Celebrity
Anggia Kharisma-Angga Dwimas Sasongko Merayakan Perbedaan

14 Apr 2016


Foto: Instagram

Ada sesuatu dalam diri Angga Dwimas Sasongko (31) yang mengusik Anggia Kharisma (32). Sesuatu yang membuatnya ingin mengenalnya lebih dekat. Cara berpikir Angga, yang dianggap aneh dan rumit oleh kebanyakan temannya, tanpa diduga justru membuat Anggia merasa klik. Berbagai obrolan dan diskusi pun mengalir tak berkesudahan. Dari situ, embrio ide-ide mereka mewujud ke dalam berbagai karya audiovisual. Pasangan sutradara dan produser ini membuktikan bahwa segala perbedaan bisa menyatu indah apa adanya, bahkan melahirkan karya dengan kedalaman cinta yang menginspirasi.
 
KEMBALI BERTEMU
Siang itu, Jakarta sedang diguyur hujan deras. Namun, ruang kerja Angga dan Anggia di kantor Visinema Pictures tetap terasa hangat. Selain meja kerja yang dipenuhi oleh buku dan berkas ide, tampak pula piala Citra kategori Film Terbaik dan Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia 2014 untuk Cahaya Dari Timur: Beta Maluku.

Di samping meja yang cukup riuh itu berdiri alat musik keyboard serta boks tidur putra pertama mereka, Angkasa Rigel Sasongko atau Rigel (5 bulan). Ibarat rumah, memorabilia perjalanan mereka yang tidak selalu mulus seakan tercermin di situ. “Perjalanan kami untuk menjadi satu di sini sangat panjang,” ungkap Angga, memulai cerita ke femina.
           
Perjumpaan pasangan kreatif ini berawal saat masih berseragam SMP. Keduanya berbeda sekolah, tapi bertemu di tempat kursus bahasa Inggris yang sama. “Saya dan adik sedang menunggu dijemput setelah les. Ternyata Angga juga sedang menunggu penjemputnya,” ujar Anggia, memutar nostalgia.

Di kesempatan itulah, Angga membuka obrolan pertama mereka, dengan cerita yang seolah mengalir tak henti. “Saya dan adik hanya mendengarkan, sekaligus heran banget. Nih, anak badannya kecil, tapi pengetahuannya banyak,” kenang produser kelahiran 3 November 1983 ini.
           
Setelah perjumpaan itu, Angga pindah ke Semarang. Beberapa tahun kemudian, tanpa sengaja keduanya bertemu lagi di acara ulang tahun seorang sahabat. Saat itu, mereka berdua sudah kuliah. Karena terlalu lama tidak bertemu, mereka tidak saling kenal sampai adik Anggia harus mengingatkan mereka.
Pertemuan berikutnya membuat mereka mulai dekat. Obrolan panjang pertama mereka terjadi ketika Angga diminta seorang teman mengantar Anggia pulang ke rumah. Selama perjalanan, Angga menceritakan proyek-proyek kreatif dan mimpi-mimpinya. Saat itu, Angga memberikan draft skenario film pertamanya, Foto, Kotak, dan Jendela ke Anggia. 

Sejak itu, Angga dan Anggia merasa klik. Pengetahuan yang luas dan cara masing-masing memandang hidup secara unik berhasil mengusik hati keduanya. Anggia, yang saat itu kuliah di Jurusan Kedokteran Gigi di Universitas Trisakti, Jakarta, sambil bekerja sebagai penyiar radio, mulai berani kirim salam dan lagu ke Angga lewat program radionya.

Mengaku sebagai pria kaku yang tidak tahu cara mendekati wanita, Angga lama-kelamaan luluh oleh perhatian Anggia dan akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Sayangnya, meski perasaan itu berbalas, Anggia tidak bisa menerima Angga karena mereka berbeda keyakinan. Terlebih lagi, saat itu Anggia baru saja putus dari pria yang juga berbeda keyakinan.

Perbedaan dan penolakan itu tidak membuat Angga mundur. Ia justru makin tidak bisa jauh dari Anggia, begitu juga sebaliknya. Kedekatan mereka terus terbangun secara alami melalui diskusi ide-ide kreatif. Hingga pada tahun 2008, Angga mendirikan Visinema Pictures dan mengajak Anggia bergabung sebagai penata gaya untuk produksi-produksinya.

“Tiap kali saya punya ide baru, wajah Anggialah yang pertama muncul di kepala saya. Dia orang pertama yang selalu saya ajak diskusi. Anggia yang bantu ngembangin ide,” tutur sutradara kelahiran 11 Januari 1985 ini.

Bersama tim kreatif yang solid, berbagai video klip, iklan televisi, dan film lahir dari tangan mereka. Keterlibatan Anggia makin dalam sejak ia dipercaya menjadi produser eksekutif untuk bagian strategi media dan pemasaran. Sejalan dengan itu, kedekatan Angga dan Anggia dengan keluarga masing-masing juga  makin terjalin. Anggia menjadi ‘cucu’ kesayangan kakek Angga. Sementara Angga, menjadi orang yang selalu diandalkan keluarga Anggia untuk menyelesaikan masalah.

Ikatan yang tumbuh  makin erat membuat keduanya sepakat untuk melangkah lebih serius pada tahun 2012. Angga kemudian meminta izin orang tuanya dan kedua orang tua Anggia untuk melamar putri mereka. Jawabannya tidak sesuai harapan, isu perbedaan keyakinan menjadi alasan bagi pihak orang tua menolak lamaran itu. “Kami berdua sangat patah hati dan bingung saat itu. Pacaran direstui, tapi, kok, sulit diizinkan nikah?” ujar keduanya.

Angga dan Anggia kemudian memberanikan diri untuk menikah pada 26 Mei 2012 di Ubud, Bali. Menurut Anggia, resepsi pernikahan mereka mirip proses syuting karena sederhana dan hanya dihadiri sebagian kecil anggota keluarga serta sahabat terdekat. Meski begitu, seluruh acara berjalan sakral dan indah di bawah matahari sore.
 
MENEGASKAN BATAS
Mengaku tidak nyaman dengan label pasangan bertangan dingin, faktanya Angga dan Anggia telah melahirkan karya-karya bermutu yang mendapat apresiasi tinggi di berbagai festival film. Setelah Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), kolaborasi mereka dan timnya mengantarkan Jenny Jusuf meraih penghargaan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dan Ahsan Adrian meraih penghargaan Penyunting Gambar Terbaik di Festival Film Indonesia 2015 melalui film Filosofi Kopi (2015).

Film terbaru mereka, Surat dari Praha (2016), yang berlatar peristiwa politik di tahun 1965, tidak hanya berhasil menyentuh penonton, tapi juga memperoleh enam nominasi di Penghargaan Film Usmar Ismail Awards 2016, yang pada saat tulisan ini dibuat, masih dalam tahap penjurian. Film kolaborasi mereka, seperti Filosofi Kopi, juga memiliki strategi pemasaran yang unik. Yaitu, lewat kedai Filosofi Kopi untuk memberikan penonton dan konsumen pengalaman menyeruput kopi ala tokoh-tokoh di film hasil adaptasi cerita pendek karya Dewi Lestari itu.

Angga dan Anggia meyakini, itu semua bisa terjadi karena mereka bisa membuat batas tegas antara kehidupan pernikahan dan pekerjaan. Tentu saja prosesnya tidak semudah menjentikkan jari. Kepiawaian mereka menciptakan batas tegas itu ternyata tumbuh seiring dengan pendewasaan cinta mereka. Mulai dari pacaran yang berjalan hingga 8 tahun, pernikahan, hingga kehadiran Rigel.

Dari perjalanan itu, Angga dan Anggia saling mengenal pribadi masing-masing dan belajar menempatkan diri sesuai keadaan. Hubungan asmara bukanlah sebuah wadah untuk menyatukan dua karakter, melainkan tempat untuk memaksimalkan kemampuan masing-masing dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

“Hubungan kami seperti sekolah kehidupan yang mengajarkan disiplin dan lebih tega untuk menegur. Kalau Anggia kurang optimal bekerja, saya harus objektif melihatnya bukan sebagai pacar atau istri saya. Begitu juga Anggia, dia harus bisa melihat saya sebagai sutradara saat bekerja, bukan suaminya. Semuanya bisa dikomunikasikan, kok,” ungkap Angga.

Manfaat ‘sekolah’ kehidupan dirasakan  tiap hari oleh keduanya. Angga dan Anggia bisa leluasa menyelesaikan pekerjaan sambil membangun rumah tangga. Mereka bisa mendiskusikan ide di mana pun, sekaligus menegaskan ekspektasi pekerjaan. Saat Anggia sedang mengandung 6 bulan misalnya, ia tetap harus fokus melakukan pekerjaannya sebagai produser film Surat dari Praha.

“Padahal, saat itu sedang heat wave hingga 39 derajat di Praha. Tapi, saya tetap berusaha menikmati proses menyelesaikan pekerjaan. Semua ini terbayar usai syuting, saat saya dan Angga melakukan perjalanan romantis keliling Eropa selama 3 minggu,” tutur Anggia, tak bisa menyembunyikan bahagianya.

Perbedaan yang membuka perjalanan cinta mereka kini membuat mereka lebih dekat. Remaja kurus dengan map kursus bahasa Inggris dan pulpen pilot yang Anggia temui saat menunggu penjemput, kini tumbuh menjadi teman hidup yang pantang menyerah mewujudkan mimpi-mimpinya.

“Hidup dengan Angga itu seperti roller coaster, bisa naik turun dengan cepat. Tapi, saya enggak mau dia berubah. Saya ingin dia tetap menjadi seseorang yang gelisah karena ide-ide menari di kepalanya. Kegelisahan itulah yang membuat Angga menjadi sosok yang menghidupkan saya dan Rigel,” ujar Anggia, haru. Matanya berkaca-kaca.

Seperti kehidupan, sosok yang menghidupkan juga membutuhkan sumber energi untuk berkembang. Itulah Anggia di mata Angga, pusat energi kehidupannya. “Anggia adalah teras belakang rumah saya. Tempat mendiskusikan berbagai perbedaan, tempat menanam kebahagiaan, tempat mewujudkan mimpi-mimpi bersama, dan tempat keluarga berkumpul saat pulang,” ujar Angga. Energi ini yang ingin mereka tularkan kepada putra mereka: Rigel, passion always wins! (f)
 
 


Topic

#filmIndonesia

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?