Fiction
Wanita Kedua [4]

18 May 2012



Saat bercerita, kulihat Gunawan seperti menyimpan permasalahan yang berat. Ia bercerita dengan suara pelan dan tersendat.

“Dulu, dia gadis yang sangat lugu. Baju-baju dan perlengkapan kosmetiknya pun harus aku yang membelikan. Aku juga yang mengantarnya ke salon agar tampak lebih gaya. Tentu saja, aku tidak ingin punya istri yang terlihat kampungan, sekalipun wajah Rini bisa dikatakan cantik.”

“Lalu, sekarang bagaimana? Apakah masih harus diantar ke salon juga?” tanyaku, bercanda.

Aku tak menyangka pertanyaanku itu justru membuat wajah Gunawan makin masam.

“Mengantar ke salon? Ah, tidak perlu. Sekarang dia sudah bisa menyetir mobil sendiri. Ke mana-mana dia pergi sendiri. Bahkan, sering kali tanpa kuketahui. Teman-temannya adalah istri-istri pejabat, yang selalu mengajaknya pergi ke tempat hiburan malam.”

Aku terbelalak.

“Aku yang lahir dan besar di kota besar saja tidak tergila-gila pada gaya hidup seperti itu,” kataku, sambil cekikikan.
Tanpa kusadari, ucapanku itu membuat wajah Gunawan ber–tambah masam. Sekarang malah ditambah sedikit muram.

“Apa yang harus kulakukan, bila pernikahanku tidak sesuai harapanku? Bercerai? Tidak mungkin. Terlalu banyak orang yang terlibat di dalamnya. Ada orang tuaku, orang tuanya, anak-anak, ada teman dan kerabat. Aku tak punya solusi dari masalahku ini.”

“Apakah kalian memang sedang memiliki masalah?” tanyaku, meski aku mulai menangkap arah pembicaraannya.

“Istriku sekarang berubah seratus delapan puluh derajat dari yang pertama kukenal. Dia tidak lagi seperti ketika kami baru menikah. Dulu dia membuatkan kopi setiap pagi, menyiapkan pakaianku, bahkan dia memasak sendiri untukku. Katanya, itu yang diajarkan orang tuanya. Kini dia tidak lagi mau mengurusku. Kerjanya hanya berdandan dan pergi berhura-hura dengan teman-temannya. Bahkan, anak-anak kami pun tidak pernah ia perhatikan lagi,” kata Gunawan, sambil menarik napas dalam-dalam.

“Mungkin, ini kesalahanku menikahi anak yang baru beranjak dewasa. Ketika menikah denganku, ia baru tamat SMA. Mungkin, dia belum puas menikmati masa mudanya. Kini, setelah perekonomian kami mapan, dia seolah ingin membalas dendam atas masa mudanya yang hilang.”

Aku hanya diam. Sedikit banyak aku mem–benarkan pendapatnya. Tapi, aku juga telah kehilangan masa mudaku untuk mengejar prestasi. Aku tidak pernah berhura-hura, apalagi bergaul dari satu bar ke bar lain, seperti yang dilakukan istri Gunawan. Padahal, aku besar di kota metropolitan ini dengan segala kemampuan finansial yang keluarga kami miliki. Tapi, aku tak pernah ingin melakukan hal-hal semacam itu. Aku juga tidak pernah merasa dendam atau ingin membalas semua kehilangan itu. Jadi, rasanya sulit kumengerti mengapa istri Gunawan bisa melakukan hal-hal bodoh seperti itu.

“Ketika menikah dulu, dia gadis yang sangat lugu. Bahkan, ia belum pernah berpacaran. Orang tuanya sangat ketat menjaga anak gadisnya. Jadi, aku bangga bisa menikahi gadis seperti dia. Apalagi, saat itu usiaku sudah 35 tahun. Teman-teman memujiku karena bisa mendapatkan gadis cantik yang masih polos. Tentu saja, aku bangga. Tapi, kini, saat usiaku merangkak tua, istriku justru sedang mengalami masa puber yang terlambat,” katanya, sambil tertawa getir.

“Dia mengkhianatimu?”

“Aku tidak tahu. Tapi, kurasa, itu hanya masalah waktu. Sebentar lagi aku akan makin tua dan tidak menarik. Mungkin saja dia ingin mendapatkan pria yang lebih segar.”

Aku merasa, Gunawan sangat tertekan melihat kelakuan istrinya. Dia lebih tertekan karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun memanggil waiter dan memintanya membuatkan secangkir teh melati untuk mengendurkan sarafnya. Gunawan menatapku de–ngan pandangan yang tak bisa kumengerti.

“Terima kasih atas perhatianmu, San. Aku tak pernah diperhatikan oleh Rini seperti ini. Dia tidak pernah peduli, apakah aku capek atau sedang tertekan. Dulu, sewaktu dia belum bisa menyetir mobil, bila aku pulang dari kerja, dia langsung memintaku mengantarnya belanja. Padahal, aku sedang capek. Aku rasa, Rini memang bukan tipe wanita yang sensitif. Dia tipe wanita yang ingin dilayani dan ingin menguasai.”

Gunawan meremas rambutnya dengan kedua tangannya.

“Aku telah salah menerima perjodohan itu. Aku pikir, wanita dari kampung adalah wanita yang bersedia mengabdi pada suami. Tapi, ternyata itu hanya terjadi di awal-awal pernikahan kami saja. Setelah anak pertama kami berumur satu tahun, sepenuhnya dia menyerahkan tugas melayani segala kebutuhanku pada pembantu!” Gunawan terlihat begitu kesal. Kekecewaannya tampak begitu dalam.

Sepeninggal Gunawan malam itu, aku sangat resah. Aku bisa merasakan kegundahannya. Aku kasihan padanya. Aku jadi ingin melayaninya, ingin membahagiakannya. Dalam hatiku, diam-diam aku bertekad akan membuat Gunawan nyaman berada di sampingku. Aku ingin Gunawan bisa menghilangkan rasa tertekannya, karena wanita itu tidak pantas membuat pria sehebat Gunawan menjadi gundah. Apa, sih, kehebatannya, hingga dia bisa memperlakukan suaminya seperti itu.

Ah, kenapa aku jadi begitu membenci Rini? Kurasa, aku cemburu melihat Gunawan tersiksa akibat ulah wanita itu.

Tanpa kusadari, hubunganku dengan Gunawan makin dekat. Aku selalu menjadi pendengar setianya, ketika dia sedang mengeluhkan kelakuan istrinya yang makin menjadi-jadi. Gunawan juga kukenalkan pada Mama. Lucunya, Mama dan Gunawan hampir sebaya. Tapi, kulihat, Mama tak keberatan dengan hubungan kami. Ia juga tampaknya menyukai Gunawan. Apalagi, setelah kuceritakan masalah yang dialaminya. Mama jadi bersimpati.
“Tapi, kamu harus hati-hati, ya, San. Jangan pernah menjadi orang ketiga.”

“Kenapa ngomong begitu, Ma?”

Mama tersenyum lembut.

“Mama kan bisa melihat bahwa kalian saling tertarik. Itu wajar. Gunawan memang orang yang simpatik dan kelihatannya bisa ngemong. Tapi, selama dia masih menjadi suami orang lain, Mama tidak setuju kamu menjalin hubungan dengannya.”

Ucapan Mama pelan, tapi tegas. Aku memakluminya dan aku pun setuju dengan pendapat Mama. Tapi, cintaku pada Gunawan tumbuh tanpa dapat kuhalangi. Sejak kepergian Papa, baru kali ini aku bisa melupakan kesedihanku. Seolah, Gunawan bisa menggantikan Papa untukku.

Tanpa terasa enam bulan berlalu sejak pertemanan kami. Suatu malam, Gunawan datang ke kafe dengan wajah lesu.

“San, aku ingin bercerai,”katanya.

Aku tersentak.

“Kamu mabuk, ya?”

“Mabuk? Aku tidak mabuk, San. Aku hanya pria tua yang sedang stres,” kata Gunawan.

“Kamu tidak tua... kamu belum tua, Gun. Kamu hanya sedang tertekan karena perbuatan istrimu. Lebih baik kamu pulang dan beristirahat. Pikirkan baik-baik apa yang harus kamu lakukan,” kataku, menghiburnya.

Tapi, Gunawan tampaknya tidak bisa mengendalikan diri. Jadi, aku biarkan saja dia duduk termenung di ruang karaoke. Aku rasa, Gunawan memang sedang stres. Dia menyanyi sembarangan dengan suara keras. Dia masih berada di ruang karaoke sampai kafe kami akan tutup. Aku menyuruh para waiter untuk pulang, karena tak mungkin mereka menunggui kafe hingga Gunawan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah melampaui jam pulang pegawai yang bertugas malam hari.

Ketika para pelanggan dan pegawai sudah pulang, aku menghampiri Gunawan.

“Gun, tidak pulang? Kami sudah mau tutup,” kataku, pelan.

Gunawan kulihat sedang berbaring di sofa, sambil mencengkeram mikrofon, masih bernyanyi dengan suara keras.
“Sini...,” panggilnya. “Temani aku di sini, San. Hanya kamu harapanku.”

Gunawan kelihatan sangat kacau.

“Tolong buatkan aku espresso, San. Aku ingin bernyanyi sampai pagi. Boleh, ‘kan?”

Tatapannya begitu memelas. Aku tak tega. Aku pun mem–buatkan kopi untuknya. Saat aku kembali, kulihat Gunawan sudah tertidur. Kuletakkan kopi itu di meja kecil dekat sofa.

Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul 12.00 malam. Aku ragu-ragu, apakah akan meninggalkan Gunawan sen–dirian di kafe atau membangunkannya. Kuputuskan untuk membangunkan Gunawan.

“Gunawan...,” bisikku, lembut. Gunawan tak bergerak.

Aku menatap wajahnya yang tertidur pulas. Wajah seorang pria yang lelah. Dia begitu polos. Kubelai rambut Gunawan, seolah aku ingin membuatnya lebih nyaman. Mungkin benar, aku telah jatuh cinta padanya. Melihat dia terluka, hatiku pun ikut terluka.

Tiba-tiba Gunawan terbangun. Matanya dan mataku saling memandang.

“San,” desahnya.

Aku terperanjat dan salah tingkah melihat caranya memandangku. Aku hendak bangkit, tapi Gunawan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dia memeluk dan menciumku penuh gairah, seolah musafir kehausan yang menemukan mata air di padang pasir.

“San, menikahlah denganku.”

Aku terperangah. “Apa?!”

Gunawan memandangku dengan raut wajah penuh harap.

“Bagaimana mungkin? Kamu pria beristri, Gun.”

“Aku ingin menikahimu secara agama. Yang penting, di hadapan Tuhan kita sudah sah sebagai suami-istri. Aku punya teman yang bisa mengurusnya. Kita menikah minggu ini juga. Bagaimana? Kau bersedia?”
Aku bengong, tak tahu harus berkata apa.

Gunawan menatapku dengan wajah polos.

“Kamu tidak mau?” tanyanya.

“Bagaimana dengan istrimu?”

“Kita tidak perlu memberi tahu dia. Aku hanya ingin hubungan kita ini suci, sesuci cintaku padamu. Bila kondisinya sudah memungkinkan, aku akan menceraikan Rini, dan kita menikah secara resmi.”

“Kamu serius, Gun?” tanyaku, masih bingung.

“Aku mencintaimu, San. Aku sungguh-sungguh. Aku akan membuktikan padamu, aku akan menceraikan Rini dan kita akan menikah.”

Aku tak dapat menahan air mataku.

“Aku takut, Gun.”

Aku memeluk Gunawan dan Gunawan balas merengkuhku dalam pelukannya yang hangat.

“Jangan takut. Aku akan melindungimu. Percayalah padaku.”

Aku tak tahu harus berkata apa lagi, semua yang diucapkan Gunawan terdengar bagai sanjungan. Aku bahagia karena Gunawan tak ingin menodai cinta kami, meskipun dia bisa saja melakukannya. Aku merasakan ketulusan dan keseriusannya padaku. Terbayang olehku hari-hari indah yang akan kami lalui bersama. Apalagi, bila kami memiliki seorang anak. Ah, bahagianya....
                                                                                          


Penulis: Nurma
                                                                                                     


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?