Fiction
Ulin [4]

4 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Kisah sebelumnya:
Sejak kecil Ulin dibesarkan oleh Tambi, neneknya. Tambi, wanita Dayak tua yang memegang teguh adat leluhurnya, mendidik Ulin sarat dengan nilai-nilai menjadi wanita Dayak yang sesungguhnya. Setelah Ulin besar dan menikah, betapa kesal hati Tambi ketika Ulin berubah, ingin mencicipi kehidupan modern, dan menganjurkan Andau, suaminya, meninggalkan ladang untuk bekerja di kamp, perusahaan pengolahan kayu. Ulin sendiri juga menikmati enaknya belanja di kamp. Namun, Andau mengapa tak juga pulang.

Bulan-bulan selanjutnya berjalan semulus batang meranti yang dikuliti. Keluarga kecil itu sudah tinggal di pondok terpisah. Belajar mengatur hidup sendiri. Andau, si pekerja rajin, tidak pernah mengabaikan jadwal kerjanya sehari pun. Rutin pergi selama 2-3 bulan, lalu kembali dengan membawa uang yang tidak sedikit. Uang yang mampu mengobati kerinduan Ulin selama kepergian suaminya, dan langsung digunakan membeli apa pun yang diinginkannya pada Hari Belanja.
Bedak, daster, rol rambut, sampo, sarden, berpindah dengan cepat dari rak Warung Kamp ke pondok Ulin. Ia juga membeli babi, bahkan meminjamkan sebagian  kepada Tabat untuk memperbaiki mesin klotok yang rusak. Itulah masa di mana aku, tanpa sengaja, menunjukkan jalan kepada obsesi terpendam Ulin pada kota.
“Kalau Andau memberimu uang lebih banyak, cobalah jalan-jalan sebentar ke kota, Lin. Sekadar menengok saja biar kau tahu bagaimana rupa tempat itu. Pokoknya, ramailah.”
Kata Ulin, Andau digaji sebanyak berapa batang pohon yang mampu ditumbangkannya. Artinya, makin banyak pohon,  makin banyak uang,  makin lama Andau harus meninggalkan keluarga. Mungkin, karena menyadari hal itu, Ulin tidak menunjukkan wajah resah ketika sekali waktu Andau memperbarui jadwal kepulangannya. Pemuda itu baru mengetuk pintu pondok setelah pergi selama 3 bulan.
Kini, Andau telah meninggalkan keluarganya selama lebih dari umur padi. Terus terang, jika bukan karena mimpi dan Pertanda yang dilihat Tambi, aku masih bisa membujuk hatiku untuk menunggu kedatangan Andau sebentar lagi. Genapkan saja enam bulan. Ia mungkin bekerja nonstop demi mendapat penghasilan dua kali lipat. Enam bulan siang-malam berada di tengah hutan lebat bersama tim kerjanya. Enam orang lelaki dan… seorang perempuan?
Ya, ampun! Mengapa aku baru tahu itu sekarang? Mengapa Andau tidak pernah bilang?
Pengalaman mengajariku bahwa para lelaki selalu mengira perempuan lebih bodoh daripada dirinya. Karena itu, mereka berani berbohong sekali, dua kali, tiga kali hingga kebohongan itu membuat mereka tersandung. Pada saat itu, perempuan yang sudah ditipu seharusnya tertawa keras-keras sambil memukul lonceng. Tapi, kenyataan yang terjadi tidak demikian. Perempuan justru mudah merasa kasihan hingga mungkin rela mengerat hatinya demi raja penipunya. Dalam hal ini, kurasa para perempuan memang bodoh, dan salah satu yang kutakutkan akan berbuat semacam itu adalah Ulin.
Aku berpikir untuk tidak melaporkan hasil temuanku kepada Tambi. Aku takut, usai mendengarnya, perempuan itu akan jatuh sakit. Aku pun memilih menyimpannya sendiri sambil menunggu Pertanda baru. Yang pasti, kabar yang didengar Tabat memang benar. Beberapa pekerja yang kuduga mempunyai terlalu banyak energi, juga uang, telah berubah menjadi manusia tanpa kontrol.
Kurasa, semua peladang tahu, tinggal di tengah hutan yang sunyi bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika dirimu mengaku masih manusia normal.
Coba bayangkan….
Awalnya, kau akan digigit nyamuk kesepian, terjangkiti penyakit terasing, didatangi demam putus asa, lalu kau pun mulai rajin berkhayal. Menginginkan ini-itu. Merindukan sana-sini. Itulah mengapa lelaki peladang selalu membawa istrinya ikut tinggal di pondok. Sebab, perempuan itu gula. Gula yang mampu membuatmu kembali bersemangat.
Kudengar ini dari seorang sopir kamp:
Mereka punya seorang Ibu Dapur baru. Janda secantik anggrek liar yang bertugas di Kamp Tarik. Ibu Dapur ini tentu saja tidak kukenal, ia bukan perempuan pemilik Warung Kamp. Kabarnya, nama Ibu Dapur baru itu melejit sangat cepat disebabkan kepandaiannya yang banyak.
“Kubilang ya…. Belum pernah aku bertemu Ibu Dapur seperti dia.” Masih kuingat bagaimana hidung sopir itu mengembang-kuncup penuh semangat ketika berkata ini, “Sempurna. Cantik. Hebat…. Ia pandai mengulek sambal enak, mengadoni roti, menisik celana, bahkan berburu dengan sumpit --kau pasti sudah tahu maksudku.“
Uh…ya, ampun! Aku tidak lupa bagaimana wajah ini mengebas di akhir pembicaraanku dengan si sopir. Tidak sanggup kubayangkan lebih jauh lagi bagaimana kalau Ibu Dapur baru itu menggunakan kepandaian miliknya pada sasaran yang tidak semestinya… di tengah hutan… bersama enam orang lelaki kesepian…  Andau?
Aku percaya, Andau mungkin cukup tangguh menjaga dirinya dari serangan binatang buas, tapi bagaimana dengan seorang bawi bakena1? Apakah ia akan sekuat beruang yang tetap melawan, meski terdesak?
Semoga ia tidak mengecewakanku.
***
Ulin
Sewaktu kecil, ia sering menyanyikan lagu orang dewasa yang didengarnya dari radio Mina. Lagu tentang cinta yang terasa indah baginya, tapi entah mengapa diperlakukan Tambi bak sebuah pemali. Lagu itu terlarang ia nyanyikan. “Mengapa?” ia bertanya kepada Tambi, tapi tidak dijawab. Pikiran kanak-kanaknya lalu menyimpulkan, Tambi mungkin hanya tidak suka mendengar kata ‘cinta’ diucapkan, seperti ia tidak suka pada kata ‘pong’. Ketidaksukaan yang tanpa alasan. Ia pun mencoba berkompromi. Lagu itu dibiarkan tetap menari-nari di lidahnya, tapi telah dimodifikasi sedemikian rupa. Ia memenggal huruf ‘n’ dari kata ‘cinta’.
“Kau dengar itu, Tambi? Ini bukan lagi lagu cinta, tapi lagu cita.”
Sekarang, ia baru menyadari alasan di balik sikap protektif Tambi. Cinta adalah keliaran yang indah. Seperti kantong semar bagi lalat; indahnya hilang begitu ia berada di dalam --sebuah kenyataan yang mampu menyayat hati seorang anak, pun gadis lugu.
Ia mencintai Andau sejak pertama kali mereka bertemu. Seorang pemuda beralis semengilap arang, bertatapan mata sekeras elang, namun berwajah semenyenangkan madu. Ketika mereka saling diperkenalkan Mina, suara si pemuda membuatnya makin jatuh cinta. Suara itu berat, menenangkan dan semantap durian jatuh. “Andau,” demikian si pemuda mengenalkan namanya dengan sikap tubuh begitu sopan hingga menanggalkan kesan seorang pemburu dan pencari pohon kayu tanpa pendidikan. Belakangan, Mina memberi tahu bahwa Andau berijazah SMP. Maka, makin terjeratlah ia ke dalam jaring laba-laba cinta pertama. Cinta yang menyilaukan hingga membuatnya sempat berpikir ia tidak akan pernah butuh lampu, jika kelak hidup bersama si pemuda.
Mereka menikah setelah beberapa bulan saling mengenal. Tambi memberi restu penuh. Kelak, saat itu dikenangnya sebagai masa paling bahagia dalam hidupnya. Masa di mana ia mencandu semua yang ada pada diri suaminya. Ia terus tersenyum. Terus berdebar-debar. Terus ingin dicium, mencium, disentuh, menyentuh, disusupi. Hingga lahirlah Puti.
  Ia masih sangat mencintai Andau ketika mereka harus hidup berbagi pondok dengan Tambi, Mamak2 Tabat, dan Upi. Ia  makin mencintai suaminya ketika mereka bisa mendirikan pondok sendiri dan mengisinya dengan barang-barang yang dibeli dari upah Andau. Ia mencintai suaminya ketika pulang membawa uang banyak, tapi agak membencinya jika harus pergi lagi. Dan sekarang, ketika Andau tidak kunjung pulang dari pekerjaan yang dulu disarankannya, ia mulai merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Pun, diri Andau.
Cinta itu tidak lagi indah.
Ia sudah mendengar banyak, juga melihat lebih dari cukup. Ia bukan perempuan bodoh, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Jika mengeluh pada Tambi, ia sangat yakin neneknya itu akan menyalahkan dan menebar nasihat panjang lebar di hadapannya dengan senang hati. Sementara Mina…. Ia tidak ingin merepotkan perempuan itu dengan masalahnya, selain berhati-hati pula pada mulut bocor Mina. Apa yang kini terjadi adalah hasil pilihannya sendiri, ia sadar itu. Bagai terjebak badai di tengah sungai, ia menguatkan diri untuk menghadapi semuanya seorang diri.
Sebenarnya, sebuah perubahan sematalah yang ia inginkan. Ia berangan menjalani hidup yang berbeda. Tidak di kampung, apalagi ladang. Ia memang seperti anak kucing. Mudah terpesona pada sesuatu yang asing dan jauh. Yang ramai dan bersinar.
Kota.
Dan, karena Mina satu-satunya orang yang pernah mencium bau kota, pun dekat dengannya, ia berusaha meniru langkah perempuan itu.
Demi mengumpulkan banyak uang dengan cepat, ia mendorong suaminya mengabdi pada perusahaan kayu. Dengan kesadaran penuh, ia sengaja mengabaikan peringatan Tambi bahwa berurusan dengan pendatang akan membawa masalah.
“Lupakah kau siapa yang merampas Bue dan ayahmu dari kita, Ulin?! Bagaimana cara mereka mati?! Mengapa kita terus menderita?!”
Tanpa setahu siapa pun, hampir setiap malam, teriakan Tambi tersebut terus mengebor dinding mimpinya.
Ia sudah merasakan perubahan Andau sejak suaminya itu bekerja di perusahaan selama hampir setahun. Semula, ia berusaha tidak mengacuhkan. Dihibur hatinya bahwa Andau mungkin hanya terlalu lelah sekali itu. Namun, ketika kebekuan terus berulang, dengan keras hati ia memutuskan untuk menerimanya saja. Menganggap sebagai sebuah pengorbanan lumrah tanpa menyadari bahwa ia telah memberi tempat kepada ular untuk bersarang di bawah pintu.
Ia sudah mendengar selenting kabar tentang kebiasaan buruk para pekerja perusahaan yang suka memalas bagian tubuh mereka dengan hal-hal menjijikkan. Alkohol. Film porno. Perempuan bayaran. Sungguh, ketika pertama kali telinganya menangkap bisik-bisik itu pada suatu siang di Hari Belanja, ia merasa jantungnya terpelintir, teringatnya pada Andau. Sesuatu yang mengerikan seakan tengah melompat keluar dari dalam televisi. Namun, bukan Ulin namanya jika melemah semudah itu.
Ia mencoba mengurung curiganya dengan mengingat-ingat betapa besar cinta sang suami kepadanya. Ia menolak melihat Pertanda yang datang bergantian: bekas memerah pada leher Andau; goresan lipstik warna api pada handuk dan celana dalam, cincin karet aneh dari saku. Ia bersikap bagai laron naif yang memberanikan diri menghadapi risiko dari keputusannya mencintai api.
Risiko kehilangan sayap.
***

Mina
    Tahukah kau apa yang kami lakukan jika hujan tidak turun pada waktunya? Kami akan melakukan upacara permohonan kepada para ilah penguasa kilat, angin, petir. Dan hasilnya, silakan tunggu saja. Tidak lama kemudian, bumi oloh itah pasti  basah kuyup.
Semalam, hujan turun sangat deras seakan tengah menjawab doa seseorang. Aku tidak ingat pernah mendengar para tetangga melakukan upacara. Sambil merapatkan sarung, kuanggap saja curahan air di atas atap sirapku sebagai desis radio kehabisan acara. Pagi tadi, barulah kutahu kalau hujan semalam pertanda bencana.
Kini, aku dan Ulin sedang duduk di dalam klotok Tabat yang membawa kami menyisiri sungai. Kutinggalkan pekerjaan di ladang untuk suamiku. Hari ini, aku menemani Ulin mengunjungi Kota Hilir. Inilah perjalanan pertamanya, yang ia tunggu-tunggu sejak lama. Namun, jika kau ada di sini bersama kami, kau tidak akan melihat sinar gembira menyala dalam mata Ulin. Yang berkelip itu –kuberi tahu-- bukan kembang api bahagia, melainkan air mata.
Datangnya pagi tadi. Kabar tentang kecelakaan di jalan logging perusahaan kayu. Sebuah mobil hardtop bermuatan penuh, yang dalam perjalanan menuju kota, jatuh ke dalam jurang. Kecelakaan diperkirakan terjadi semalam.
Bagi aku dan para peladang, kabar semacam itu sudah biasa. Ketika mendengarnya, kami tidak tersengat lagi. Toh, kami tidak mengenal penumpang malang itu. Pun, kami tidak pernah berpikir bahwa ada hari di mana seorang utusan perusahaan kayu datang ke salah satu pondok peladang dan berkata kepada penghuninya, “Datanglah ke rumah sakit kota. Ada kecelakaan. Keluarga Anda salah satu korbannya.”
Andaulah yang dimaksud.
"Kenapa suamiku ada di sana, Mina? Di dalam mobil itu yang menuju kota? Kukira ia sedang bekerja di tengah hutan….  Kenapa bisa? Kenapa?"
Di sepanjang perjalanan kami ini, hingga tiba di kota beberapa jam kemudian, Ulin terus mendesiskan keterkejutannya dengan ketekunan seorang pendoa. Ia menolak berhenti sampai mendapat petunjuk. Ia juga menepis penghiburanku, hingga akhirnya apa yang dinantinya muncul begitu saja di hadapan kami.
            Tubuh-tubuh itu terbaring berjejer di atas ranjang putih sebuah bangsal terbuka rumah sakit. Sosok-sosok yang mengingatkan pada daging buruan.
Bebercak darah.
Berbau cakar malaikat maut.
Dan, seseorang yang ada di antara mereka terlihat sangat akrab di mata kami.
“Andau….”

Tambi
Aku masih ingat betapa senangnya Ulin mendengar satu dongeng sederhana yang kerap kuceritakan untuknya. Dongeng tentang cinta, kesetiaan dan pengorbanan dari sepasang burung enggang.
Kukisahkan kalau kedua burung itu mencintai satu sama lain layaknya lebah dan bunga. Saling memberi dan menerima tanpa paksaan, juga saling memerlukan. Ketika waktu mengeram tiba, enggang betina dengan rela mengurung diri dalam sarang demi melindungi telur-telurnya. Lubang sarang lantas ditutup dengan lumpur oleh sang jantan. Mereka tidak bisa lagi saling memandang atau bersentuhan. Namun, lewat sebuah celah kecil yang sengaja dibiarkan, enggang jantan terus menunjukkan dukungan dan cinta kasihnya. Ia memberi makan si betina melalui celah itu.
“Begitulah cinta yang kuingin dimiliki olehmu, Nak. Cinta yang seperti enggang.”
Dalam pandanganku, Andau dan Ulin bagai enggang jantan dan enggang betina yang dijodohkan alam. Sepasang suami istri yang kelak bisa menciptakan keluarga oloh itah yang sempurna. Demikianlah harapanku saat itu, ketika mereka menikah. Harapan seorang nenek bau tanah yang terlalu bahagia dan melupakan bahwa tidak ada kesempurnan yang sanggup dicapai manusia.
Pada akhirnya, aku sangat kecewa.
Andau tidak pantas menjadi anak enggang keturunan Tatu Hiang. Enggang yang kukenal sangat setia kepada pasangannya, tapi tidak dengan Andau. Semua kebusukannya terbuka sudah. Ia telah melanggar adat dan mempermalukan oloh itah. Kecelakaan itulah hukumannya.
Alam tidak mungkin berbuat sesuatu yang buruk dan sia-sia. Kuyakin, para ilah penunggu hutan bekerja secara misterius hingga mobil itu ditelan jurang. Ia dan perempuan yang tidak mau kutahu namanya pastilah dalam perjalanan menuju ke suatu tempat untuk melakukan kebusukan. Karena itu, Ulin kularang menangis. Ia boleh saja menerima Andau kembali, tapi jangan sampai ada air mata yang diteteskan demi seorang pengkhianat.
Aku percaya, sekeras apa pun seseorang berusaha, ia tidak akan pernah bisa lari dari perbuatan yang telah dilakukannya, pun pilihan yang diambilnya. Menyadari hal itu, kuputuskan untuk berhenti ikut campur dan mengomeli mereka seperti kanak-kanak lagi. Biarlah kebijaksanaan hidup mereka temukan sendiri seiring guliran waktu. Pesanku hanya satu.
“Cukup ingat dan kenali saja kelemahan itu, maka kalian akan menjadi lebih kuat daripada hari ini --dan semoga saja aku masih diberi hidup untuk menyaksikan semuanya berakhir bahagia.“

Ulin
Ulin sangat yakin, Ranying Hattala Langit tahu semua peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan itu, tapi ia enggan berdoa kepada-Nya agar diizinkan ikut mengetahui pula. Ulin takut hatinya  makin dibebani sakit yang menolak sembuh, jika mendapati kenyataan lain yang lebih detail. Ia juga tidak mau menodai rasa cintanya kepada Andau dengan perasaan benci yang lebih besar. Cukuplah apa yang ia dengar dan saksikan pada hari itu, saat masih berada di rumah sakit kota. Selanjutnya, ia tidak akan menengok ke belakang lagi. Sungguh, kenyataan jauh lebih sakit daripada kebohongan.
Ulin menyesal terlambat sadar. Perkataan Tambi memang benar. Seseorang yang melanggar pali akan mendapat ganjaran. Kini, Andau sedang menjalani hukumannya. Kecelakaan membutakan sebelah mata lelaki itu dan merusak  pipinya. Namun, Ulin tetap setia dan berusaha menerima Andau apa adanya. Ia juga sudah berhenti menangis sejak sebuah kesadaran menetas sendiri dalam relung dirinya.
Mensyukuri jauh lebih baik daripada menyesali.
Karena itu, sebelum semua yang ada padanya diambil kembali oleh Sang Pencipta, ia akan mulai belajar menghargai. Mengerjakan ladang dan kebun lagi. Toh, peladang bukanlah suatu pekerjaan yang merendahkan diri seseorang karena tinggi-rendah derajat tergantung moral manusia.
Andaulah buktinya.
Ulin kini mengerti, serupa kayu ulin yang keras dan berat, sungguh sangat mudah dirinya tenggelam ke dalam sungai kehidupan jika tidak berhati-hati. Namun, Ulin ingin tetap mengapung hingga tiba di tujuan akhir dengan selamat. Ulin tidak ingin tenggelam dalam kebencian, meskipun sebuah adegan pada hari ketika ia masih menunggui Andau di rumah sakit kerap menghantui tidur malamnya.
Ulin sedang berdiri di dekat pintu bangsal. Seorang dokter berkata kepada petugas polisi kalau satu-satunya perempuan korban kecelakaan mobil kamp ternyata sedang hamil dua bulan. Perempuan itu baru saja meninggal. Tidak terselamatkan. Jenazahnya dibawa melintas di depan Ulin dengan kain penutup bagian kepala tersingkap. Saat itulah, seorang korban lain yang berbaring tidak jauh dari Ulin, dengan perban di kaki,  terdengar berseru tak percaya, "Ibu Dapur baru!"
Jenazah perempuan itu berlipstik warna api.

Cerita Selanjutnya  >>>>

Penulis: Anindita Siswanto Thaif
Pemenang I Lomba Mengarang Cerber Femina 2012




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?