Blog
Ini Cara Saya Bisa Berhenti Merokok

3 Sep 2016


Foto: Fotosearch

Saya menemukan sebuah momen yang akhirnya membuat saya berhenti dari kecanduan merokok.
 
Saya mulai menghisap rokok ketika duduk di bangku SMP kelas 3 atau sekitar usia 15 tahun. Dorongan itu muncul karena pengaruh iklan rokok yang banyak menonjolkan kedewasaan, sikap pemberani, dan maskulinitas. Terlebih lagi teman-teman seusia sudah banyak yang merokok. Ada satu alasan kuat yang membuat saya ingin merokok ketika itu: mendapatkan pengakuan.
 
Dari mulai ikut-ikutan, saya mulai kecanduan. Semakin dewasa saya bahkan sudah bisa memilih jenis rokok apa yang menurut saya enak dan memiliki kualitas tembakau terbaik. Semua "ahli hisap"---sebutan untuk perokok---saya kira pasti pernah memberikan alasan kuat tentang pilihan rokok yang dihisapnya.
 
Tahun 2011, tepatnya menginjak usia 33 tahun saya memutuskan untuk berhenti, setelah 15 tahun mengakrabinya. Apa yang membuat saya berhenti? Bukan karena masalah kesehatan atau keuangan, tapi karena bosan. Itu saja. Keputusan itu pun diambil cuma selang beberapa jam setelah saya membeli 1 lusin (12 bungkus) rokok untuk persediaan di rumah, dan baru saya hisap setengah batang saja.
 
Sampai saya menulis ini, terhitung sudah 5 tahun saya berhenti merokok. Banyak teman perokok yang bertanya, bagaimana bisa saya dengan mudah berhenti merokok dan tidak tergoda untuk merokok kembali? Jawabannya, karena saya selalu berpikir bahwa berhenti merokok itu mudah. Dengan pola pikir seperti itu, saya tak perlu ke dokter untuk meminta obat atau mendengarkan cerita menyeramkan tentang bahaya merokok bagi kesehatan, demi untuk berhenti merokok.
 
Ada hal-hal menarik yang saya rasakan sepanjang saya menjalani hari-hari tanpa rokok. Dan ini selalu berhubungan dengan gejala psikologis dan pola pikir saya selama menjadi perokok.
 
Tidak merokok setelah makan membuat mulut pahit atau perut eneg. Dulu, hal ini selalu menjadi alasan kuat saya untuk segera merokok setelah makan. Saya tak tahu apakah perokok lain merasakan hal serupa. Anehnya, selang sehari setelah memutuskan berhenti merokok, karena saya berpikir akan merasa baik-baik saja meski tak merokok setelah makan, perasaan perut eneg atau mulut pahit itu tak lagi saya rasakan.
 
Benci pada ruangan ber-AC atau tanda "dilarang merokok". Seharusnya berada di ruangan ber-AC adalah hal yang menyenangkan. Namun, entah kenapa, saat menjadi perokok saya selalu gelisah dan merasa tak betah berada di dalam ruangan ber-AC, apalagi jika tertera tulisan "dilarang merokok".  Saya akan berusaha mencari tempat dimana saya bisa merokok, seberapa pun jauhnya itu. Sekarang saya seringkali tertawa dengan besarnya perjuangan yang saya lakukan dulu, demi untuk bisa merokok.
 
Merokok biar Pede. Saya pernah mengalami nervous luar biasa saat akan berkunjung ke rumah seorang wanita yang saya suka. Saya lalu mulai menghisap satu hingga dua batang rokok sebelum tiba di rumahnya, dengan harapan bisa menghilangkan nervous tersebut. Yang terjadi, pakaian yang saya kenakan justru bau rokok dan itu malah menghilangkan rasa percaya diri saya di depan dia. Apalagi ketika dia sudah merasa terganggu dengan bau rokok tersebut.
 
Paham jika merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Tapi....ah, sudahlah. Saat masih merokok, saya tahu benar jika nikotin dan racun lain dalam rokok bisa merusak organ-organ dalam tubuh saya secara perlahan, memicu kanker bahkan menyebabkan kematian.
 
Tapi, entah kenapa, semakin sering saya membaca artikel-artikel tersebut, semakin pandai saya mencari alasan untuk tetap merokok. Salah satu alasan favorit saya adalah: kematian itu takdir, bukan rokok yang menentukan. Anehnya lagi, saya benci dengan artikel-artikel kesehatan tentang bahaya merokok.
 
Lalu apa yang terjadi setelah saya memutuskan untuk berhenti merokok? semua menjadi terbalik. Saya semakin rajin membaca artikel tentang kesehatan dan itu malah menguatkan perjuangan saya untuk tidak merokok kembali.
 
Dari sebuah artikel saya menemukan bahwa kecenderungan orang sulit untuk berhenti merokok adalah karena ia tidak menyadari betapa besar efek nikotin memengaruhi psikologis dan pikirannya. Ketika berusaha untuk lepas dari kecanduan akan rokok, orang biasanya fokus pada hal masalah kesehatan tubuhnya secara fisik, bukan pada kerusakan psikologis atau pikirannya.
 
Seorang teman mendadak rajin minum susu kalengan saat ia berusaha untuk lepas dari kecanduan merokok. Ia percaya dengan anggapan susu bisa membersihkan racun rokok dalam tubuhnya. Seorang teman lain malah pergi ke ahli gurah dengan harapan bisa menguras semua racun rokok di tubuhnya. Kurang dari tiga minggu mereka menyerah dengan proses terapi yang dijalani dan kembali merokok.
 
Lalu apa yang salah dengan mereka dan orang-orang lain yang gagal lepas dari kecanduan merokok? Mereka tidak bisa memelihara pikiran positif mereka dan tidak benar-benar ingin berhenti merokok.
 
Banyak teman yang datang dan meminta saran agar ia bisa berhenti merokok, seperti saya. Anehnya, kebanyakan menemui saya dengan merokok. Saya cuma bilang, "Kalau mau berhenti merokok, ya, matikan rokok yang sedang kamu hisap itu." Jawaban mereka, rata-rata, adalah, "tanggung satu batang lagi," atau "saya akan mulai berhenti merokok besok". Sebagian besar dari mereka belum berhenti merokok hingga saat ini.
 
Saya juga paling malas berdebat masalah bahaya rokok dengan perokok. Karena sampai kapan pun perokok akan selalu mencari alasan yang membenarkan dirinya untuk tetap merokok. Itulah dahsyatnya efek nikotin terhadap pikiran perokok.
 
Sekali lagi, keberhasilan orang untuk lepas dari kecanduan merokok sangat dipengaruhi oleh perspektif ia tentang rokok itu sendiri. (f)

Baca Juga: ​Pro Kontra Kenaikan Harga Rokok dan Alasan Kenapa Kita Harus Mendukungnya
 


Topic

#rokok

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?