Fiction
Wanita Kedua [6]

18 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

“Kasihan..., kata Mama, sambil menerawang. “Mama nggak bisa membayangkan kalau Mama jadi Jean.

Lalu, aku pun menceritakan hubungan Jeanny dengan Wilman, yang membuat Mama gemas. Menurut Mama, Wilman adalah tipe pria yang memanfaatkan kelemahan wanita. Dia tahu bahwa Jeanny butuh kasih sayang, lalu dengan seenaknya dia menjadikan Jeanny wanita simpanan.

“Kalau niatnya baik, paling tidak dia bisa menikahi Jean, meskipun hanya menikah siri, seperti suami Jean dulu. Kalau ini kan jelas-jelas hanya dijadikan pemuas nafsu.”

Aku setuju dengan pendapat Mama. Tiba-tiba aku teringat Gunawan. Apakah keinginannya menikahiku secara siri menunjukkan bahwa Gunawan berniat baik?

“Ma, Gunawan sudah melamar Sandra. Dia ingin menikahi Sandra secara siri, sambil mengurusi perceraian dengan istrinya. Setelah itu, kami akan menikah secara resmi.”

Mama terbelalak.

“Sandra, kamu jangan gila. Kalau dia mau menikahi kamu, dia harus bercerai dulu dari istrinya.”

“Tapi, tadi Mama bilang, menikah siri itu menunjukkan iktikad baik,” kataku, sambil berusaha meyakinkan Mama.

“Dalam kasus Jeanny memang begitu. Karena, statusnya yang dulu kan parah, wanita simpanan! Beda dari kamu. Kamu wanita terhormat, anak baik-baik, masih perawan. Dengar, ya, pendapat Mama itu hanya berlaku untuk orang lain. Kalau untuk anakku? Tidak mungkin!”

Mama menutup pembicaraan dengan sebuah ultimatum. Dan, jauh di dalam lubuk hatiku, sebetulnya aku sudah tidak berhasrat meneruskan hubunganku dengan Gunawan, setelah mendengar penuturan Jeanny. Bagaimanapun, aku tak ingin menjadi wanita kedua, apakah itu secara sah atau secara sembunyi-sembunyi.

Malam itu, ketika sedang duduk di kafe, Jeanny datang menemuiku.

“Hai, Jean. Bosan di rumah, ya?”

“Ya, San. Kebetulan, ada yang ingin aku bicarakan. Aku stres di rumah memikirkannya,” sahutnya, dengan wajah muram.

Aku memesan dua cangkir espresso, lalu kami duduk di sudut kafe.

Jeanny terlihat resah, meski dia berusaha menutupinya.

“Wilman itu memang kurang ajar!”umpatnya.

Aku terkejut. Baru kali ini aku mendengar Jeanny mengumpat. Wanita itu biasanya sangat halus.

“Apa yang terjadi?”

“San, aku hamil.”

Kalimat yang pendek itu mampu menyirap suasana. Hampir dua menit kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bagiku, kehamilan Jeanny adalah risiko hubungan bebasnya dengan Wilman. Tapi, bagaimana mungkin Jeanny membiarkan dirinya hamil? Dia kan bukan anak kemarin sore?

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan.”

Jeanny tiba-tiba memecahkan keheningan.

“Aku juga sudah berhati-hati. Tapi, entahlah. Kejadian ini tak terduga sama sekali. Meski begitu, aku tidak mau menggugurkan kandunganku ini.”

“Sudah berapa bulan?” tanyaku, dengan suara nyaris seperti bisikan.

“Masuk bulan keempat.”

“Apa? Kok, baru tahu?”

“Aku tidak menyangka sama sekali. Terlambat menstruasi 2-3 bulan bagiku sudah biasa. Tapi, karena sudah lebih dari empat bulan, aku pun waswas. Akhirnya, aku menggunakan tes uji kehamilan. Hasilnya, positif! Untuk lebih memastikan, aku mendatangi dokter kandungan. Kata dokter, kandunganku sudah berjalan empat bulan. Demi Tuhan, aku tidak mau punya anak dari dia. Tapi, janin ini ingin hidup, San.”

Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya.

“Kemarin aku memberitahukan hal ini pada Wilman. Dengan seenaknya dia menyuruhku menggugurkan kandungan. Lagi pula, dia tidak yakin ini anaknya, karena dia selalu pakai pengaman. Kurang ajar! Padahal, sejak berhubungan dengannya, aku tidak pernah punya pria lain. Ketika aku bilang begitu, dia malah menghinaku. Katanya, siapa yang percaya jika seorang mantan wanita panggilan hanya berhubungan dengan satu pria! Sakit hatiku, San. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan ucapannya itu.”

Aku juga geram mendengarnya. Bila pria itu ada di hadapanku, ingin rasanya aku memukul wajahnya yang sinis itu.

“Apa yang harus aku lakukan, San? Aku tidak ingin membunuh janin yang tak berdosa ini. Tapi, aku juga tak sudi mempunyai anak dari Wilman.”

Aku menggenggam tangan Jeanny.

“Kita ancam saja Wilman. Kita adukan pada istrinya atau pada atasannya di kantor,” aku memberi usul.

Jeanny mulai terisak.

“Ini salahku, San. Aku tahu, bagaimanapun, berhubungan dengan pria beristri tidak akan membuatku bahagia. Tapi, aku nekat menjalaninya. Ini salahku... ini salahku!”

Jeanny mulai memukul-mukul kepalanya. Aku menarik tangannya.

“Jangan siksa dirimu, Jean. Tidak ada gunanya menyalahkan diri. Kita pikirkan saja apa yang harus kita lakukan sekarang.”

“Tapi, aku tak berani memberi tahu istrinya. Aku tak mau menghancurkan hidup wanita lain. Biar aku saja yang menanggungnya. Aku sudah biasa menderita. Satu penderitaan lagi tidak akan membuatku mati.”

Jeanny lalu menangis.

Meskipun pernah berprofesi sebagai wanita panggilan, sahabatku ini rupanya masih punya hati nurani. Dalam kesulitannya, Jeanny masih sempat memikirkan nasib orang lain. Bagiku, Jeanny sama sekali tidak pantas disebut wanita panggilan. Nasib buruklah yang membuatnya harus menerima predikat itu. Duh....

Aku menyodorkan kopi yang sudah mulai dingin.

Jeanny menghirupnya dengan mata yang masih basah. Ia menatapku dengan pandangan pasrah.

“Apa pun keputusanmu, kita hadapi bersama,” kataku, menguatkannya.

Jeanny mengangguk. Tak berapa lama, dia pamit pulang.

Sebenarnya, aku ingin menahan Jeanny lebih lama di kafe. Aku ingin lebih banyak mengobrol dengannya. Setelah ia beranjak pergi, kini aku menyesal karena tidak menahan kepergiannya.

Aku sedang melayani tamu di kafe, ketika ponselku berdering. Terdengar suara rintihan. Suara Jeanny!

“Ada apa, Jean?!” teriakku kalut.

“Aku... rasanya akan mati, San.”

Setelah itu tak ada suara. Aku panik. Tanpa pikir panjang, aku segera meninggalkan kafe. Kukebut mobilku menuju rumah Jeanny. Rumahnya sepi, seperti tak ada orang. Kutekan bel berkali-kali. Terdengar tapak kaki Dito di tangga. Sekejap kemudian, dia sudah membukakan pintu untukku.

“Mama mana, Dit?”

“Ada di kamar, Kak. Sejak Dito pulang tadi, Mama sudah ada di kamar.”

Aku segera menuju kamar Jeanny. Terkunci. Keketuk-ketuk pintu, tak ada reaksi. Aku makin panik.

“Dito, kita dobrak saja pintunya,” teriakku, sambil mendorong pintu dengan tubuhku. Tapi, tak berhasil. Melihat kecemasanku, Dito yang tadinya kebingungan, langsung berinisiatif mencari benda besar, yang bisa kami pakai untuk mendorong pintu. Yang pertama ditemukannya adalah meja tamu. Berdua kami mendorong meja itu. Pintu sedikit penyok, tapi tak terbuka.

Dito segera berlari ke ruang makan, dia mendorong sebuah rak besi beroda, berisi tumpukan buku. Kami bersama-sama mendorong benda itu ke arah pintu. Buku-buku yang ada di atas rak itu berhamburan ke segala arah. Setelah mendorong tiga kali, baru pintu kamar Jeanny terbuka. Aku langsung masuk ke dalam. Kulihat Jeanny terkulai lemas di atas tempat tidurnya yang penuh dengan darah.

Dito menjerit-jerit ketakutan.

“Mama... Mama... Mama!”jeritnya.

Aku meraih tangan Jeanny dan memeriksa denyut nadinya. Terasa sangat lemah.

“Jean, kamu kenapa?” teriakku.

Jean membuka matanya dengan lemah.

“Bertahan, Jean, kita ke dokter, ya,” kataku, hampir menangis.

Ya, Tuhan, Jean, apa yang terjadi padamu, tanyaku dalam hati, sambil terisak. Melihat darah yang begitu banyak, aku curiga Jeanny mengalami perdarahan atau keguguran? Atau, jangan-jangan, Jeanny mencoba menggugurkan kandungannya?





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?