Fiction
Terdakwa [6]

27 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Aku menunggu hasil pemeriksaan keterangan Wile. Detektif swasta itu, Bob, menjalankan langkah demi langkah dengan hati-hati. Ia menunjukkan kepada juri bon laundry. Juga bon sebuah wig hitam yang ditata menyerupai potongan rambutku. Wig itu diketemukan di antara barang-barang milik Gloria di rumah di Hendersonville. Pegawai laundry mengaku bahwa ia disogok agar mau ‘meminjamkan’ gaun itu oleh wanita cantik yang mengenakan kacamata hitam dengan rambut merah berbando. Ketika akhirnya Bob memanggil Gloria untuk memberi kesaksian, aku hampir yakin diriku akan terbebas. Penantian yang terasa begitu panjang, ketidakpastian mengenai hidupku, semuanya begitu menyiksa.

Akhirnya pengecekan ulang dilakukan terhadap kesaksian Wile.

”Mr. Wile, Anda bersaksi bahwa wanita yang menemui Anda, yang menurut Anda adalah Nyonya Pearson, terus menunduk selama berbicara dengan Anda. Bagaimana Anda yakin kalau dia adalah Nyonya Pearson?”

”Well… benar, saya tak betul-betul melihat wajahnya. Tetapi rambut dan gaun yang dikenakannya sama.”

”Rambut dan gaun. Mungkin saja kan rambut itu wig, Mr. Wile?”

”Well, ya …, tapi …”

”Dan gaun itu – wanita lain juga bisa mempunyai gaun yang sama kan?”

”Ya, mungkin.”

”Apakah Anda pernah benar-benar melihat wajah Nyonya Pearson selama berbicara dengannya saat itu?”

”Well… saya tidak tahu. Seperti saya bilang, saya berusaha untuk tak menatapnya. Karena persoalan yang dihadapinya.”

”Benar,” kata Bob. ”Anda bilang begitu, kan?”

Bob terdiam sejenak, melihat catatannya. Terence Wile memandangnya. Pipinya memucat dan bibirnya gemetar. Ketika Bob mengangkat kepala, Wile berkata, ”Saya tak bermaksud buruk. Polisi bertanya apakah wanita itu beliau dan saya bilang ya. Maksud saya, saya tak tahu kalau saya harus benar-benar yakin tentang hal tersebut.”

”Keberatan!” kata jaksa penuntut.

Tetapi Terence Wile mengabaikannya, mengabaikan hakim, mengabaikan siapa saja. ”Maksud saya, kelihatannya aneh, kenapa beliau terus menunduk, sepertinya beliau menyembunyikan wajahnya.”

”Mr. Wile,” kata hakim.

”Saya harus bagaimana? Apa mesti bertanya, ‘Apakah Anda benar-benar Nyonya Pearson?’ Tak mungkin, kan?”

”Mr. Wile, saya tak menanyakan ….”

Laki-laki yang gugup itu menyeka mulutnya dengan tangannya yang gemetar. ”Saya takut. Sebelum inipun saya bertanya-tanya dalam hati, Apa betul, itu dia? Maksud saya, ini berkaitan dengan semua uang itu! Juga kemudian pembunuhan. Dan polisi pun mengajukan banyak pertanyaan. Saya tak bisa bilang ‘Oh ya, mungkin saya memberikan uang sebanyak itu kepada orang yang salah’ Saya berusaha meyakinkan diri bahwa wanita itu memang dia. Saya tak bermaksud berbohong.”

Tiba-tiba senyap.

”Cukup. Mr. Wile,” kata hakim tegas.


Kebisuan menyergap setelah Vicki Pearson selesai berbicara. Wartawan yang menginterviunya begitu gembira dikirim ke Italia selatan untuk menjalankan tugas itu. Ia tersenyum dan bertanya, ”Dan selanjutnya?”

”Aku divonis tak bersalah,” sahut Vicki sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

”Dan mewarisi ….” Si wartawan menunjuk vila dan pantai di hadapan mereka.

”Well ….” Kata Vicki, ”Leonard dan aku sama-sama membangun bisnisnya selama bertahun-tahun. Dan aku yakin, kalau ia masih hidup, ia pasti akan kembali padaku.”

”Apakah Anda kecewa karena Gloria tak menjalani hukuman?”

”Tidak. Aku yakin, dimanapun ia sembunyi, ia merasa tersiksa.”

Setelah wartawan itu berlalu, Vicki Pearson duduk sendirian di beranda dan memandangi pantai. Ia berusaha melihat kekasihnya di kejauhan namun laki-laki itu mengejutkannya dari belakang

”Sudah pergi?” tanyanya.

”Mmm,” sahut Vicki.

Diciumnya kepala Vicki, kemudian duduk disebelahnya.

”Aku tak mengerti kenapa kau mau bicara dengan mereka. Kau kan sebal dengan pers.”

”Aku tahu. Tapi aku juga suka,” jawab Vicki. ”Sekarang berbeda.”

Laki-laki itu menggodanya, menirukan gaya bicaranya kepada pers. ”’Aku sangat penakut! Suamiku meninggalkanku dan aku tak tahu apa yang mesti kulakukan!’”

”Oh, Terence, hentikan,” kata Vicki sambil tertawa. ”Itu memang benar.”

”Memang benar!”

”Ketika laki-laki itu, Durkheim, masuk ke rumahku, benar-benar menakutkan.”
”Pasti,” kata Terence. ”Itu satu-satunya hal yang mengejutkanmu. Lainnya sudah terencana.”

”Tidak. Bagaimana dengan perempuan itu, Amelia? Kau pikir aku berencana agar dipukulnya?”

”Tentunya tidak,” jawab Terence.

”Well, ada kejutan-kejutan diluar dugaan. Pasti kau sudah lama merencanakannya, sebelum ia meninggalkanmu. Mungkin bahkan sebelum ia bertemu wanita itu.”

Vicki menghempaskan pundak, ”Well, wanita itu bagian yang tak terhindarkan.”
Terence kembali meniru gayanya, ”’Jadi kuputuskan untuk menyuruh orang membunuhnya. Tapi aku pasti akan ditangkap, kan? Aku jelas-jelas sebagai tersangka satu-satunya. Perlu rekayasa. Aku tahu caranya! Biarkan mereka menangkapku, dan ketika semua orang yakin akulah pembunuhnya, kemudian terbukti bahwa aku dijebak!’”

Vicki mengayunkan tangannya, ”Terence, ssssttt.”

Dua kekasih itu duduk terdiam.

”Perjalanan yang panjang, Vicki,” gumamnya. ”Kau benar-benar berani.”

”Aku harus membuatnya sedemikian rupa. Kalau aku langsung menjebak Gloria, polisi dan pengacara akan langsung tahu bahwa ia dijebak. Dengan cara ini, setelah selesai maka persoalan benar-benar dianggap selesai. Tak terpikirkan oleh mereka untuk mengecek apakah aku membeli wig untuk dipakai ketika menyogok pegawai laundry, atau dari mana kau mendapat rujukan untuk bekerja sebagai pegawai bank. Kalaupun Gloria punya motif untuk membunuh, orang akan berpikir bahwa ia takut Leonard kembali kepadaku dan ia tak mendapat apa-apa.”

”Well, setiap kekasih punya motif, apapun bentuknya,” kata Terence. ”Coba lihat aku, aktor lugu yang dirayu memasuki dunia kejahatan.”

”Ya,” sahut Vicki. ”Dan betapa menderitanya kau, begitu kah?”

”Hei,” sahut Terence, ”Aku kan tak pernah mengeluh.”

”Tidak.” Vicki meletakkan tangannya di paha Terence. ”Kau luar biasa. Kau begitu sempurna.”

Vicki menatap pasir pantai. ”Segalanya begitu sempurna,” katanya. ”Benar-benar sempurna.” (TAMAT)


Penulis: Andrew Klavan



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?