Fiction
Topeng [4]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya


Kenapa orang harus pakai topeng? Topeng semu yang hanya bisa dirasa oleh si empunya wajah, tanpa bisa diraba. Bagiku, topeng ini sudah menjadi kebutuhan. Bukan untuk melakukan kejahatan, hanya semata perlindungan. Untuk bisa bersosialisasi dan mencari kawan, menampilkan citra baik. Siapa, sih, yang tidak ingin punya teman? Semua pasti ingin tampil apa adanya, kalau bisa. Sayang, lingkungan selalu punya hak pilih penuh.

Saras paling membenci hari Sabtu. Entah kenapa. Meskipun sebenarnya dia sendiri merasa, bukan harinya yang salah, melain­kan dirinya yang bermasalah. Bagaimana bisa suka, kalau Sabtu pagi dia masih sibuk di kantor, sementara sebagian besar aktivitas perkantoran yang lain mendapat libur.

Dia benci. Dia iri. Iri pada orang lain yang bisa libur. Iri pada peng­hasilan orang lain yang lebih mencukupi. Punya fasilitas memadai. Kenapa orang lain selalu lebih beruntung, sedangkan dia tidak!

Yang sebenarnya tidak disukai Saras adalah perasaan sepi dan sendiri, bukan masalah hari. Saras memang beda. Mulai dari adat sampai selera. Sudah biasa baginya untuk menyukai apa yang tidak disukai orang lain, dan membenci apa yang biasanya disenangi orang. Orang mengatakan dia aneh, tapi dia tidak peduli. Karena melakukan hal yang dilakukan orang kebanyakan? Baginya itu bukan tolak-ukur. Hanya masalah selera.

Tapi, orang akan memilih bungkam. Bukan karena kekurangan perbendaharaan kata, tapi malas berdebat. Malas melihat lagaknya yang sok pintar, ingin menggurui, tak mau peduli. Predikat aneh itu mau tak mau tetap disandangnya. Bagaimana tidak aneh? Dia betah menyendiri, sementara orang lain wara-wiri. Tak mau menyapa bila tidak disapa.

Sekali lagi, pintu pergaulan tertutup untuknya. Sulit sekali mencari celah yang dapat dimasukinya. Padahal, dia ingin sekali. Sayang, jarang ada orang yang mau memberinya kesempatan. Sebenarnya, Saras sakit hati. Dia yang selalu dimanja di rumah, diperlakukan bagai putri, tidak selalu bisa diterima oleh lingkungan luar. Dia pun makin menutup diri. Makin mendongakkan kepala. Mengangkat dagu. Benar-benar berlaku seolah dia adalah ratu.

Sampai di tempat kerja pun, Saras tetap tidak mempunyai teman dekat. Celakanya lagi, dia ditempatkan di divisi yang memang mengharuskannya bekerja secara individu. Hampir tak ada kesempatan bersosialisasi dengan teman. Sahabat setianya hanyalah komputer. Di rumah dan di kantor. Pernah beberapa kali dia mencoba membuka diri. Makan siang bareng teman sekerjanya. Itu pun tak bertahan lama. Karena, yang kaku memang susah sekali dilenturkan. Dia merasa tak nyaman, lalu memilih mundur.

Orang selalu membicarakan sikapnya. Tapi, begitulah. Orang hanya bisa memandang apa yang tampak di depan mata. Membicarakannya dengan segala macam kata yang tak nyaman di telinga. Menyakitkan. Seakan dia tak punya hati. Tak bisa sakit. Tak bisa merasa. Juga tak peka. Tentu saja tak ada yang tahu. Semua kegalauan hatinya hampir tak pernah diketahui orang. Dan, dia sudah terlatih memendam segala hal sejak masa kecilnya.

Tak ada yang tahu betapa menderitanya dia, yang hanya bisa memandang dengan iri pada orang yang begitu mudah bergaul. Begitu gampang mendapatkan sahabat. Teman dalam segala cuaca. Tak ada yang tahu betapa ia ingin bergabung dengan suatu komunitas. Tapi, selalu tak ada tempat untuknya. Padahal, dunia ini begitu luas.
Hanya dunia malam Jakarta yang masih menerimanya. Clubbing. Rokok. Alkohol. Itulah teman-teman terbaiknya. Yang lain tak dapat dipercaya.

Saras tidak tahu pasti siapa Arya. Ia hanya tahu sosok pria itu sebatas yang dikenalnya di diskotek tempo hari. Pernah ada keinginan untuk mencari tahu. Mencoba mengajaknya berteman. Tapi, Saras tak berani. Tekadnya untuk lebih mendekat pada pria itu sudah lama punah. Karena itu, dia serasa bermimpi, ketika suatu malam dia bertemu kembali dengan Arya. Lewat pertemuan tak sengaja di depan lobi gedung kantornya.

Entah mendapat keberanian dari mana, kali ini Saras berani melontarkan sapaan lebih dulu. Agak deg-degan. Takut Arya sudah lupa perkenalan mereka dulu. Tapi, tidak. Ingatan pria itu baik juga. Ia juga cukup baik menawarkan diri untuk mengantar Saras pulang ke kosnya.

Demi sopan-santun, awalnya Saras menolak. Tapi, Arya memaksa. Tidak perlu waktu lama. Karena, Saras yang takut kesempatan ini akan hilang untuk kedua kalinya, langsung mengiyakan. Tidak lupa memasang raut wajah sungkan, agar Arya tidak mudah mengecapnya gampangan.

Sepertinya, Saras berhasil. Pertemuan malam ini membuahkan janji untuk pertemuan berikutnya. Ini yang ketiga. Kali ini bukan di klab malam, bukan pula di depan kantor, tapi di sebuah kafe romantis yang menyuguhkan live music hanya dengan denting piano, dan bias lampu temaram.

Arya mengajaknya duduk di sudut yang agak terhalang dari banyak pandangan. Mengajaknya bercerita. Menanyakan banyak hal tentangnya. Mendengarkan ceritanya dengan antusias. Tatapan. Kelembutan sikap. Kesabaran mendengarkan. Makin lama makin melumerkan hati Saras yang memang sudah luluh sejak awal berkenalan.

Sedikit demi sedikit Saras mulai bisa terbuka pada Arya. Sikapnya jauh lebih santai. Dia bisa bercanda dan tertawa dengan bebas. Dia bisa mengobrol tentang apa saja. Yang paling menyenangkan, berada di hadapan pria itu, Saras bisa dengan lega mencopot topengnya. Arya membuatnya merasa nyaman menjadi diri sendiri.

Kelanjutannya gampang ditebak. Saras jatuh cinta. Satu rasa yang selama ini tak pernah ada pada pria mana pun yang pernah dikenalnya.

“Wanita itu paling gampang dibuat jatuh cinta. Asal dia diperlakukan baik, benci pun bisa berubah jadi cinta.” Saras teringat kata-kata Ibu dulu.

Tidak juga. Buktinya, dia tidak gampang jatuh cinta. Tapi, pria yang ini memang beda. Juga saat dia membuka rahasianya, ketika Saras diundang ke rumahnya suatu hari. Saras melongo ketika di pintu depan disambut Arya yang tengah menggandeng seorang anak perempuan manis berambut panjang.

“Hai,” sapa Arya. Senyumnya merekah. Lalu, dia berpaling pada gadis kecil itu. “Dita, beri salam pada Tante Saras.”

Dita tersenyum. Tidak bersuara. Hanya memberi tangannya untuk bersalaman. Tatapannya penuh percaya diri. Sikapnya tak peduli.

“Halo, Dita,” Saras mencubit pipi anak itu dengan gemas.

“Keponakanmu?” tanya Saras, saat mereka hanya berdua di ruang tamu.

“Anakku,” sahut Arya, santai. “Aku sudah pernah menikah. Maaf kalau selama ini belum pernah menceritakannya padamu.”

“Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk tidak bercerita tentang hal-hal pribadi.” Otak Saras belum mampu mencerna seluruhnya. “Lalu, istrimu?”

“Kami bercerai setahun lalu. Klise. Karena beda prinsip.”

“Dia meninggalkan anaknya begitu saja?” tanya Saras lugu. Tidak mengerti kenapa ada ibu yang tahan berpisah dari darah dagingnya.

“Saat sidang perceraian, aku memperjuangkan Dita. Karena, ibunya terlalu sibuk. Dia seorang model yang sedang go international. Hari ini harus show di sini, besok sudah terbang ke tempat lain. Dengan jadwal seperti itu, dia tidak akan sempat memerhatikan anaknya. Aku tidak rela anakku terlantar, justru di tangan ibunya sendiri.”

                 
  cerita selanjutnya  >>



Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?