Seorang laki-laki yang pernah muncul dalam mimpiku, kini benar menghampiri. Tanpa ragu, aku tahu teks tanpa nama pengirim pada layar ponselku. Malamnya dia menelepon. Aku masih mengenal suaranya, meski logat bicaranya baru. Obrolan kami membosankan. Terkadang enggak nyambung, tapi aku senang.
Kucoba tanya pekerjaannya, dia hanya menjawab, “Ya, begitu. Kamu kan udah tahu bagaimana pekerjaanku.”
Aku jadi sungkan dan bingung harus ngobrol soal apa lagi. Yang jelas berkali-kali ia bertanya tentang alamat rumahku.
Malam berikutnya, dia kembali menelepon. Tepat Sabtu malam Minggu. Hanya beberapa orang yang tersisa di rumah kos yang kutempati. Aku disibukkan dengan kegiatan organisasi, tugas kuliah, dan paper yang harus segera diunggah. Karena itu, aku tidak keluar kamar.
Awalnya topik pembicaraan kami soal pulsa telepon. Katanya, harga pulsa di Kalimantan, tempatnya tinggal saat ini, lebih mahal daripada di Jawa. Pembicaraan kami makin intens. Lalu katanya ia ditugasi bosnya untuk mengirim bonus berupa pulsa seratus ribu rupiah kepada tiap karyawan. Tapi, bosnya belum akan mengucurkan uang sebelum ada bukti pengiriman. Kira-kira begitu.
Ia meminta bantuanku untuk menolong dia mengirimkan pulsa-pulsa itu karena harga pulsa Pulau Jawa yang dia bilang lebih murah itu. Dia mengirimkan lima puluh nomor ponsel dan berjanji segera mentransfer uang ke nomor rekeningku.
Sejak pembicaraan malam itu dia terus bolak-balik meneleponku. Kini, ia meminta dikirimi pulsa ke tiga puluh nomor. Aku menolak. Tapi, ia terus menghubungi. Ia pun mengganti permintaannya menjadi sepuluh nomor ponsel. Tetap aku keberatan. Aku mengusulkannya untuk segera mentransfer uang gajiannya ke rekeningku dan baru aku akan membantunya. Tapi, dia menolak.
Aku berpikir dua kali. Di lemari, aku menyimpan uang sekitar lima jutaan. Dia terus mendesak hingga akhirnya aku memenuhi permintaannya. Dengan uang satu juta aku berbelanja pulsa dengan mengaku sebagai penjual pulsa. Aku mengirimkan ke sepuluh nomor tujuan. Sampai di tempat kos, aku mencoba mengirim SMS dan meneleponnya. Tak ada laporan pulsa sukses terkirim, nomor tak aktif.
Beberapa menit kemudian dia meneleponku. Aku kelabakan karena dia memprotes. Malam sudah mulai larut, tapi aku menuruti permintaannya. Meminta teman kos mengirim pulsa ke nomor tujuannya. Keesokan paginya ia menelepon kembali, menagih janji. Memojokkanku, seolah aku yang bersalah, karena aku belum mengirim pulsa. Aku pun mengiyakan dan segera berangkat ke toko pulsa.
Sampai di kios, penjaga kios berkali-kali bertanya tujuanku membeli pulsa sebanyak itu. Dia menolak melayani dan katanya baru agak siang ada saldo pulsa sebesar dua juta. Aku pun merasa terpojok dan akhirnya menjelaskan maksud dan tujuanku membeli pulsa.
Eh, dengan enteng dia berkata, “Itu penipuan, Mbak! Sampean kena gendam!”
Hah?
Tentu saja aku tidak terima tuduhannya. Mati-matian aku membela diri dan menjaga martabat teman priaku itu. Di lain pihak penjaga counter juga mati-matian mempertahankan pendapatnya. Bahkan sampai memanggil bos toko.
Saat laki-laki itu kembali meneleponku, penjaga counter menggertak dan mengaku sebagai polisi dan menanyakan identitasnya. Ia tidak menjawab dan menutup telepon.
Beberapa menit kemudian ternyata dia menelepon kembali. Kali ini bos counter yang menerima panggilan. Pemilik counter itu bertanya baik-baik tentang nama dan nama perusahaan sebagai syarat standar pembelian pulsa-pulsa itu. Ia tetap tak mau menjawab, dan telepon kembali diputus.
Saat itu aku baru benar-benar yakin, aku ditipu olehnya. Atau digendam, seperti kata si penjual pulsa. Shock luar biasa! Penjaga counter pulsa dan bosnya menenangkanku. Memberi minum dan mengajak berbicara, dan membantu melacak keberadaan laki-laki yang menipuku itu. Dan tentu saja sia-sia.(f)
Haryani Syakieb - Krian, Sidoarjo