Career
Wacana Cuti Kehamilan 6 Bulan

26 Feb 2016


Saat Mark Zuckerberg mengumumkan akan mengambil parental leave selama dua bulan setelah kelahiran putri pertamanya, dunia maya langsung memuji rencana sang miliuner pendiri Facebook itu. Namun, status yang mengundang ratusan ribu likes dari seluruh dunia itu sedikit banyak membuat kita, para ibu atau calon ibu, jadi ingin berkaca dengan situasi di rumah sendiri, apakah hak cuti melahirkan 3 bulan itu sebetulnya sudah cukup atau masih kurang untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak.

‘Drama’ Ruang Pompa
Setelah pengumuman Zuckerberg mengenai kebijakan cutinya itu, sejumlah media online menyorot kebijakan Facebook yang mengizinkan karyawannya mengambil cuti melahirkan selama 4 bulan berbayar dalam satu tahun. Mereka menilai, kebijakan ini cukup murah hati dibandingkan standar cuti di AS yang hanya 84 hari dan tanpa gaji.

Sementara di Indonesia, sesuai dengan Undang Undang No. 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat (cuti) selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Selama cuti ini, karyawan tetap digaji penuh. Selain itu, beberapa perusahaan juga memberikan fleksibilitas waktu kapan cuti tersebut diambil, setelah atau sebelum melahirkan. Intinya, total waktu cuti adalah tiga bulan.

Menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan PBB (WHO), bayi sebaiknya mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Jadi, kalau ibu bekerja hanya mendapat waktu cuti yang terbatas, ataupun tidak bisa standby 24 jam sehari selama 6 bulan penuh untuk memberikan ASI, sang bayi tetap harus menerima nutrisi terbaik dari ibu melalui ASI perah (ASIP).

    Namun, pada praktiknya, tidak semua ibu bekerja sukses memberikan ASIP ketika sudah kembali bekerja.  Selain masalah manajemen waktu, ada juga masalah stres ketika kembali bekerja yang dirasa menghambat ibu bekerja untuk memberikan ASIP secara konsisten. Kadang-kadang, walau di awal-awal bulan stok ASIP sudah cukup banyak, lama-kelamaan stok ini bisa keteteran juga, akibat jam kerja dan kesibukan rumah tangga lain yang menyita tenaga, waktu, dan pikiran.
  
Pada Agustus tahun lalu, bertepatan dengan Pekan ASI Sedunia, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) menggaungkan suara untuk mendukung lingkungan yang ramah ASI bagi wanita bekerja. Dengan tema besar: Menyusui dan Bekerja: Mari Kita Sukseskan!, AIMI juga menggulirkan wacana untuk pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan. 

Wacana ini, meski sepintas terdengar seperti ide yang bagus, ada juga yang meragukan keefektivitasannya. Ketika seorang karyawan meninggalkan kantor selama 6 bulan untuk cuti melahirkan, sebenarnya yang menjadi fokus perusahaan bukan melulu soal rugi atau tidaknya, melainkan irama kerja perusahaan yang ia tinggalkan. “Bagaimanapun, adanya seseorang yang biasa mengerjakan satu hal dan banyak yang bergantung padanya, pasti akan membuat kecepatan kerja tim berubah,” Rima Olivia, Direktur Ahmada Consulting, memberi perspektif dari bagian personalia.

Hal ini tak terbatas oleh apa yang bisa dikerjakan dan tidak oleh pengganti karyawan yang cuti. Masalah sederhana, seperti riwayat dokumen sudah sampai di mana, mengapa ada pertemuan dengan klien A, dan seterusnya, tentu tidak mudah untuk digantikan orang lain begitu saja.

“Biasanya, jika timnya sudah cukup besar, pihak kantor   sudah menyiapkan pengganti. Bisa saja rekan lain merangkap pekerjaan tersebut, atau atasannya mengambil alih, atau kantor mempekerjakan karyawan sementara untuk menggantikan karyawan yang cuti melahirkan,” papar Rima, yang sehari-harinya memberikan softskill training untuk karyawan di berbagai perusahaan.  

Meski begitu, sudah menjadi tanggung jawab sang karyawan yang akan cuti untuk berbenah sebelum cuti dan menyiapkan apa saja yang perlu dilakukan oleh penggantinya, sehingga tidak merepotkan rekan yang lain. Setelah kembali bekerja, ia juga harus menyesuaikan diri agar bisa mengikuti ritme dan rutinitas di kantor yang telah ia tinggalkan. “Kembali bekerja setelah cuti 2 minggu saja pasti ada kagetnya, apalagi 3 bulan, atau bahkan jika wacana 6 bulan cuti melahirkan ini terjadi,” papar Rima.
 
Ketangguhan yang Diuji
Jika yang ‘dikejar’ dalam wacana cuti 6 bulan adalah memberikan ASI eksklusif, salah satu jalan keluar yang perlu lebih diperhatikan sebenarnya adalah membangun lingkungan yang mumpuni agar ibu bekerja bisa sukses menyusui. Hal ini seharusnya bisa diusahakan oleh perusahaan, apalagi karena sudah diatur oleh negara melalui beberapa peraturan dan undang-undang.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 disebutkan bahwa tempat kerja harus mendukung program ASI eksklusif dengan memberikan fasilitas ruang laktasi dan memberikan kesempatan bagi ibu bekerja yang menyusui dan memerah ASI. Ancaman hukumannya pun cukup serius jika perusahaan mengabaikan peraturan ini. Selain denda, izin usaha perusahaan pun terancam dicabut! Bahkan, pada Peraturan Menteri Kesehatan No.15 Tahun 2013, tercantum tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan atau memerah ASI. Sayang, pada kenyataannya, menurut data dari Organisasi Buruh PBB (ILO) Jakarta tahun 2015, dari 142 perusahaan yang termasuk daftar Better Work Indonesia, hanya 85 perusahaan yang memiliki ruang ASI.

Lagi-lagi, di sini ketangguhan dan kreativitas ibu bekerja untuk mengusahakan nutrisi terbaik bagi anaknya diuji. Tak ada ruang laktasi, selama ada ruangan tertutup atau ruang rapat pun jadi!
   
Sementara keinginan-keinginan ini belum bisa sepenuhnya terwujud, Rima menyarankan para ibu menyusui untuk     mengelola perasaan dan pikiran saat harus meninggalkan anak di rumah sambil menyiasati situasi di kantor. Faktanya, sering kali ibu menyusui tidak bisa menghasilkan ASI karena stres.
 
“Dengan pikiran damai, kita akan mampu bekerja dalam segala kondisi. Mulailah menyiapkan sistem pendukung di rumah, seperti siapa yang menjaga bayi di rumah, mengelola pengasuh, membangun sistem komunikasi dan koordinasi dengan orang rumah, dan seterusnya. Saat memerah ASI di kantor pun, usahakan jaga pikiran tetap tenang sehingga produksi ASI pun bisa banyak,” papar Rima.     
 
Kembali lagi, pilihan untuk meluangkan waktu lebih banyak selalu ada. Jika kita merasa perlu tambahan 1-2 bulan untuk cuti tak berbayar, lakukanlah. Kalau perusahaan tidak bisa memberikan kebijakan tersebut, mengundurkan diri tentu boleh, tetapi pastikan kita sadar betul akan keputusan yang diambil agar tidak menyesal kemudian. “Sebaliknya, ketika memutuskan untuk berkantor kembali, be there saja, dengan segenap keadaan dan mengoptimalkan apa yang ada di kantor,” saran Rima.
   
Selalu ada solusi agar karyawan yang sedang menyusui bayinya  tetap bisa bekerja dengan baik, tanpa ‘mengabaikan’ gizi si kecil. “Intinya, jangan memaksakan diri karena ujungnya jadi stres sendiri dan Anda pun tidak bahagia. Andalah yang paling tahu, apa yang membuat Anda paling nyaman,” tegas Rima. (f)          
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?