Fiction
The Second Chance Show [5]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Aldi terdiam bingung. Perlahan kepalanya dipenuhi kenangan beberapa tahun lalu. Aldi kabur dari rumah orang tuanya dan tinggal sementara di rumah neneknya. Saat itu memang ada gadis kecil yang sering membantu neneknya. Jadi benar, Nia adalah gadis itu.

”Maaf, ya, kalau aku lupa padamu. Maklumi aku, ya.. banyak yang perlu dipikirkan,” ucap Aldi, menahan kesombongannya.

Nia tersenyum. ”Oke, Tuan Aldi Surya Pratama. Sekarang kau sudah tenar dan lupa pada masa lalu ya?”

”Tidak juga. Jangan kau pikir aku sudah berubah. Aku hanya orang biasa yang juga bisa lupa, kok. Jangan kira jadi artis itu membuat orang lupa diri. Aku tidak begitu,” dusta Aldi.

”Kau dengar tidak?” tanya Nia tiba-tiba.

Aldi celingukan. ”Dengar apa?”

”Suara kodok dari semak itu! Ayo, ke sana,” ajak Nia.

“Apa-apaan, sih?” Aldi bingung.

”Kita ke sana,” ajak Nia, sambil menunjuk ke arah semak-semak di sudut taman yang gelap. Aldi hanya mematung. ”Kenapa, kau masih takut pada gelap, ya?” tanya Nia, polos.

”Si... si... si... siapa bilang aku takut. Aku... aku kan hanya... hanya...,” Aldi tergagap.

Nia segera bergegas ke semak, sementara Aldi masih diam kebingungan. Nia kembali dengan menggenggam sesuatu di kedua tangannya.

”Ini dia!” serunya, sambil menunjukkan sepasang kodok yang dipegangnya dan dipamerkan dekat muka Aldi.
Aldi hanya memandangi sepasang kodok itu dengan tegang.

”Nih, kamu pegang!” ucap Nia, polos. ”Kamu kan dulu suka mainan kodok denganku. Kenapa jijik sekarang?”
Aldi menelan ludahnya, lalu diambilnya kodok itu perlahan dengan perasaan jijik. Kasar dan lembek. Ih, Aldi merasa jijik.

Nia jongkok di tengah jalan taman. ”Ayo, kita lomba, kodokku pasti lebih cepat!”

Aldi ikut jongkok dengan terpaksa.

”Pegang sininya, lalu ditekan saat hendak melepaskannya. Pasti kodoknya langsung lompat,” jelas Nia.

”Ya, aku tahu, aku masih ingat kalau soal ini,” ucap Aldi, ketus.

”Tiga... dua... sati... lepas!” perintah Nia. Sepasang kodok itu berlompatan dari tangan Nia dan Aldi.

”Hei, kodokku loncatnya lebih jauh! Aku menang!” seru Aldi.

”Bukan itu kodokmu. Kodokmu yang jantan, yang lebih kecil!” bantah Nia.

Toni dan Margi menonton mereka dari monitor televisi yang tersambung dengan kamera yang terpasang di taman.

”Pasangan yang aneh,” ucap Toni singkat, disambut anggukan Margi.
”Aku belum pernah melihat bintang sebanyak ini,” ucap Aldi kecil terkagum-kagum.

”Di rumahmu tidak ada bintang?” tanya Nia kecil.

”Tidak ada.”

”Kau bisa minta mama-papamu mengantarmu ke ruang besar yang bulat itu untuk melihat bintang.”

”Planetarium maksudmu?” tanya Aldi kecil, memastikan.

”Oh, iya, namanya Planetarium.”

”Ah, Mama-Papa bertengkar terus dan selalu sibuk. Mana mungkin mereka mau mengajakku ke sana,” ucap Aldi kecil. ”Ke sekolahku untuk mengambil rapor saja tidak ada yang sempat.”

”Kalau ibuku selalu baik. Tiap hari aku selalu dibuatkan masakan, diceritakan dongeng sebelum tidur, diajak ke pasar malam,” ucap Nia kecil.

”Aku mau ibumu,” ucap Aldi kecil.

”Tapi, dia ibuku. Dia satu-satunya yang kupunya.”

”Kalau kita menikah nanti, ibumu bisa jadi ibuku, ’kan?” tanya Aldi kecil.

Aldi membuka matanya dan melihat sekitarnya. Aku masih ada di kamar, ucapnya dalam hati. Barusan itu mimpi atau masa lalu yang tiba-tiba muncul di permukaan kenangan?

”Kenapa kau bangun tiba-tiba?” tanya Margi, yang tiba-tiba sudah ada di depannya.

”Kau ada di sini?” tanya Aldi.

”Aku hendak membangunkanmu. Ayo, cepat, syuting sudah dimulai. Para peserta sedang berkumpul sarapan di halaman.”

”Kau tahu?” bisik Rachel pada Nia. ”Kata salah seorang kru, aku sudah dipersiapkan untuk masuk 3 besar.”

”Kok, bisa? Bukannya ini pilihan pemirsa berdasarkan polling?”

”Aku paham,” putus Rachel. ”Maksudmu belum tentu menang, karena polling dan pilihan pemirsa bisa berubah.”

Nia mengangguk.

”Nia kamu polos sekali. Kau pikir ini semua berjalan begitu saja. Ini semua sudah diatur. Polling melalui SMS hanya untuk mencari untung saja. Bukannya aku berpikiran negatif, tetapi tampaknya peta kekuatan sudah mulai terlihat. Aku mulai bisa membaca keinginan produser.”

Nia hanya tersenyum.

”Aku tahu Aldi itu sombong dan banyak wanita yang suka padanya. Tetapi, itu risiko artis, ’kan? Entahlah. Aku masih menyukainya, Nia. Biarpun berkali-kali dia sudah menyakitiku,” ujar Rachel.

”Menurutku... di antara yang lain, kaulah yang paling pantas untuk dia,” ucap Nia.

”So sweet... eh, itu dia datang,” ujar Rachel.

Pagi ini Aldi tampil menawan dengan kaus dan jins belel-nya. Hani dan Amanda segera menghampiri bagai semut menemukan gula. Margi dan Toni memandangi mereka dari monitor yang ada di depan mereka.

”Bagaimana? Kira-kira siapa jagoanmu?” tanya Toni.

”Apa pendapatku penting? Kupikir, kaulah produser yang bisa menentukan segalanya sesuka hati,” sindir Margi.

”Karena aku berbaik hati, aku akan memberimu pilihan. Kau manajernya. Kau ingin image Aldi seperti apa?” tanya Toni lagi.

”Aku ingin dia tampil sebagai pria baik-baik. Karena, ada tawaran main film layar lebar yang cukup bagus untuk Aldi. Peran Aldi di situ sebagai pria alim dan pendiam. Jadi, ingin kubentuk karakternya yang cocok sehingga talent caster-nya memilih Aldi, karena image-nya sudah mendukung,” jelas Margi.

”Hmm... kalau begitu akan kupilihkan Rachel untuk dia,” ucap Toni, setelah berpikir beberapa detik.

”Pilihan bagus. Aku setuju,” jawab Margi.

”Tetapi, Rachel harus punya lawan yang tangguh,” ucap Toni.

Jelas itu bukan Hani, Amanda, atau Rini. Harus gadis yang sebanding. Yang baik dan juga yang sopan.

”Kau suka jalan sendirian malam-malam?” tanya Aldi.

Hampir setiap malam Nia jalan-jalan sendiri seperti malam ini. Hal ini tidak luput dari perhatian Aldi. Tampaknya Nia pun sudah terbiasa diikuti kamera tersembunyi ke mana pun dia pergi.

”Aku suka melihat bintang,” jawab Nia.

”Apa kita dulu pernah jalan di bawah bintang seperti ini?” tanya Aldi, pelan.

”Kita hanya pernah bersama selama seminggu dan hampir tiap malam kita ngobrol di bawah bintang,” jawab Nia.

”Kenapa saat itu kita putus?” tanya Aldi.

Nia hanya terdiam.

”Tolong, jawab aku,” paksa Aldi.

”Aku juga tidak tahu, tiba-tiba kau pergi begitu saja.”

”Oh,” Aldi jadi tidak enak hati.

”Apa begitu memalukan, ya, kamu berdampingan dengan orang miskin?” tanya Nia.

”Kamu bicara apa?”

”Padahal...,” Nia menghentikan ucapannya. ”Manusia paling sedih jika dilupakan.”

Aldi terdiam. Tiba-tiba Nia berhenti. ”Ada apa, Ni?” tanya Aldi.

”Aku... seperti melihat sesuatu,” ucap Nia perlahan.

”Kau... jangan macam-macam, dong.”

Nia tersenyum. ”Kau sudah besar masih takut hantu, ya?” ejek Nia.

”Enak saja, aku berani, kok. Dulu aku pernah casting peran utama di film Wewe Gombel II,” ucapnya.

”Lalu, kenapa tak jadi pemeran utamanya?” tanya Nia.

”Aku... aku... honornya tidak sesuai,” dusta Aldi.

Nia mencoba menahan tawa. Tiba-tiba Nia menghentikan tawanya. Dia terlihat memandangi sesuatu dengan pucat.

Aldi bergidik. ”Lihat apa kamu? Itu tidak ada apa-apa, ’kan?” tanya Aldi.

Nia terdiam, memandangi ke arah pepohonan besar yang gelap.

”Jangan bercanda, dong,” kata Aldi. Nia diam tidak bereaksi.

”Po... po...,” Nia terbata-bata, sambil menunjuk ke arah itu dengan tangan bergetar.

Aldi jadi merinding sendiri, lalu dia membalikkan badannya dan berlari meninggalkan Nia.


Penulis: Yenny Renati
Pemenang Penghargaan Sayembara Menulis Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?