Fiction
Topeng [12]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya


Wanita murahan! Seumur hidup baru kali ini Saras mendapat umpatan sekasar itu. Dan, kata-kata itu keluar dari mulut... Arya! Orang yang paling dicintainya. Mungkin, inilah kesakitan paling dalam yang pernah diterimanya.
Saras mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba menghalau setitik air yang sudah menggantung di ujung bulu matanya yang lentik. Otaknya mencoba berpikir jernih. Mengingat-ingat kembali rentetan kejadian di belakangnya, hingga Arya marah besar dan tega menuduhnya sekejam itu.

Sudah beberapa hari belakangan ini Saras membonceng motor temannya setiap kali pulang kantor. Tentu saja teman pria. Roby. Dia karyawan baru. Belum dua bulan bekerja di kantor tempat Saras bekerja. Parasnya biasa saja, tetapi jadi lebih menarik karena pandai membawa diri. Dia ramah pada siapa pun. Yang paling menonjol dari penampilannya adalah perawakannya yang tinggi besar.

Saat pertama melihatnya, Saras bersikap dingin-dingin saja. Di matanya, pria itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan yang dapat membuatnya tertarik, biarpun hanya untuk berteman biasa. Pandangannya berubah sejak mereka sering lembur bersama akhir-akhir ini. Meski sama-sama sibuk, Roby masih menyempatkan diri menyapa Saras, menawari kopi sachet yang dibawanya dari rumah.

Awalnya Saras menolak. Tapi, lama-kelamaan, karena tidak enak dan Roby tidak bosan-bosannya menawari, Saras tidak menolak lagi. Sejak saat itu komunikasi mulai terjalin. Sedikit demi sedikit. Sampai mereka benar-benar bisa akrab. Terakhir Roby malah berbaik hati menawarkan diri untuk mengantar pulang Saras.

Baru kali ini Saras merasakan serunya naik motor di Jakarta. Sa­lip sana-sini di antara kemacetan lalu lintas. Enak juga. Lebih cepat sampai. Hal ini terjadi berkali-kali. Saras memdulikan gosip tentang hubungannya dengan Roby merebak. Dibilang selingkuh, berpacaran diam-diam. Saras tidak mau ambil pusing.

Dia tidak pernah bercerita soal ini pada Arya. Tapi, bukan berarti dia menyembunyikan sesuatu. Dia tidak pernah bercerita, karena tidak bisa. Kapan Arya punya waktu untuk mendengar cerita-ceritanya? Lagi pula, sepertinya memang tidak perlu. Bukan apa-apa. Hanya mencegah Arya berpikir yang bukan-bukan. Juga menghindari pertengkaran, kalau Arya masih peduli!

Dia dan Roby hanya berteman. Sebagai teman, tak ada salahnya, jika dia sering diboncengi oleh Roby sepulang kantor. Toh, tidak merepotkan, karena arah tempat tinggal mereka sama.

Tetapi, Arya punya pemikiran berbeda. Suatu hari, di tempat kos Saras, Arya melihat Saras turun dari boncengan seorang pria. Pria yang nama dan wajahnya tidak pernah ia kenal sebelumnya. Tubuh yang letih dan otak yang penat membuat emosinya naik. Lymbic system ini pula yang sekarang lebih menguasai otak Arya. Dia tidak langsung marah. Suara dan bahasa tubuhnya tetap terjaga, sampai motor itu berlalu dari hadapannya.

“Siapa itu?”

Bagaimanapun datarnya, saat mendengar suara itu, urat-urat was­pada di tubuh Saras langsung memberi sinyal.

“Teman kantor. Karyawan baru. Kebetulan rumahnya searah.”

“Sudah sering lembur bareng?”

“Ar, kamu mulai menyelidiki?”

“Kalau ya, kenapa?” balas Arya, santai.

“Apa hakmu…?”

“Karena, kamu masih milikku. Selama statusmu belum berubah, kamu tidak bisa seenaknya berduaan dengan pria lain.”

“Kami hanya berteman. Tidak lebih.”

“Hanya Tuhan yang tahu,” dengus Arya, sinis.

“Kan sudah kukatakan, hubungan kami hanya sebatas teman. Kalau tidak percaya, tanya dia.”

“Tidak ada maling yang mau mengaku.”

“Oh, jadi kamu mencurigaiku? Begitu?”

“Sudah kubilang tadi, hanya Tuhan yang tahu sudah sampai se­jauh mana hubungan kalian. Dan aku tidak suka! Titik.”

“Kamu kira kamu masih bisa mengaturku? Terima kasih sudah mengingatkanku, ternyata aku masih punya seorang kekasih sampai hari ini. Ternyata namaku masih tercatat di sela-sela tumpukan tugasmu. Ke mana saja kamu selama ini? Kalau kamu tidak muncul malam ini, mungkin saja besok aku sudah lupa bahwa aku masih punya kekasih….”

Plak! Tangan kanan Arya melayang menyambar lengan kiri Saras. Keras. Cepat. Pedas.

Saras memekik tertahan. Tangan kanannya memegang lengan yang terkena tamparan Arya. “Arya! Kamu gila, ya?!”

“Lagakmu sudah seperti wanita murahan!”

Sekali lagi tangan kanan itu mengayun. Kali ini sasarannya pipi. Tapi, tamparan itu meleset dan mengenai pelipis kiri Saras.

Sekali lagi Saras terpekik. Terhuyung-huyung ke samping.

“Kuingatkan sekali lagi, Sar! Tolong jaga sikapmu. Selama masih menjadi milikku, kamu tidak boleh bergaul dengan sembarang pria! Kecuali, kamu ingin kita putus!” Telunjuk Arya menuding-nuding di depan mata Saras. Matanya berkilat-kilat marah.

Saras terenyak di tempat tidurnya. Memeluk bantal guling. Dia menangis tanpa suara. Di mana sesungguhnya letak kesalahanku? Kenapa semuanya menjadi kacau dan berantakan begini? Aku letih. Sungguh letih. Aku enggan bertahan lagi. Semua yang kulakukan untuk mengubah hidupku ternyata sia-sia. Kebebasan yang sudah lama kuangankan kini seakan berbalik menjadi bumerang.

Apakah ini sebuah karma? Ataukah dosa? Karena aku sudah me­nentang ibuku. Melanggar ajaran Tuhan. Marahkah Ibu? Marahkah Tuhan padaku?

Saras bangkit dari tempat tidur, menuju meja kecil di dekat jen­dela. Ia mengambil botol kecil dari dalam laci. Membuka tutupnya. Mengeluarkan tiga butir pil kecil berwarna putih itu. Menenggaknya sekaligus.

Direbahkannya dirinya di kasur. Dipandangnya langit-langit dengan hampa. Setetes air mata bergulir dari sudut matanya. Lalu, perlahan-lahan kelopak mata itu terpejam. (tamat)

Penulis: Mya Ye



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?