Blog
Mengikhlaskan Duit

10 Jul 2016




Seorang laki-laki yang pernah muncul dalam mimpiku, kini benar menghampiri.   Tanpa ragu, aku tahu teks tanpa nama pengirim pada layar ponselku. Malamnya dia menelepon. Aku masih mengenal suaranya, meski logat bicaranya baru. Obrolan kami membosankan. Terkadang enggak nyambung, tapi aku senang.
             
Kucoba tanya pekerjaannya, dia hanya menjawab, “Ya, begitu. Kamu kan udah tahu bagaimana pekerjaanku.”
         
 Aku jadi sungkan dan bingung harus ngobrol soal apa lagi. Yang jelas  berkali-kali ia bertanya tentang alamat rumahku.
           
Malam berikutnya, dia kembali menelepon. Tepat Sabtu malam Minggu. Hanya beberapa orang yang tersisa di rumah kos yang kutempati. Aku disibukkan  dengan kegiatan organisasi, tugas kuliah, dan paper yang harus segera diunggah. Karena itu, aku tidak keluar  kamar.
           
Awalnya topik pembicaraan kami soal pulsa telepon. Katanya, harga pulsa di Kalimantan, tempatnya tinggal saat ini, lebih mahal daripada di Jawa. Pembicaraan kami makin intens. Lalu katanya  ia ditugasi bosnya untuk mengirim bonus berupa pulsa seratus ribu rupiah kepada  tiap karyawan. Tapi, bosnya belum akan mengucurkan uang sebelum ada bukti pengiriman. Kira-kira begitu.
           
 Ia meminta bantuanku untuk  menolong dia mengirimkan pulsa-pulsa itu karena harga pulsa Pulau Jawa yang dia bilang lebih murah itu.  Dia mengirimkan lima puluh nomor ponsel   dan  berjanji  segera mentransfer uang ke nomor rekeningku.
           
Sejak pembicaraan malam itu dia terus bolak-balik meneleponku. Kini, ia meminta dikirimi pulsa ke tiga puluh nomor. Aku menolak. Tapi, ia terus menghubungi. Ia pun mengganti permintaannya menjadi sepuluh nomor ponsel. Tetap aku keberatan. Aku mengusulkannya untuk segera  mentransfer uang gajiannya ke rekeningku dan baru aku  akan membantunya. Tapi, dia menolak.
           
Aku berpikir dua kali. Di lemari, aku menyimpan uang sekitar  lima jutaan. Dia terus mendesak hingga akhirnya aku memenuhi permintaannya. Dengan uang satu juta aku berbelanja pulsa dengan mengaku sebagai  penjual pulsa. Aku mengirimkan ke sepuluh nomor tujuan. Sampai di tempat kos, aku mencoba mengirim SMS dan meneleponnya. Tak ada laporan pulsa sukses terkirim, nomor tak aktif.
           
Beberapa menit kemudian dia meneleponku.  Aku kelabakan  karena dia memprotes. Malam sudah mulai larut, tapi  aku menuruti permintaannya.  Meminta teman kos mengirim pulsa ke nomor tujuannya. Keesokan paginya  ia menelepon kembali, menagih janji. Memojokkanku, seolah aku yang bersalah,  karena aku belum mengirim pulsa. Aku pun  mengiyakan dan segera berangkat ke toko pulsa.
           
Sampai di kios, penjaga kios  berkali-kali bertanya tujuanku membeli pulsa sebanyak itu.  Dia menolak melayani dan katanya baru agak siang ada saldo pulsa sebesar dua juta. Aku pun  merasa terpojok  dan akhirnya menjelaskan maksud dan tujuanku membeli pulsa.
           
Eh, dengan  enteng dia berkata, “Itu penipuan, Mbak! Sampean kena gendam!”
         
Hah?
           
Tentu saja aku tidak terima tuduhannya. Mati-matian aku membela diri dan menjaga martabat teman priaku itu. Di lain pihak  penjaga counter juga mati-matian mempertahankan pendapatnya. Bahkan sampai memanggil bos toko.   
           
Saat laki-laki  itu  kembali meneleponku,  penjaga counter menggertak dan  mengaku sebagai polisi dan menanyakan identitasnya.  Ia tidak menjawab dan  menutup telepon.
           
Beberapa menit kemudian ternyata dia menelepon kembali. Kali ini bos counter yang menerima panggilan. Pemilik counter itu bertanya baik-baik tentang  nama dan nama perusahaan sebagai syarat standar pembelian pulsa-pulsa itu. Ia tetap tak mau menjawab, dan telepon kembali diputus. 
          
Saat itu aku baru benar-benar yakin, aku ditipu olehnya. Atau digendam, seperti kata si penjual pulsa. Shock luar biasa!  Penjaga counter pulsa dan bosnya  menenangkanku.  Memberi minum dan mengajak berbicara, dan  membantu melacak keberadaan laki-laki  yang menipuku itu. Dan tentu saja sia-sia.(f)
 


Haryani Syakieb - Krian, Sidoarjo
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?