Fiction
Will [6]

29 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Will tertawa. “Berapa orang yang akan mempedulikan hal itu, Ben? Apa urusan mereka? Mereka menyukainya. Permaisuri mengatakan bahwa permainan drama tersebut sungguh manis, dan Raja...”

“Raja!” bentak Ben keras. Wajahnya tampak sangat marah. Raja James terkadang jatuh tertidur saat menyaksikan pementasan karya Ben sendiri. “Ia sangat dungu! Aku katakan kepadanya, tepat di depan batang hidungnya: Sir, Anda tak memahami puisi!”

Giliran John Heminges yang tertawa. “Oh Tuhan! Betapa kasarnya kau, Ben! Aku tak habis pikir bagaimana kau bisa bertahan hidup selama ini!”

Will tertawa lagi. Lalu ia berkata, “Ben, kau harus berhati-hati. Kau tak ingin Raja menjadi musuhmu. Jangan lupa, beliau membayar kita dua kali lipat daripada Ratu Elizabeth, dan banyak pertunjukan kita yang ditontonnya dua kali.”

“Uang?” bentak Ben lagi. Ia memang sangat suka memperdebatkan apa saja. “Kita ini penyair, aktor, bukan pekerja bisnis! Apa urusannya dengan uang?”

“Dengan itu maka perutmu terisi roti dan daging, serta kau punya jas untuk melindungi punggungmu,” jawab Will, mereguk birnya. “Dan kau juga yang pertama kali mengeluh bila kehabisan uang.”

Ben membanting gelas birnya ke atas meja. “Sekarang dengar baik-baik, Tuan William Shakespeare dari Stratford, dengan rumah besarmu yang nyaman, kuda-kudamu yang mahal, kau menulis dalam naskah Raja Learmu bahwa uang...”

“Oh, berhentilah bertengkar, kalian berdua!” lerai John Heminges. Ia hendak mengatakan sesuatu padaku, tapi Ben berdebat lagi tentang karya Will yang lain.

“Dan bagaimana tentang Antony dan Cleopatra? Tulisan macam apa itu? Kau tak pernah tahu di mana persisnya kau berada! Semenit kau berada di Mesir, semenit berikutnya di Roma, lalu tiba-tiba kau berada di laut di atas sebuah kapal, dan kau balik lagi ke Mesir...”

Richard Burbage tak menyukai suasana yang ricuh itu. “Kau salah lagi, Ben. Kau saja yang tak dapat mengikuti alur cerita. Kau pikir penduduk London bodoh-bodoh, tapi mereka lebih mengerti daripada kau! Dan satu hal...”

Kuputuskan untuk pulang ke penginapan. Ben pria yang baik, namun dia terlalu banyak bicara. Ketika aku meninggalkan kedai itu, ia sedang memesan bir untuk yang kesekian kalinya. Aku tahu mereka akan melewatkan sepanjang malam itu di Mermaid.


"Rambutmu sudah banyak berkurang, Will,” ucapku kepadanya suatu hari.
“Kita berdua semakin bertambah tua, Toby. Kita tidak bisa lari darinya. Tua dan lelah.”

“Jangan berkata seperti itu. Usiamu baru 47. Hidupmu masih panjang, Will. Dan masih ada 20 naskah drama lagi!”

“Tidak,” elaknya pelan. “Tidak, kupikir puisinya sebentar lagi selesai. Aku lelah, Toby. Aku butuh istirahat. Kukira The Tempest akan menjadi karya terakhirku. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia panggung. Sekarang sudah banyak bermunculan penulis baru, masih muda-muda, dan tahu caranya menghibur penonton. Aku tidak semodern dulu.”

Ia tak pernah berkata seperti itu, dan aku benar-benar tak menyukainya. “Hanya ada satu Will Shakespeare. Dan ia akan selalu modern. Sekarang aku harus kembali bekerja. Aku harus pergi membeli kain untuk membuat kostum para pemain The Tempest. Mengapa kau harus mengambil latar di sebuah pulau? Saat kapal tenggelam, semua pemain harus tampil ke panggung dalam keadaan basah. Kau tahu itu butuh sehari untuk mengeringkan kostum-kostum... artinya akan ada dua kostum untuk masing-masing pemain: yang basah dan yang kering!”

Kata-kataku membuatnya ‘hidup’ kembali. “Tidakkah kau baca kata-kata Gonzalo pada babak kedua, Toby? Kau tahu pulau itu ajaib. Jadi pakaian mereka kering terus sepanjang waktu. Jadi mereka hanya butuh satu kostum.”

Aku tertawa, dan ia pun tertawa.

Namun ia benar, ia memang lelah. Aku dapat melihatnya, juga teman-teman yang lain. Tapi kelompok teater selalu menginginkan drama-drama baru untuk dipentaskan. Dan sekarang kami punya dua buah teater. Selain Globe, ada pula Blackfriars. Pertunjukan di Globe dilakukan di ruangan terbuka, jadi harus selalu dipentaskan saat hari cerah. Sedangkan Teater Blackfriars adalah bangunan beratap. Kami dapat mementaskan drama pada malam hari, dan pada berbagai kondisi cuaca. Uang yang dihasilkan pun lebih banyak. Karena masing-masing penonton yang ingin mendapatkan kursi, mereka harus membayar 1 shilling. Di Globe, penonton membayar 1 penny. Dan itupun berdiri.

Pada bulan Februari 1612, adik Will, Gilbert, meninggal dunia di London. Disusul Richard setahun kemudian, pada bulan yang sama. Tingallah Will satu-satunya putra keluarga Shakespeare yang masih hidup.

Will sudah tak lagi bermain dalam drama karyanya. Namun ia masih menyempatkan diri datang ke tempat latihan untuk melihat para aktor yang akan memainkan karyanya.

Musim semi 1613, dalam perjalanan kembali ke Stratford, kami berhenti di Oxford dan bermalam di sebuah penginapan bernama Crown Inn. Will tampak sangat akrab dengan pemilik penginapan itu, John Davenant dan istrinya, Jane. Pagi berikutnya, saat kami hendak pergi, anak laki-laki mereka, William, berlari ke arah Will untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia anak yang cerdas, usianya sekitar tujuh tahun, dengan warna rambut dan mata yang sama persis seperti Will. Setelah beberapa saat berbincang dengannya, Will memberinya sekeping penny.

Saat dalam perjalanan, aku berkata pada Will, “Hari terakhir kita berada di Oxford, aku mendengar pembicaraan penduduk di kota. Seseorang mengatakan bahwa kau adalah ayah dari anak laki-laki Jane Davenant.”

Will tertawa. “Well, well, orang-orang boleh berpendapat demikian ‘kan. Apa yang akan mereka katakan selanjutnya?”
“Jane wanita yang cantik.” Sudut mataku mengerling kepadanya. “Benar bukan?”

“Ayolah, Toby. Kau tahu Jane istri yang baik bagi John,” jawabnya tersenyum. “Kau tak sepatutnya mendengar cerita-cerita seperti itu.”

Aku juga tak mempercayainya. Tapi tahun-tahun setelah kematian Will, William Davenant mengatakan kepada orang-orang bahwa ia adalah anak laki-laki Will. Bagaimana dia bisa tahu? Ibunya takkan pernah menceritakannya!

Will bahagia bertemu putri-putrinya dan John Hall, serta si kecil Elizabeth yang baru berusia lima tahun. Ia juga bahagia bertemu Anne, kukira. Ia tak pernah bicara banyak pada istrinya, begitu pula istrinya.

Menurutku, Judith adalah anak perempuan Will yang paling disayanginya. Susanna memang lebih cantik dan lebih pintar, tapi Judith adalah kembaran Hamnet, dan Will masih teringat akan Hamnet. Ia menginginkan seorang cucu laki-laki. Judith berusia 28 tahun sekarang, dan masih melajang. Tapi Will mengatakan tak usah terburu-buru. Judith harus mendapatkan pria yang tepat.

Will bekerja keras sepanjang hidupnya, dan semua itu adalah untuk keluarganya. Aku teringat beberapa baris dari naskah dramanya yang berjudul The Tempest– Prahara, ketika Prospero berbicara kepada putrinya, Miranda.

I have done nothing but in care of thee,
Of thee, my dear one, thee my daughter...
[ Tak satu pun jua t’lah kuperbuat selain untukmu,
untukmu, kasihku satu, untukmu putriku... ]

Will masih menulis sebuah naskah lagi berjudul Henry VII, sebab Putri Elizabeth, anak perempuan Raja, akan menikah. The King’s Men harus melakukan persiapan yang matang untuk menyambut hari istimewa itu.

Saat itu kami berada di London. Pertunjukan pertama dimulai tanggal 29 Juni 1613. Aku masih ingat peristiwa yang nahas itu.

Kejadiannya begitu cepat, sesaat setelah pementasan dimulai. Richard Burbage sedang berdiri di atas panggung saat tiba-tiba dialognya terhenti. Ia menatap ke atas.

“Kebakaran!” teriaknya. “Teater kita terbakar!”

Bangunan dari kayu itu dilalap api begitu cepat. Henry Condell turut berteriak, “Semuanya keluar! Cepat!”

Kerumunan penonton berlarian menuju ke pintu keluar, dan aku segera ke sana untuk membukanya. John Heminges berteriak pada Will, “Buku-buku naskah! Kita harus menyelamatkannya!”

Untungnya tak ada seorang pun yang cedera. Namun Globe telah rata dengan tanah. John Heminges berdiri memandangnya, lantas menangis.

Tapi tragedi itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian, Teater Globe yang baru telah berdiri lagi di tempat yang sama. Lebih besar dan lebih bagus. Orang-orang menyebutnya sebagai tempat pertunjukan termegah di Inggris.

Kami sudah tak sesering lagi berada di London. Will bahagia bersama keluarganya di Stratford. Ia meluangkan waktunya untuk berkebun, bermain dengan cucunya, Elizabeth, membaca-baca naskah dramanya lagi, melewatkan hari tuanya bersamaku seraya membicarakan tentang masa tua kami.

Judith akhirnya menikah pada bulan Februari 1616, di usianya yang ke-31. Suaminya bernama Thomas Quiney, yang berusia 26 tahun. Will tampaknya tak senang kepadanya.

“Judith sangat mencintainya. Tapi aku merasa tak yakin. Kukira Judith telah melakukan kesalahan.”

Ia benar. Will memang biasanya benar dalam menganalisa seseorang. Thomas Quiney pria yang pemalas, tukang minum, dan pergi bersama wanita lain.

Namun Will tak sempat mengetahuinya. Pada bulan Maret ia menghadiri sebuah pesta kecil-kecilan di Mermaid Tavern. Ben Jonson sekarang telah menjadi aktor untuk pementasan di istana. Raja memberinya sejumlah uang setiap tahunnya, oleh karena itu Ben ingin mengadakan sebuah pesta untuk teman-temannya.

Kudengar, pesta itu berlangsung cukup meriah. Tapi Will mendadak terserang demam. Ia pulang kembali ke rumahnya di suatu mesim semi yang dingin, saat turun hujan. Ketika ia sampai di New Place, kondisi kesehatannya kian memburuk.

Will meninggal dunia tanggal 23 April 1616. Mayatnya dikuburkan di Holy Trinity Church, yang terletak di tepi sungai Avon. Saat itu cuaca cerah, namun berangin.

Ben Jonson datang langsung dari London menghadiri upacara pemakamannya. Di dalam gereja, ia menangis. Walaupun sering berdebat dengan Will, Will adalah sahabat terbaiknya.

“Toby,” katanya pelan, “Will adalah pria sejati. Aku menyayanginya. Kita takkan pernah lagi melihat seorang penyair seperti dirinya di Inggris.”

Anne Shakespeare meninggal tahun 1623, disusul dua tahun kemudian oleh John Hall, yang berjuang melawan penyakit pes yang dideritanya. Susanna dan Judith masih hidup. Judith memiliki tiga orang putra, namun ketiganya meninggal. Sehingga tak ada lagi anak laki-laki di keluarga Will yang melanjutkan nama besarnya. Elizabeth, putri Susanna, tidak punya anak, dan kini ia telah berusia 41 tahun. Terkadang ia menyempatkan diri untuk menjengukku.

Kaum Puritan memenggal kepala Raja Charles, putra Raja James, bulan Januari yang lalu. Tak ada lagi nyanyian, tarian, pementasan drama.

Namun orang-orang takkan melupakan nama Will Shakespeare. (TAMAT)


Penulis: Jennifer Bassett


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?