Fiction
Topeng [8]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya

Tanpa banyak kata-kata, Ayah dan Ibu merestui hubungan mereka. Mau bagaimana lagi? Sebelum memohon restu pun, Niras sudah menjadi milik Panji. Kini dia tengah mengandung bayi pria itu. Tak ada jalan lain, selain mempersatukan keduanya dalam ikat-an suami-istri.

Untunglah, sepertinya Panji pria baik-baik. Dari keluarga baik-baik pula. Kalem. Santun. Berpendidikan. Hampir tanpa cacat cela. Nyaris sempurna. Hanya ada satu ganjalan: agama yang berbeda. Tapi, Ibu diam saja. Mungkin kali ini perbedaan itu sudah tidak penting lagi di matanya. Keadaan putri sulungnya, persiapan pernikahan mereka, sudah cukup menyita pikirannya.

Dari pihak keluarga Panji pun tidak ada hambatan berarti. Kedua keluarga sudah sepakat bertemu dalam waktu dekat. Orang tuanya bersikap sama seperti Ayah dan Ibu. Hanya bisa pasrah. Mereka pun tak mempersoalkan masalah perbedaan. Entah agama, juga garis keturunan. Beruntung sekali. Mengingat kedua keluarga itu adalah pemeluk agama yang sama-sama taat.

Tapi, ketika sudah lebih tenang, Ibu bertanya juga. “Kenapa selama ini kamu ndak pernah cerita tho, Nduk?”

“Cerita soal apa, Bu?” Niras menengadah.

“Semuanya, terutama soal Panji.”

“Niras tahu, Ibu mau bertanya soal perbedaan agama itu, ‘kan? Kenapa Niras tidak mencari jodoh yang seiman saja? Jawabannya, karena Niras mencintainya, Bu. Kami saling mencintai. Cinta kami tulus tanpa memandang segala perbedaan.”

“Kamu yakin? Akan mengarungi biduk dengan dua kemudi, tidak mudah.”

Niras mengangguk mantap. “Dengan doa Ibu.”

Ibu tak mampu bersuara.

Saras tak habis pikir. Sedekat apa pun dia dengan sang kakak, dia tetap tak menyangka bahwa Niras ternyata menempuh jalan ini. Jalan yang dikira hanya terpikir olehnya. Saras tahu sekali siapa Niras. Kakaknya itu berbeda dengan dirinya. Jiwanya tidak sebebas Saras. Pribadinya lebih tenang. Stabil. Tak mudah terpengaruh. Hidupnya mengalir apa adanya.

Siapa nyana, gadis dengan sikap hidup seperti itu akan luluh di hadapan pria yang dicintainya. Bagaimana Niras bisa sebodoh itu? Atau, dia lupa memproteksi diri? Hamil di luar nikah! Bukan saja aib bagi dirinya sendiri, tapi juga mencoreng muka seluruh keluarga besar mereka. Terutama Ibu.

“Kenapa bisa sampai hamil?” pertanyaan lugu dari Laras.

Niras mendesah. “Karena Mbak mencintai Mas Panji, La.”

“Sesederhana itu?” sela Saras.

“Apa lagi yang membuat wanita rela menyerahkan segalanya pada seorang pria, kalau bukan karena cinta?”

Saras berpaling. Kata-kata itu kena sekali menusuk ulu hatinya. Seandainya Niras tahu, bahwa masih ada seorang wanita yang bisa bercinta begitu saja, tanpa harus ada cinta. Dan itu adalah adiknya sendiri.

“Aku tahu kami berbeda kepercayaan. Tapi, aku sungguh mencintainya. Aku takut kalau harus kehilangan dia.”

“Jadi, Mbak sengaja hamil, agar menikah dengan Mas Panji? Begitu?” berondong Saras. Ia mulai bisa meraba jalan pikiran kakaknya.

“Mbak, bagaimana perasaanmu ketika pertama kali melakukan hubungan itu?” tanya Saras kemudian.

“Bagaimana perasaan Mbak ketika tahu hamil?” tamabh Laras.

“Aku kan sudah bilang, aku memang menginginkan ini terjadi. Yah, tapi tetap ada takutnya. Pokoknya, campur aduklah. Jangan beri tahu Ibu, ya.”

“Tapi, Mbak senang tujuan Mbak tercapai juga?”

Niras tersenyum sekilas. “Ya, senang. Tapi, tetap sedih juga ternyata. Ada perasaan bersalah. Apalagi, ketika melihat wajah Ayah dan Ibu. Aku, kok, jadi seperti anak durhaka. Tapi, mau bagaimana lagi? Yang paling penting, aku kan tidak asal pilih calon suami. Coba, kurang apa Mas Panji itu? Dia bukan cuma tipe suami idaman, tapi juga menantu idaman.”

Saras tercenung. Suami idaman. Menantu idaman. Kriteria itukah yang mampu meluluhkan hati Ibu? Lalu, bagaimana kalau Ibu melihat kekasihnya? Arya seratus persen berbeda dari Panji. Meski sama-sama pria kaya dan terpelajar, perbedaan itu tetap sama mencolok.

Arya jauh lebih modern. Lebih high class. Lebih bebas pergaulannya. Yang lebih fatal lagi, dia seorang duda cerai dengan seorang anak perempuan yang masih kecil. Bisakah Ibu menerima yang seperti itu? Paling tidak, mereka menganut kepercayaan yang sama.

Niras menyentuh lengan Saras. “Kamu sudah punya pacar?”

“Yah… begitulah. Tapi, hubungan kami belum terlalu dalam.”

Dusta. Hubungan mereka sudah sedalam suami-istri. Tak beda dari Niras. Hanya, ia pintar menjaga diri. Tidak sampai kecolongan hamil.

“Kamu, La?” kali ini Niras menatap adik bungsunya.

Laras menggeleng. Spontan.

“Bagaimanapun kalian sekarang, Mbak cuma menasihati satu hal. Kejarlah cinta sejatimu. Tak peduli rintangan yang harus dilewati.”

“Juga kalau Ibu dan Ayah tak setuju?” tanya Laras, polos.

Niras mengangguk mantap. “Pada akhirnya mereka akan setuju kalau melihat kegigihan kita. Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Iya, ’kan?”

Ibu tak setuju. Ia menentang hubungan Saras dengan Arya. Bukan saja karena status pria itu, tapi juga karena sederet alasan lain. Mata tuanya yang sarat pengalaman ditambah kepekaan batin dan naluri keibuannya, melihat bahwa Arya tak cocok untuk putrinya. Gaya hidup mereka sungguh berbeda. Apalagi, dia duda, cerai pula. Rumah tangga berantakan.

Padahal, di agama mereka tak boleh ada perceraian. Namun, jika mereka memilih hidup terpisah, pastilah dengan status tidak jelas. Hidup macam apa itu? Belum lagi dia sudah lama tinggal di Amerika. Pasti sudah terbawa gaya hidup orang sana. Bebas luar-dalam.

Namun, Saras tetap ngotot. Mati-matian mempertahankan hubungannya dengan Arya. Kalau Ibu bisa menerima suami Niras dan merestui hubungan mereka hingga ke pelaminan, seharusnya Ibu juga merestui hubungannya dengan Arya. Tidak adil, jika Ibu melihatnya hanya dari satu sisi saja. Apalagi, dia dan Arya seiman. Zaman sekarang, apalah artinya status duda atau perjaka.

Tapi, Ibu tetap Ibu. Wanita yang kukuh dan kolot dalam berpandangan. Pendiriannya sulit dibengkokkan. Kali ini Saras terpaksa membangkang. Memberontak secara terbuka. Saras tak mau lagi mendengar sepatah kata pun penentangan dari Ibu. Hati dan telinganya ditutup rapat-rapat terhadap segala bentuk protes. Pun ketika akhirnya Ibu melunak. Pokoknya, selama kesimpulannya tetap sama, Saras pun akan tetap dengan pendiriannya.

”Dia tidak cocok untukmu, Nduk. Ia terlalu matang dengan pe-ngalaman, sedangkan kamu masih hijau. Apa yang dicari seorang pria yang sudah pernah menikah, ketika berhubungan dengan wanita? Larinya pasti hubungan seks.”

Tubuh Saras agak menegang.

”Mbok, ya, dengar nasihat Ibu. Jangan sampai kejadian yang dialami Niras terulang lagi Jangan salah melangkah. Hati-hatilah berhubungan dengan pria. Umurmu masih muda. Jalanmu masih panjang.”

“Jadi, Ibu pikir, Ras juga sudah salah langkah seperti Mbak Niras?” tembak Saras, tanpa tedeng aling-aling.

“Bukan begitu, Nak….”

“Ras mencintainya, Bu. Kalau Mbak Niras, Ibu restui, kenapa itu tidak boleh terjadi pada Saras? Kenapa Ibu selalu mempermudah dia dan selalu mempersulit Saras?” Saras agak berapi-api.

“Nak, jangan salah sangka. Bukannya Ibu membeda-bedakan kalian. Tapi, Niras sudah hamil, Saras. Cobalah mengerti itu. Apa lagi, yang bisa Ibu perbuat, selain merestui hubungan mereka? Kamu tega membiarkan keponakanmu lahir tanpa ayah?”

“Bukan itu yang Saras maksud, Bu….”

“Bukan pula Ibu bermaksud buruk padamu.”

“Pokoknya, Ibu tidak bisa melarang kami!”

“Asal kamu ingat, Ibu tidak akan pernah setuju!”



Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?