Blog
Mobil Antik

9 Jul 2016


Ini mobil ‘antik’.  Suami membelinya karena uang kami belum cukup untuk membeli mobil yang lebih bagus. Awalnya mobil ini milik pensiunan polisi. Walaupun mobil lama,  pak polisi itu sangat telaten merawatnya. Saat mobil ini berpindah tangan, dia menangis seolah kehilangan separuh nyawa. Suami menenangkan dan berjanji akan merawat si antik.

Awalnya aku senang mendapat mobil baru. Tapi, saat mendengar kabar akan ada reuni, tiba-tiba aku risi melihat si antik.  “Bang, tolong jaga anak, ya. Aku mau ke kampus.” Aku ingin pergi ke acara reuni sendiri saja.

Anakku langsung protes dan menangis. Gagal sudah rencanaku.. Suamiku tersenyum. “Biar kita sama-sama saja. Nanti Bunda sama teman-teman, Ayah jagain anak,” katanya, bijak.

Sungguh, saat itu aku sedang tak ingin diantar. Apalagi dengan si antik. Dia memang tidak gampang mogok, tapi tampilannya jauh dari keren. Tak tega melukai niat baik suami, aku mengiyakan.

Akhirnya… di sinilah aku. Kampus tempat menuntut ilmu dulu. “Nikmati waktumu,” kata suamiku, sambil  mengajak anakku bermain. Suami memarkir mobil di luar pekarangan kampus.

Aah… senang sekali. Akhirnya aku punya ‘me time’. Aku masuk gerbang, bertemu teman-teman lama dan saling berpelukan. Kangen-kangenan sambil mengomentari penampilan masing-masing. Rata-rata  makin berisi.

“Kamu masih langsing,” puji seorang teman.

“Tapi ini gendut,” kataku, sambil menepuk perut. Mereka tertawa.

Kami duduk di tempat nongkrong favorit,  taman kampus. Ada bangku taman yang dibangun melingkar yang muat untuk  beberapa orang.  Masih seperti dulu. Tak banyak yang berubah. Sedang asyik bercanda dengan teman-teman, mobil suami masuk pekarangan kampus. Aku melihat dengan sudut mata. Ada apa, ya? Apakah anakku rewel mencariku?

Ada rasa risi melihat tatapan heran teman-teman. Sebuah mobil antik yang dengan pede-nya berjejer manis di antara mobil keluaran terbaru. Mereka saling pandang. Awalnya aku pura-pura tak melihat, kuhitung dalam hati. Satu… Dua… Tiga… Pintu belum terbuka.

Akhirnya kuhampiri mobil antik diikuti pandangan heran teman-teman. Terserah mereka mau komentar apa. Mungkin suamiku sedang sibuk menenangkan anakku yang menangis.

Suamiku membuka kaca jendela dan tersenyum. Tak terjadi apa-apa. Anakku duduk manis di sampingnya sambil mendengarkan musik.
“Kenapa parkir di sini?” kataku, cemberut.

“Di sini rindang, di luar panas,” jawabnya santai. Kutahan rasa kesalku.

Setelah puas melepas rindu bersama teman, saatnya pulang. Di perjalanan, aku lebih banyak diam, masih kesal dengan pandangan heran teman-teman tadi. Kenapa suamiku harus memarkir mobil di dalam pekarangan kampus, sih? Bikin aku malu.

Ia  bisa membaca pikiranku.

“Kanapa harus palsu?” katanya, sambil tertawa kecil.

Aku manyun. Bagaimanapun, reuni adalah ajang ‘pamer’ dan saling adu kekuatan. Tak ada standar sukses selain apa yang dipakai dan apa yang sudah dimiliki. Jujur, awalnya aku mengurungkan niat untuk hadir di acara ini. Ada rasa minder di hatiku mendengar karier sahabat-sahabat yang melesat. Mobil yang mereka punya. Rumah mewah yang mereka bangun. Tapi, kukuatkan diri untuk hadir dan berusaha tulus.

Anakku tertidur di pangkuanku. Kulepaskan gelang berlian palsu yang mengganggu gerak tanganku. Kuletakkan di dashboard mobil. Biasanya aku hanya memakai perhiasan minimalis. Entah mengapa, kali ini aku seperti toko perhiasan berjalan.

“Jadilah diri sendiri,” suami masih ceramah sambil menyetir mobil.  

Dari awal kan   aku sudah berniat pergi sendiri. Enggak repot begini.

“Biarpun mobil ini antik,  kita terlindung dari panas dan hujan,” sambungnya lagi.  Duuuh… dia membongkar rahasia hatiku.
Kami sampai di tempat tujuan. Aku sedikit kerepotan menggendong anak yang masih terlelap.

“Bang, tolong ambilkan gelangnya. Nanti kaca mobil dipecahkan maling,” kataku.

“Wah… kalau gelang ini diambil maling, dia bukannya untung, malah ngamuk,” jawab suamiku.

Kami tertawa bersama. Kenapa harus palsu, ‘kan. (f)


Novia Erwida - Nagari Ladang Laweh, Agam, Sumatra Barat
 
 
 


Topic

#Gadogado

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?