Fiction
Wanita Kedua [2]

18 May 2012



Sejak pertemuan di kafe di kawasan Pondok Indah itu, aku dan Jeanny sering berhubungan melalui telepon. Kami juga sering jalan-jalan di mal bersama. Mungkin, karena kondisiku yang rapuh sejak ditinggal Papa, aku sangat menyukai perhatian darinya. Ternyata, Jeanny lebih tua delapan tahun dariku. Dengan perbedaan usia yang cukup banyak itu, aku merasa Jeanny bisa menjadi kakak bagiku. Apalagi, sebagai anak tunggal, sudah lama aku me-rindukan figur seorang kakak. Aku ingin punya seseorang yang bisa kujadikan teman berbagi dalam berbagai hal.

Meskipun aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki, Papa dan Mama tidak pernah memanjakanku. Papa selalu menanamkan kedisiplinan. Meskipun uangnya banyak, Papa tidak pernah memberinya dengan cuma-cuma. Jika ingin tas atau sepatu baru, aku harus menunjukkan prestasi di sekolah. Aku harus menunjukkan bukti nilai ulangan di atas 9, baru boleh meminta sesuatu. Itu sebabnya, prestasiku sejak SD hingga SMA selalu bagus. Kebiasaan itu terbawa hingga di perguruan tinggi. Untuk mendapatkan mobil idamanku, IP-ku harus 4. Dan, itu benar-benar kubuktikan.

Tadinya, mendapat nilai terbaik kulakukan hanya untuk memperoleh hadiah, kini semua menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang positif tentunya. Aku selalu ingin berprestasi, setidak-tidaknya untuk mendapatkan perhatian Papa. Aku sangat bahagia bila melihat Papa tersenyum, ketika aku mengabarkan IP-ku yang selalu di atas tiga. Ketika aku berhasil lulus cum laude dari fakultas ilmu komunikasi, Papa begitu bangga. Papa langsung membelikanku city car keluaran terbaru berwarna biru, yang ku­idam-idamkan. Setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah bank pun, Papa masih membanjiriku dengan hadiah, seolah aku ini masih putri kecilnya yang berumur 10 tahun.

Kini, setelah Papa pergi menghadap Tuhan, duniaku berubah total. Aku jadi banyak melamun. Selepas kerja, kuhabiskan waktuku di kafe, duduk minum kopi, sambil mengenang masa-masa indah saat Papa masih bersamaku. Aku melamun atau sekadar membaca majalah, sambil menghabiskan kopi perlahan-lahan, seolah aku berusaha berkawan dengan sepi, yang kini menghiasi hari-hariku. Sampai akhirnya aku bertemu Jeanny.

Suatu hari, setelah jalan-jalan di Plaza Senayan, Jeanny mengajakku ke rumahnya di daerah Jakarta Selatan. Rumah mungil berlantai dua di sebuah perumahan di kawasan Lebak Bulus itu cukup nyaman. Arsitekturnya bergaya art deco yang minimalis. Temboknya berwarna salem dengan jendela ala Eropa berwarna hijau tua.

Melihat lokasi dan material rumah Jeanny, kutaksir nilainya mencapai 1 miliar. Tapi, Jeanny sedikit merendah, “Dulu harganya belum setinggi itu. Lagi pula, aku membelinya dengan cara kredit, kok.”

Jeanny tidak bekerja di sebuah perusahaan. Dia mengaku mencari nafkah dengan bisnis jual-beli. Macam-macam yang dijualnya, mulai dari tanah, rumah, sampai berlian. Meskipun barang-barang itu tidak cepat terjual, bila kebetulan laku, keuntungannya bisa digunakan untuk hidup selama berbulan-bulan. Bahkan, dari bisnis itu pula, dia bisa memiliki deposito dan tabungan yang jumlahnya cukup besar. Aku mengagumi kemandiriannya. Aku ingin bisa sehebat dirinya.

Kata Jeanny, dia memilih berbisnis daripada bekerja kantoran agar tidak sering meninggalkan putra semata wayangnya yang kini berumur 9 tahun.

“Kasihan kalau Dito sering ditinggal sendirian dengan pembantu. Apalagi, papanya sudah meninggal,” begitu alasan Jeanny padaku.

Sewaktu kami datang, Dito baru saja pulang dari sekolah. Anak itu tampan dan lucu. Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Kuperhatikan sepintas, hidungnya mirip denganku. Jeanny mungkin membaca pikiranku.

“Kayaknya, kamu cocok juga jadi ibunya Dito,” ledeknya.

Lalu, dia menyuruh Dito bersalaman denganku.

“Mama, bikin spaghetti saus keju, dong,” rengeknya, manja.

“Nanti, ya, Sayang. Mama kan sedang ada tamu,” jawab Jeanny, lembut, sambil melirik padaku.

“Nggak apa-apa, Jean. Bikin saja, biar aku bantu,” kataku pada Jeanny.

Jeanny agak ragu, tapi aku mengangguk untuk meyakinkannya.

Kami pun melangkah ke dapur mungil milik Jeanny. Dari lemari di dinding, Jeanny mengeluarkan sebungkus spaghetti dan merebusnya. Aku pun membantunya mengiris bawang bombay.

“Dito suka semua makanan yang mengandung keju. Spaghetti saus keju ini membuatnya gampang dan cepat. Kapan saja bisa dibuat,” kata Jeanny, sambil menaburkan keju parmesan di atas spaghetti yang telah disiram dengan saus keju. Dito makan dengan lahap. Aku dan Jeanny juga mencicipinya. Rasanya memang enak. Baru kali ini aku makan spaghetti dengan saus keju, karena biasanya selalu dengan tumisan daging atau seafood.

“Enak, ‘kan?” tanya Jeanny, seolah meminta pengakuan kehebatannya dalam memasak.

“Ya, enak, Jean. Ternyata, kamu pintar memasak. Kok, nggak membuat restoran saja?”

Jeanny menuang orange juice ke dalam gelas dan meminumnya.

“Pernah, sih, aku ingin membuat semacam kafe. Tapi, bisnis makanan kan repot banget, apalagi kalau mengerjakannya sendirian. Kalau ada partner, mungkin aku berani,” jawabnya.

Mendengar itu, tiba-tiba aku mendapat ide.

“Bagaimana kalau kita bekerja sama membuat kafe? Aku juga ingin membangun usaha sendiri. Papa meninggalkan tabungan yang lumayan atas namaku. Kalau usaha Papa, sih, sudah diambil alih oleh Mama. Aku nggak berbakat mengurus bisnis. Tapi, kalau makanan, aku suka,” kataku cepat.

Aku memang suka makan dan juga suka memasak. Sangat berbeda dari Mama. Mama paling tidak suka mengurus dapur. Bukan cuma tidak suka, aku pikir Mama juga tidak berbakat. Pernah suatu kali, Mama memasak ayam panggang untuk merayakan ulang tahun Papa. Rasanya? Uh... aku dan Papa tak sanggup menghabiskannya. Rasanya hambar, apalagi di bagian dalamnya. Selain bumbunya kurang, rasanya pun tak jelas. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal, aku lihat sendiri Mama memasak, sambil melihat buku resep.

Karena tak tega pada Mama yang sudah bersusah payah memasaknya, kami terpaksa menghabiskan ayam panggang yang tak ada rasanya itu dengan bantuan sebotol besar soft drink. Setiap kali menelan sepotong daging ayam, kami harus mendorongnya dengan dua teguk minuman ringan, sampai-sampai perut kami menjadi kembung. Sepertinya, Mama sadar bahwa masakannya tidak enak, sebab sejak saat itu Mama tidak pernah memasak lagi. Dia lebih memilih membeli atau memesan masakan matang untuk acara-acara keluarga.

Dari perbincangan yang sepintas lalu itu, aku dan Jeanny mulai sering membicarakan kafe yang ingin kami buat. Kami begitu bersemangat. Kami sepakat bahwa bisnis ini sangat menarik. Selain potensial, juga sesuai dengan hobi kami berdua, yaitu memasak.

Dua minggu kemudian kami mulai membuat perencanaan. Menghitung anggaran dan dana yang tersedia. Setelah klop, kami berburu lokasi. Kami menemukan satu tempat yang bagus. Memang, harganya tidak murah, namun strategis dan sesuai dengan target market kami. Bangunannya juga masih baru, sehingga tidak banyak yang harus kami renovasi, kecuali menyiapkan interior kafe lengkap dengan furniture-nya.

Lokasinya di pinggir jalan utama sebuah perumahan, yang menjadi jalur alternatif ke perumahan-perumahan kelas atas di lokasi itu. Dengan demikian, kafe itu akan menjadi tempat yang pas untuk melepas lelah sepulang dari kantor. Juga tidak terlalu jauh untuk dijangkau oleh mereka yang sedang bosan berada di rumah.

Selain menjadi tempat untuk memanjakan lidah, kami juga ingin menjadikan kafe ini sebagai tempat refreshing. Karena itu, kami menyiapkan dua ruang tertutup untuk karaoke dan internet. Beragam kopi dan teh, mulai cappuccino, espresso, sampai kopi medan, kami sediakan. Juga ada macam-macam teh, seperti black tea, green tea, dan peppermint tea.

Kami juga menyediakan satu jenis teh spesial kafe yaitu rose tea. Aku mendapat idenya karena pernah meminum air seduhan bu­nga mawar untuk mengobati batuk yang tak kunjung sembuh. Resepnya kudapat dari seorang kerabat di Yogyakarta. Ternyata, selain bisa menyembuhkan batuk, rasanya pun nikmat. Kupikir, tak ada salahnya bila bunga mawar kujadikan salah satu pilihan aroma teh yang kuhidangkan di kafe kami.

Untuk makanannya, kami menyediakan tiramisu, blueberry cheesecake, avocado mousse, juga masakan Italia, seperti lasagna dan spaghetti saus keju dalam porsi kecil. Semua makanan adalah hasil racikan kami berdua, sehingga kami tidak perlu mempekerjakan chef profesional, yang gajinya sudah pasti tinggi. Cukup dua orang lulusan sekolah boga, yang dilatih khusus untuk memasak makanan hasil kreasi kami itu. Dengan dasar ilmu yang mereka miliki, dengan cepat mereka menguasainya, bahkan jauh lebih terampil daripada kami.

Jadwal kerja pun kami bagi. Jeanny menunggui kafe sejak pagi sampai sore, bergantian denganku yang bertugas malam hari sepulang dari kantor. Kadang-kadang, Jeanny menemaniku di kafe sebelum pulang ke rumahnya.
Untunglah, lokasi kafe tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga dia bisa pulang kapan saja untuk menjenguk Dito. Tapi, Dito pun sering mampir sepulang sekolah. Kadang-kadang, dia datang bersama teman-temannya. Mereka begitu manis, tidak pernah berulah macam-macam. Biasanya, hanya memesan lemon tea, lalu main game di internet. Aku selalu mengirimkan beberapa potong brownies untuk menemani mereka bermain. Aku menyayangi Dito. Dia sudah seperti anak, sekaligus adik bagiku. Toh, aku belum terlalu tua untuk menjadi kakaknya.

Sepertinya, Mama juga menyukai Jeanny. Mereka bertemu saat pem­bukaan kafe. Mama menyukai keramahan Jeanny. Memang, Jeanny adalah orang yang pandai bergaul. Dalam sekejap dia bisa akrab dengan Mama. Kadang-kadang, Mama mampir ke kafe, bila se­dang jenuh di rumah, sekadar mengobrol dengan Jeanny, sambil me­nungguiku pulang dari kantor. Keakraban mereka kadang-kadang mem­buatku sedikit cemburu, tapi aku sadar, Mama memang sangat mem­butuhkan teman sejak ditinggal Papa untuk selama-lamanya.
                                                                                      

Penulis: Nurma


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?