Fiction
Wanita Kedua [1]

18 May 2012


Aku bertemu dengannya di sebuah kafe. Saat itu aku sedang berusaha menghilangkan kegundahan hatiku, akibat ditinggalkan Papa untuk selama-lamanya.

Aku sedang menikmati secangkir cappuccino dan sepotong avocado mousse, ketika tatapan mataku bersirobok dengan wanita itu. Wajahnya cantik, seperti artis-artis sinetron yang sering kulihat di televisi. Paling-paling, usianya tidak terlalu jauh di atasku. Kami bertatapan selama beberapa menit, sebelum akhirnya aku membuang muka. Aku mencoba menikmati kembali avocado mousse di depanku, yang tinggal tersisa separuh. Hatiku terlalu sedih untuk mengurusi orang lain, sekalipun aku merasa pernah melihat wanita tadi. Entah di mana, aku tak ingat.

Kucoba mencuri pandang kembali. Wanita itu tampak bangkit dari kursinya dan meninggalkan kafe. Aku mengembuskan napas lega. Entah mengapa, sepertinya ada daya magis yang dipancarkan wanita tadi. Daya magis yang seolah membuat napasku sesak. Aku sedikit heran karena sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Tapi, aku tak mengerti, mengapa aku merasa tidak asing pada wajah itu.

“Sedang menunggu siapa, San?”

Sebuah suara mengagetkanku. Seketika kepalaku berputar mencari sumber suara. Ternyata, wanita tadi! Bukankah dia tadi telah meninggalkan kafe? Dan, bagaimana dia bisa tahu namaku?

Melihatku terkejut, wanita itu justru mengulurkan tangannya.

“Kita belum berkenalan. Namaku Jeanny. Aku teman papamu... almarhum papamu,” katanya.

Aku melihat ada gurat kesedihan di wajahnya.

O... pantas, pikirku. Mungkin saja, aku pernah bertemu dengannya ketika diajak Papa menghadiri sebuah acara. Jeanny lalu duduk di depanku.

“Boleh, ‘kan?” tanyanya, meminta persetujuan.

Aku hanya mengangguk pelan. Apa yang bisa kulakukan selain memberinya izin? Toh, ia hanya minta izin untuk duduk di kursi yang bukan milikku.

“Aku baru saja mendengar kabar meninggalnya papamu. Aku benar-benar kaget. Sudah sebulan kami kehilangan kontak. Aku tidak tahu apa-apa tentang sakitnya,” katanya.

Aku paham. Sebulan yang lalu itu tepat saat Papa muntah darah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Papa koma dan tentu saja tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Teman-temannya yang datang menjenguk pun tidak mendengar kabar itu dari kami, melainkan dari informasi yang beredar dari mulut ke mulut. Kami tidak sempat memberitahukan keadaan Papa pada siapa pun, kecuali keluarga terdekat.

“Sakit apa, sih, papamu?” tanyanya dengan nada prihatin.

“Sirosis. Dulu memang Papa pernah dirawat karena lever. Tapi, kami pikir Papa hanya kecapekan. Kami tidak tahu bahwa penyakitnya bisa berkembang seperti ini. Lagi pula, sepertinya Papa berusaha menutupi sakitnya dari kami. Mungkin, Papa tidak i­ngin membuat kami susah. Ehm, ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu namaku?”

Jeanny tersenyum.

“Papamu pernah memperlihatkan foto kamu. Lagi pula, tidak sulit, kok, mengenalimu. Karena, wajahmu mirip banget dengan Benny. Hidung dan dagumu benar-benar mirip,” jawab Jeanny.

Ya, memang banyak orang mengatakan wajahku mirip Papa. Darah Belanda yang mengalir di tubuh Papa membuat kami memiliki hidung dan dagu yang khas. Kata orang-orang, kami bertampang indo. Begitulah.

“Apa yang terjadi pada Benny?” tanya Jeanny.

“Lebih kurang sebulan lalu, Papa tiba-tiba muntah darah dan sejak saat itu Papa tidak pernah betul-betul sadar. Kalaupun sadar, Papa begitu kesakitan, sehingga harus diberi suntikan penenang. Sehingga, sampai Papa meninggal pun, kami tidak banyak berbicara dengannya.”

Cerita itu telah berkali-kali kuulangi setiap kali ada yang menanyakan. Bercerita tentang Papa sebenarnya masih sangat menyakitkan, meski dua minggu telah berlalu sejak kepergiannya.

“Maaf, ya, San, aku membuat kamu sedih. Aku hanya penasaran, bagaimana mungkin Benny yang terlihat segar tiba-tiba bisa anfal,” kata Jeanny, tampak prihatin.

Sejak tadi, Jeanny menyebut nama Papa tanpa embel-embel. Itu agak mengherankan. Karena, dilihat dari penampilannya, sepertinya Jeanny belum terlalu tua. Tapi, sudahlah, di zaman sekarang sopan santun semacam itu mungkin sudah tak berlaku lagi.

“Itulah yang kami sekeluarga sesali. Apalagi, kata dokter, bila dideteksi sejak awal, sebetulnya penyakitnya masih bisa disembuhkan. Tapi, ini sudah menjadi kehendak Tuhan,” aku mencoba tabah. Kulihat Jeanny berusaha menahan air mata.

“Jean, di mana kamu mengenal Papa?” aku mencoba menggali keterangan darinya. Karena, sepertinya dia cukup mengenal Papa. Apalagi, menurutnya, Papa pernah memperlihatkan fotoku padanya. Tentu Papa tak melakukan hal itu kepada sembarang orang.

“Oh, itu sudah sangat lama. Mungkin hampir sepuluh tahun yang lalu. Kami dikenalkan oleh seorang rekan bisnis papamu. Seiring waktu, aku pun sering terlibat bisnis bersama papamu,” jawab Jeanny, sambil menghirup espresso yang baru dipesannya.

Aku mengangguk-angguk. Ya, kebanyakan teman Papa di Jakarta memang dari lingkungan bisnis, karena Papa memulai usahanya di Jakarta. Pendidikannya sejak SD sampai universitas diselesaikannya di Sulawesi Utara, tanah kelahirannya. Jadi, kebanyakan orang yang dikenalnya adalah dari lingkungan tersebut. Kuakui juga, Papa bukan orang yang pandai bergaul, meski dia sangat jeli dalam melihat peluang bisnis. Papa sedikit arogan. Bagi beberapa orang, sifatnya itu mungkin kurang menyenangkan. Tapi, bagiku, itulah keunikan Papa. Buktinya, ibuku yang asli Yogya itu saja bisa jatuh hati kepadanya. Itulah Papa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan, aku sangat memujanya.

“Kamu sudah bekerja?” tanya Jeanny, memecah lamunanku.

“Ya, di bank. Belum lama. Aku masih belum banyak menimba pengalaman dalam hal kerja, apalagi bisnis.”

Jeanny tertawa kecil.

“Tapi, kata Benny, kamu cerdas dan selalu menjadi yang terbaik. Pasti tidak akan sulit menjadi yang terbaik di tempat kerjamu juga,” katanya, memuji.

“Ah, biasalah, seorang ayah pasti akan selalu memuji anaknya,” aku mencoba rendah hati.

Jeanny tertawa lagi.

“Tidak juga. Papaku tidak pernah memujiku, seperti Benny memujimu. Mungkin, karena prestasiku di sekolah biasa-biasa saja, ya?“ Jeanny masih berusaha memujiku.

Ah, wanita ini penuh basa-basi, pikirku. Meski demikian, aku senang pada keramahannya itu.

Setelah bercerita banyak tentang Papa, termasuk tentang pribadi kami masing-masing, Jeanny permisi hendak pergi ke suatu tempat. Ia memberi kartu namanya padaku dan berjanji akan menghubungiku lagi kapan-kapan. Aku pun meninggalkan kafe karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

                                                                                   
Penulis: Nurma



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?