, lengkap dengan karakter vokal jazzy dan musik yang nyaman didengarkan, membuat Tulus cepat mendapatkan tempat di hati siapa saja yang mendengarnya. Bahkan, lagu Sepatu diapresiasi sebagai nominasi Song of The Year di NET One Indonesian Choice Awards 2014 dan album Gajah dipilih jadi Album Pop Terbaik 2015 di ajang Anugerah Musik Indonesia.  

Di antara jadwalnya yang cukup padat karena sedang mempersiapkan konser Tulus Live at Regency San Francisco di Bay Area, San Francisco, Amerika Serikat,   beberapa waktu lalu, Tulus menyempatkan berbagi cerita dengan femina tentang perjalanannya membangun karier yang tidak selalu mulus.  
 
“Saya Pernah Ditolak Banyak Label…”
Kecintaannya pada musik lahir saat Tulus masih kelas 2 SMP. Saat itu, ia menyaksikan konser Chrisye di Padang yang diiringi aransemen musik Erwin Gutawa. “Seketika muncul keinginan menjadi musikus profesional. Entah kenapa,” ujar pria kelahiran 20 Agustus 1987 ini, dengan suara agak serak. Rupanya, ia sedang terserang radang tenggorokan.
Namun, untuk sementara, pria bernama lengkap Muhammad Tulus Rusydi ini harus memendam keinginan itu karena orang tuanya ingin ia menyelesaikan pendidikan. Tidak menyerah, ia kerap mencuri waktu untuk belajar   menulis lagu dan bergaul dengan klub jazz di Bandung di antara waktu kuliahnya.

Lulus dari jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Tulus memohon izin kepada ibunya untuk mengejar lagi mimpinya menjadi musikus. Setelah mendapat restu dari ibunya, Tulus kemudian mengaplikasikan pola pikir dunia arsitektur yang serba runut untuk belajar membuat musik. “Berstruktur, tetapi indah. Dua hal inilah yang menjadi dasar saya dalam bermusik,” ungkap pria yang mengidolakan maestro keroncong Indonesia, Waldjinah, ini.

Menyadari dirinya tidak bisa memainkan alat musik, Tulus mencoba memanfaatkan ‘instrumen’ terbaiknya sebagai manusia, yaitu otak. Ia memaksimalkan memori otaknya untuk menyimpan nada-nada yang didengarnya di  tiap kesempatan. “Ingatan saya akan nada-nada itu seperti bank nada. Ketika mood yang pas terasa, nada-nada itu akan saya rangkaikan bersama lirik yang sudah saya tulis,” ungkap Tulus.

Sejak awal tumbuh sebagai solois di blantika musik Indonesia, Tulus bergerilya lewat label pribadinya, TulusCompany. Label itu ternyata tercipta saat pria yang sudah memproduksi tiga album ini berada pada titik terendah dalam hidupnya. Saat ia, sebagai pendatang baru di industri musik,  sempat berpikir bahwa seorang musikus harus bergabung dengan sistem distribusi label musik untuk bisa sukses.

Sayangnya, karya Tulus saat itu ditolak mentah-mentah oleh lebih dari lima label musik. “Rata-rata mereka mengatakan bahwa saya belum memiliki potensi yang layak untuk menjadi musikus. Padahal, saat itu saya sangat yakin  punya bakat di musik,” kenangnya.

Penolakan bertubi-tubi tak membuat rasa percaya diri Tulus luntur begitu saja. Ia pun mendirikan label TulusCompany pada tahun 2010 bersama sang kakak, Riri Muktamar, lulusan sekolah bisnis dan sudah malang melintang di dunia bisnis sejak tahun 2005.

Kini, meski dinaungi label sendiri, Tulus mengakui jalannya tidak serta-merta menjadi mudah. Kesulitan terbesarnya, bagaimana harus menjalankan karier sebagai media belajar. “Karena, saat awal berkarier, saya tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang musik dan industrinya. Hanya rasa percaya diri dan dukungan keluarga yang jadi modal awal saya  saat itu,” ungkap pria pemilik album Tulus (2011), Gajah (2014), dan Monokrom (2016) ini.

Ia menyadari, menjadi musikus tak sekadar menulis lagu, menyanyi, dan beraksi di panggung. Bersama sang kakak, ia pun mulai lebih aktif bersosialisasi untuk membangun jejaring di industri musik. Melalui orang-orang yang ia kenal, pintu  kesempatan satu per satu mulai terbuka, meski tidak semuanya sesuai dengan harapan. Saat ditawari bergabung di sebuah label, dengan catatan harus mengikuti selera pasar, ia pun terpaksa menolaknya.

Tulus menetapkan hati untuk tetap berada di jalurnya dan menerima segala risikonya. Album Gajah misalnya, harus ia luncurkan di kafe kecil yang berada di sebuah SPBU di daerah Jakarta Selatan. Menurutnya, hal itu tidak masalah selama musiknya tetap disukai pendengar dan kariernya tetap berjalan sesuai jalur.

Lewat aksi di panggung, Tulus juga belajar menjadi pribadi yang konsisten, yaitu tetap memiliki penjiwaan yang sama, meski sudah ratusan kali membawakan lagu yang sama. “Dengan begitu, lagu yang saya sampaikan selalu terdengar berjiwa. Konsisten menjaga kualitas itu tidak mudah,” jelas peraih penghargaan Artis Lelaki Baru Terbaik di ajang Anugerah Planet Muzik Singapore 2014 ini.
 
Tidak Berubah
Mengaku sebagai pribadi yang introver, Tulus sempat menjadi korban olok-olok karena ukuran tubuhnya yang besar saat masih kecil. Salah satunya, sebutan ‘gajah’ yang diberikan teman-temannya saat duduk di bangku sekolah dasar. “Ada rasa kesal, tapi terkadang saya juga tertawa karena memang benar tubuh saya besar, ha… ha… ha…,” ucapnya, sambil tertawa terbahak-bahak.

Meskipun begitu, Tulus mengaku selalu berusaha mencari sisi positif dari hal yang tidak menyenangkan sekalipun. Dari hasil browsing di internet, ia justru menemukan fakta-fakta unik tentang gajah. “Gajah adalah hewan yang mandiri dan mengayomi keluarganya. Saya justru merasa bangga mendapat sebutan itu,” ujar pria yang pernah menjadi Penyanyi Pendatang Baru Paling Diminati di Jakarta International Java Jazz Festival 2013. Menurutnya,  tiap orang boleh berpendapat, tetapi yang tahu pasti tentang hidup seseorang adalah dirinya sendiri.

Olok-olok masa kecil itu pun dijadikan lagu berjudul sama. Dari situlah Tulus tersadar, ia bisa menginspirasi orang lain lewat lagu. Suatu hari, pada tahun 2014 di Bandung, ia pernah didatangi oleh seorang ibu yang berterima kasih kepadanya. Ibu itu mengatakan,  anaknya tidak mau sekolah selama tiga hari setelah diejek gemuk oleh teman-temannya. Namun, setelah mendengar lagu Gajah, anak itu akhirnya mau sekolah lagi. “Saya tidak menyangka, lagu Gajah bisa bermanfaat untuk orang lain,” tutur Tulus.

Selain Gajah, lagu Sepatu miliknya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan judul Kutsu oleh seniman asal Jepang bernama Hiroaki Kato. Lagu ini ia bawakan pada saat diundang menjadi bintang tamu World Music Festival di Hamamatsu, Jepang.

Sebelum itu, saat Tulus membawakan lagu yang sama di Hamazo 10th Festival 2016, seorang penggemar asal Kyoto dan Tokyo menghampirinya untuk memberikan surat berbahasa Indonesia. “Ada satu surat yang bahasa Indonesia-nya terbata-bata dan sangat berantakan. Isinya, setelah mencari tahu tentang saya, mereka mengaku jatuh cinta pada lagu Jangan Cintai Aku Apa Adanya dan ingin belajar bahasa Indonesia,” ucap pria yang sudah menjejakkan kaki di panggung internasional seperti di Jerman dan Australia ini, tersipu.

Terakhir, Oktober lalu Tulus menggelar konser di San Francisco atas bantuan Persatuan Siswa-Siswi Indonesia di Amerika Serikat dalam rangka mempromosikan album Monokrom. Tiket  seharga   60 dolar AS (sekitar Rp797.250) itu ludes dibeli oleh lebih dari 500 Teman Tulus, sebutan untuk para penggemarnya. “Saya sangat bersyukur bisa membawakan lagu berbahasa Indonesia yang saya tulis sendiri,” ucapnya, penuh semangat. Ia berharap  bisa ikut mengharumkan nama Indonesia lewat karya-karyanya.

Meski sudah dikenal banyak orang, ia mengaku tidak berubah, tetap seorang pria introver yang mencintai musik. Rutinitasnya  tiap menjelang naik panggung pun tidak pernah berubah. “Sekitar 6 jam sebelum manggung saya pasti menghindari tempat ramai. Biasanya berdiam di kamar sambil tidur atau nonton film,” ungkap pria yang bekerja sama dengan The City of Prague Philharmonic untuk album ketiganya ini. Menurut Tulus, cara itu membuat energinya kembali terisi penuh saat bertemu para penggemarnya. (f)

Baca juga:
Kejutan Baru Tulus
Tulus Bawa Sepatu ke Jepang

Gajah
 


Topic

#Tulus

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?