Travel
Tertawan Banda

28 Feb 2014


Kepulauan Banda, Provinsi Maluku, yang terdiri dari Pulau Banda Neira, Banda Besar, Gunung Api, Rozengain, Pisang, Ay, Nailaka, dan Rhun ini menyimpan cerita sejarah yang kaya. Tak hanya itu, keindahan lautnya  membuat saya, Terry Endrosaputro, terpana sekaligus terharu.

Saksi Sejarah Bisu

Cerita soal Banda tak bisa lepas dari nama almarhum Des Alwi, sejarawan dan  tokoh asal Banda. Beliau mengumpulkan banyak catatan sejarah dan dokumen penting tentang Banda, mendirikan museum kecil, merawat rumah pengasingan tokoh nasional Indonesia, serta memperkenalkan Banda kepada dunia.

Salah satu yang beliau gagas adalah Rumah Budaya, berfungsi sebagai museum yang menyimpan sejarah dan budaya Banda. Terletak di Banda Neira, kota terbesar di Kepulauan Banda. Bangunan bergaya kolonial berhias pintu dan jendela besar berbingkai kayu ini jadi tempat pertama yang saya kunjungi.  
Lukisan bangsawan Banda yang dipayungi oleh pelayannya, tergantung di dinding seakan mengatakan selamat datang. Sebuah lukisan lain menggambarkan masa paling suram bagi rakyat Banda, hukuman penggal kepala yang terjadi pada tahun 1621.

Demi memonopoli perdagangan buah pala di Kepulauan Banda, Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menyewa samurai dari Jepang untuk memenggal kepala 40 orang kaya (bangsawan) Banda karena dianggap tidak mau bekerja sama dengan VOC. Lalu kepala mereka dipancang di Benteng Nassau sebagai peringatan (tepatnya paksaan) untuk menuruti kemauan VOC.  Setelah mendengar sejarah menyedihkan itu, saya malas melihat lukisan diri JP Coen yang bermuka angkuh berhias janggut terpajang di sisi lain dinding.

Meja-meja etalase kaca berisi koin-koin dan perhiasan kuno, rak-rak yang memajang miniatur perahu belang (kora-kora), beberapa foto perkebunan pala, dan lonceng perkebunan.  Bahkan saya sempat mencoba berfoto mengenakan topi pasukan cakalele lengkap dengan pedang dan tamengnya.

Di ruangan lain, ada satu set meja dan kursi tamu berlapis kain beledu  warna merah. Di atas meja diletakkan sebuah gramophone dan piringan hitam dalam kondisi amat baik. Saat engkolnya diputar terdengar sayup-sayup alunan lagu berbahasa Belanda. Langsung terbayang nyonya-nyonya Belanda  sedang duduk santai minum teh sore.
   
Dengan berjalan kaki dari Rumah Budaya, saya menuju sebuah lapangan tempat Parigi Rante, yang berarti sumur, yang dikelilingi rantai besi. Tempat yang dianggap keramat ini merupakan tempat para orang kaya membersihkan diri (berwudu) sebagai permintaan terakhir mereka sebelum dijatuhi hukuman penggal kepala.

Di belakang parigi, terdapat dinding dan pahatan nama 40 orang yang dihukum penggal kepala, disusul pembunuhan 600 rakyat Banda, termasuk wanita dan anak-anak (tapi dilaporkan sebagai endemik malaria), pengasingan 789 orang ke Batavia, pelarian 1.700 orang yang melarikan diri. Mengenaskan. Tenggorokan saya sampai tercekat membacanya.

Ternyata, Banda Neira adalah tempat favorit pemerintah kolonial Belanda membuang tahanan politik. Sederet nama, seperti Mohammad Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Sjahrir, dan Tjipto Mangunkusumo --yang bekas rumah pengasingannya masih dapat dikunjungi-- pernah dibuang di sana. Saya sempat merasa bersalah karena tidak mengenal nama dari 11 tapol lainnya, pasti tidak tercatat dengan benar di dalam buku pelajaran sejarah sekolah. Mereka dibuang dari Pontianak, Aceh, Semarang, Blitar, dan kawasan lainnya.

Di rumah pengasingan Bung Hatta, saya melihat papan tulis dan deretan bangku di bagian belakang rumah. Ini tempat beliau mengajarkan anak-anak setempat, bahkan sembunyi-sembunyi mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam bahasa Indonesia dan Arab. Begitu harum nama Bung Hatta dan Bung Sjahrir di sana, sampai-sampai nama Pulau Rozengain diganti menjadi Pulau Hatta, dan Pulau Pisang menjadi Pulau Sjahrir. Walaupun bukan masjid satu-satunya di Neira, Masjid Bung Hatta di dekat pelabuhan adalah masjid untuk mengenang jasa  Bung Hatta di Banda Neira.


Cerita dari Kebun Pala

Saat menjejakkan kaki di dermaga Lonthoir,  Pulau Banda Besar, 20 menit berperahu dari Banda Neira, tercium harum aroma buah pala. Di sinilah perkebunan pala terbesar di Kepulauan Banda. Untuk melihat pohon pala, saya harus melewati perkampungan, menaiki sekitar 360 anak tangga.

Yang menarik, di tengah perkampungan yang dikelilingi hutan itu terdapat sumur kembar yang istimewa, Parigi Lonthoir. Parigi ini, satu khusus untuk minum, satu lagi khusus untuk mencuci, mandi, dan semua kebutuhan rumah tangga. Di dinding sumur tampak ditumbuhi lumut dan rumput-rumput. Tapi, waktu ditimba dan air dituang ke gelas, luar biasa jernihnya.  Dingin, rasanya pun lebih segar daripada air mineral botolan.

Sumur ini dibersihkan tiap 7 tahun sekali. Prosesi cuci parigi ini dipimpin oleh Mama Lima, wanita pemuka adat yang akan memasukkan kain gajah (kain putih sepanjang 99 meter).  Kain dimasukkan ke dalam sumur, air sumur pun akan terserap masuk ke dalam kain hingga sumur kering. Kemudian kain gajah digotong oleh para wanita ke pantai untuk dibersihkan, lalu dicuci beramai-ramai sampai bersih. Boleh percaya boleh tidak, persis saat kain tersebut sudah bersih, sumur pun mendadak terisi kembali. 

Tak jauh dari sumur, saya masuk ke perkebunan pala. Sebuah rumah bekas tempat  pengasapan pala sudah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Tak jauh dari situ terdapat 3 pohon kenari raksasa. Di bawahnya tumbuh pohon-pohon pala. Buahnya  tampak menggantung di sana-sini, tapi belum boleh dipetik sampai benar-benar matang dan jatuh ke tanah. Saya datang di saat musim panen pala. Di beberapa rumah, saya sempat melihat proses memecah buah pala dan kenari. Kita bahkan bisa langsung membelinya. Kalau Anda beruntung dan cermat, Anda masih bisa menemukan koin-koin kuno di perkebunan pala, sisa-sisa peninggalan Belanda.


Dari Pulau ke Pulau

Paduan pulau-pulau kecil dan palung dalam Laut Banda membuat banyak situs menyatakan Kepulauan Banda sebagai salau satu spot diving terbaik di dunia. Jacques Cousteau, ahli kelautan yang kondang, juga pernah berkunjung ke sana.
Bila ingin mencoba discovery dive, di Banda Neira terdapat beberapa dive center sebagai pilihan.

Belum berani diving? Tidak masalah. Dengan ber-snorkeling pun saya jamin sudah bahagia sekali bisa melihat alam bawah lautnya. Pulau Sjahrir, Pulau Hatta, lava flow Gunung Api, Pulau Banda Besar, Pulau Naylaka, Pulau Ay, dan   pulau lainnya punya terumbu karang yang berbeda. Terumbu karangnya memang luas memanjang. Dan, jangan kaget kalau tiba-tiba terumbu ‘hilang’ turun ke bawah, dan palung ribuan meter sudah menganga. Nah, itu bagian para penyelam ahli.

Pulau terjauh adalah Pulau Ay, Rhun, dan Nailaka. Gelombangnya keras menggoyang perahu yang membawa saya. Sesekali, saya juga cermat melihat ke laut, berharap saya bisa menjadi orang pertama di perahu yang bisa teriak, “Lumba-lumbaaa!”  Ini adalah ‘perlintasan’ lumba-lumba. Ratusan ikan imut itu berenang berloncatan, sesekali ada yang berenang di haluan perahu. Girangnya bukan main ketika saya benar-benar melihatnya. Saya pun lupa dengan gelombang besar yang  tiap saat  ‘menghajar’ perahu.

Setelah 5 menit berperahu dari Pulau Banda Neira, saya sampai di kaki Gunung Api. Bahkan, kalau Anda kuat, bisa dicapai dengan berenang. Gunung Api itu menjulang 656 meter di atas permukaan laut. Lerengnya jauh menjorok ke dalam palung bawah Laut Banda. Terakhir  meletus tahun 1988, gunung ini masih aktif hingga sekarang. 

Pendakian umumnya memakan waktu 2 jam untuk sampai puncak dan 2 jam lagi untuk turun gunung. Ini bagi yang sudah terbiasa naik-turun gunung. Walau didampingi guide, perjalanannya tak bisa dianggap enteng. Jalan setapaknya berkerikil tajam. Sekali melangkah, dua langkah mundur. Alhasil, setelah 3,5 jam barulah pendaki awam seperti saya sampai di puncak.

Saya mendapat pesan untuk tidak gegabah mendekati bibir kawah, karena masih sering terjadi longsor di sana-sini. Dari sini tampak pemandangan Kota Banda Neira, Pulau Banda Besar, Pulau Syahrir,  dan Laut Banda. Landscape memukau yang membuat saya malas turun.  Apalagi perjalanan menuruni gunung terasa lebih sulit. Kerikil yang labil bikin langkah terpeleset, bahkan jatuh terguling. Cara yang aman ternyata jongkok, lalu merosot ke bawah.

Setelah sampai di perahu, untuk menyeberang ke Neira, saya baru tahu bagian belakang celana saya robek-robek, ha…ha…ha…. Saya jadi ingat lagu anak-anak: ‘Nenek moyangku orang pelaut…!’  Bukan pendaki gunung.

Ini Baru Seru!
  1. Oktober-Desember adalah bulan terbaik ke Banda Neira.
  2. Kepulauan Banda bisa dicapai melalui Ambon.
  3. Beberapa alternatif transportasi untuk mencapai Banda: Kapal Pelni (dari Ambon) merapat di Banda Neira 2 minggu sekali. Pesawat perintis (jadwal 3 kali seminggu), bila tidak dibatalkan karena cuaca atau tiba-tiba ada kunjung an pejabat atau Menyewa kapal.  
  4. Jalan kaki adalah cara paling menyenangkan untuk menikmati suasana Kota Banda Neira dan merasakan keakraban masyarakat setempat.
  5. Angkutan umum yang tersedia adalah ojek (di darat) dan perahu antarpulau.
  6. Restoran di sana penganut ‘slow cooking’. Datanglah ke restoran dan pesan makanan sebelum rasa lapar mendera.
  7. Saat kapal PELNI merapat di pelabuhan, mendadak ada pasar kaget. Semua makanan dijual di situ, mulai dari kasuami, ikan bakar, dan bermacam kue tradisional. Ketika kapal angkat sauh, pasar kaget langsung bubar.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?