Trending Topic
Teguh Karya, Right Man in the Right Time

10 Jan 2016

Meski kualitas karya-karyanya tak diragukan lagi, Teguh juga muncul di kondisi yang tepat ketika perfilman Indonesia sedang di masa jayanya, yaitu di tahun ’70 hingga ’80-an. Antusiasme masyarakat terhadap sinema Indonesia saat itu juga terbilang tinggi. Kombinasi antara karya yang bermutu, kondisi yang tepat, dan pasar yang siap   makin mendongkrak popularitas film-film Teguh Karya.
  
 Kondisi itu jelas berbeda dengan saat ini. Kini, film tak hanya bisa dinikmati di bioskop, tapi juga melalui televisi, DVD, atau bahkan YouTube. “Dulu, orang pergi ke bioskop dengat niat utama menonton film. Aktivitas lain seperti makan atau minum di kafe adalah gimmick yang biasanya dilakukan usai nonton di bioskop,” ujar Satrya.
  
 Berbeda dengan kondisi sekarang, menonton bioskop hanya menjadi aktivitas tambahan setelah kegiatan hang out di kafe atau coffee shop, makan di restoran, maupun shopping. Hal itu ditandai dengan  makin banyaknya gedung bioskop lokal yang tutup dan berganti dengan jaringan bioskop yang berlokasi di dalam mal. Menyedihkan memang ketika melihat aktivitas menonton kini hanya jadi bagian dari gaya hidup nge-mal. Terlebih lagi, kini ada lebih banyak pilihan film asing selain Hollywood, sebut saja film dari Eropa, Korea, Thailand, India, dan Cina.

    Kondisi tersebut, menurut Satrya, turut membentuk karakter penonton zaman sekarang. Dari perspektif industri, Satrya pun mendefinisikan penonton film di Indonesia zaman sekarang menjadi 2 bagian: penonton gaya hidup dan penonton sejati. Penonton gaya hidup adalah mereka yang menonton film hanya untuk bersenang-senang, sedangkan penonton sejati yaitu mereka yang benar-benar mengapresiasi dunia film, sehingga mereka selalu haus akan tontonan berkualitas.

    “Penonton zaman sekarang tak bisa dipaksa untuk menonton atas nama mencintai produk dalam negeri. Mereka akan nonton dengan dua alasan, menyukai filmnya atau hanya ingin refreshing,” ujar Satrya. Karena itu, Satrya menilai, akan sulit untuk mengembalikan budaya menonton masyarakat Indonesia seperti pada tahun ’70-’80-an dulu. Era tersebut memang menjadi masa terbaik dunia perfilman Indonesia, dan Teguh adalah salah satu sineas yang membuat sinema tanah air bergerak maju.
 
  Salah satu film arahan Teguh yang banyak dipuji kritikus adalah Ibunda. Film yang dibintangi oleh Tuty Indra Malaon, Alex Komang, Ayu Azhari, Ria Irawan, dan Niniek L. Karim ini sukses mengantongi 9 piala Citra, termasuk untuk kategori film, sutradara, skenario, editing, dan aktris terbaik.

    Bagi Bobby Batara, pengamat dan wartawan film, Ibunda adalah film cerdas yang berhasil memadukan plot, dialog, sisi artistik, pemain, dan sinematografi apik menjadi sebuah tontonan hebat. “Ada salah satu scene yang isinya orang-orang berseliweran di satu tempat, namun saling berbicara dalam waktu bersamaan. Jarang ada sutradara yang berani memainkan scene seperti itu. Bagi saya, itu adalah adegan hebat,” cetus Bobby.
 
   Kepiawaiannya dalam menggarap film dan tangan dinginnya yang berhasil menelurkan bakat-bakat besar berpadu harmonis dengan kondisi perfilman lokal yang kala itu tengah berjaya. Sutradara dan pendiri Teater Populer ini memang merupakan the right man in the right place.

    Diakui Olga, sudah saatnya FFI mengangkat Teguh Karya sebagai ikon, mengingat banyak film karyanya yang memberikan warna berbeda bagi dunia perfilman nasional. “Saya rasa, dengan mengangkat keberadaan film-film Teguh Karya dalam FFI tahun ini, masyarakat bisa makin mengenal sosok sutradara legendaris itu,"  tutup Olga. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?