Fiction
Tarian Merpati [8]

15 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Dan Meilana yang malang. Tubuh kurusnya meringkuk di ujung tempat tidur Narti. Mata sipitnya berkaca-kaca dan tatapannya nyaris memohon, serupa sorot mata seorang bocah yang ingin berlindung dari gangguan seorang teman yang jail. Betapa ingin kupeluk tubuh itu. Aku tahu tubuh itu telah terlalu lelah. Tubuh itu lelah kepada prasangka. Setiap orang menyangka dia anak pengusaha kaya raya. Padahal, papinya hanyalah pemilik toko kelontong kecil, motor butut pengantar galon air minum, dan rumah bertingkat dua yang bocor ketika hujan.

“Neng…!” Narti menghampiriku, berlari. Rambut ekor kudanya dihempaskan angin.

“Orang-orang itu memaksa masuk! Mereka menggedor-gedor pintu gerbang”

“Aku bilang, jangan bukakan pintu!” Narti tersentak, lalu katanya, “Saya nggak bukain, kok. Mereka masih di luar, tapi terus menggedor-gedor….”

Kututup pintu kamar Narti, “Kunci pintunya,” bisikku pada Vonna dan Meilana yang meringkuk ketakutan di sudut.

Siapa yang berani memaksa memasuki rumah ini? Bapak adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani. Orang-orang itu, mungkin tak bernama. Mungkin mereka berasal dari sebuah dunia yang asing. Karenanya, mereka tak lagi punya identitas. Mereka tak punya batas-batas, apalagi rasa hormat.

Di luar, pintu gerbang setinggi hampir tiga meter berderak-derak. Bunyi dentamnya nyaring membelah siang. Narti berdiri tegang di sebelahku, bersembunyi dalam gelap kaca jendela. Jendela kaca ini memisahkanku dengan beranda, memberiku rasa aman sementara. Tetapi, tampaknya tidak lama. Lihatlah! Satu, dua, tiga, laki-laki bertubuh tegap memanjat tembok pembatas rumah, menginjak-injak sirih belanda milik Mama yang menjuntai anggun. Tidak! Orang-orang itu berlompatan seperti percikan api, merah oleh luapan amarah.

“Neng…,” desis Narti ketakutan.

Kurang ajar! Siapa mereka? Wajah-wajah mereka gelap, berminyak, dan tak kukenal. Benar saja. Mereka pasti terlontar dari suatu ceruk di perut bumi. Kaki-kaki mereka telanjang dan berdebu. Telapak-telapak yang tebal oleh panas dan rasa sakit. Mereka mungkin tak mengenal bahasa.

“Sialan! Apa yang mereka cari?”

“Mereka nggak tahu ini rumah siapa…,” bisik Narti.

Orang-orang itu mengayun-ayunkan kelewang, memukul-mukulkan kayu dan besi ke dinding. Lantai serasa bergoyang. Aku mundur, mencari sandaran. Dan pintu terbuka dengan sekali dobrak. Tiga laki-laki menerobos masuk, mata mereka nyalang, seperti serigala lapar.

“Mana perempuan-perempuan itu?” seorang laki-laki bersuara, nyaris menggeram. Aroma alkohol meruap dari celah giginya yang menguning. Aku mundur, dan terus mundur, hingga tanganku menyentuh dinding. Kerumunan laki-laki bertambah banyak di ambang pintu. Mereka lalu bergerak bagai kesetanan. Menendang guci keramik Mama, melempar vas kristal, menginjak-injak karpet dengan sepatu mereka yang kelabu oleh debu.

“Mencari siapa kalian?” aku memberanikan diri bertanya, meskipun suaraku bergetar.

“Kamu sembunyikan di mana perempuan-perempuan tadi? Mereka masuk ke sini, ‘kan?” salah seorang laki-laki itu mencoba meraih daguku. Sekilas telapak tangannya tampak kasar dan tebal kehitaman. Raut mukanya menyeringai. Dan aku dapat melihat, air liur menetes dari sudut bibirnya yang tebal. Cepat kupalingkan muka dengan jijik.

“Sudah, garap aja, Man…. Meskipun nggak putih, dia montok juga. Lumayan….” seorang laki-laki gemuk berseru sambil mondar-mandir di depan teve. Ada yang bergolak di dalam perutku. Rasanya aku ingin muntah. Dua orang laki-laki lainnya berjalan ke arah beranda belakang, mendobrak setiap pintu, memecahkan setiap jendela. Dadaku berdebar. Vonna dan Mei!

“Jadi kamu mau membela teman-temanmu itu, ya?” laki-laki yang berdiri di dekatku itu mendesis, dengan bau busuk mulutnya yang membuatku mual. Tiba-tiba dia meraih selendang tenun yang melilit sofa, dikibaskannya, dan didorongnya aku ke belakang. Aku terjengkang sejenak, dan meronta. Memang sulit untuk mencoba bangkit dalam kengerian, tapi aku takkan menyerah. Dia mendorongku lebih keras, dan aku terbanting. Betapa ingin kutampar mukanya yang mengilat dan berjerawat, namun aku hanya bisa meludahinya. Dia tersentak. Mukanya memerah karena amarah yang bangkit. Dia meraih tanganku, dan menyeretku ke sebuah kursi. Diikatnya tanganku di kaki kursi itu, lalu kakiku.

“Duduk manis di situ, lalu lihat apa yang bisa kami lakukan kepada teman-temanmu. Kamu pikir kamu bisa menolong mereka? Rasakan akibatnya kalau berteman dengan mereka. Kamu akan menyesal seumur hidup!”

Aku meludah lagi. “Cuh…! Kamu yang menyes….” Laki-laki itu, amarahnya seketika memuncak. Tangannya bergetar ketika membekap mulutku. Kakiku yang terikat menendang-nendang ruang kosong. Tanganku yang meronta menggoyang-goyangkan kursi, hingga riuh entakannya seirama gemelutuk tulang di lutut dan sikuku. Kulihat Narti. Kaki dan tangannya terikat di sebuah kursi yang lain. Mulutnya pun dibekap, hingga aku hanya dapat melihat matanya yang sembap.

Gemerincing kaca dipecah. Badanku lemas oleh beban yang seketika tertumpah. Aku tahu, mereka telah menemukan Vonna dan Mei. Suara pukulan dan tendangan terdengar dari sebuah sudut. Rupanya Vonna melawan. Dan Mei, aku hanya mendengar isak tangisnya.

Namun, siapakah yang mampu melawan kekuatan laki-laki yang begitu perkasa? Dua, tiga laki-laki menyeret Vonna dan Mei. Mereka membawa Vonna dan Mei ke kamar. Ketika melewatiku, Mei memandang ke arahku. “Rey… Rey,” rintihnya. Mataku terpejam. Seandainya aku tak punya penglihatan dan pendengaran hari ini…. Karena berikutnya, yang kudengar hanyalah rintih dan isak tangis. Vonna, suaranya tak kudengar sedari tadi. Mungkin dia pingsan. Dan Mei, erangan kesakitannya masih menjadi bagian dari mimpi-mimpi burukku hingga kini. Kerumunan laki-laki masuk ke kamar bergantian. Mungkin enam, atau tujuh, aku tak peduli. Yang kulakukan hanyalah berpura-pura bisu, tuli, dan tak punya nurani.

Tetapi, sebuah derap langkah perlahan menghampiri pintu. Kutegakkan tubuh. Mungkinkah itu malaikat? Namun ternyata… Adrian! Dia bersembunyi, menempelkan badan di sisi lemari. Nekat sekali! Kugerakkan kepala, menyuruhnya pergi, namun dia meletakkan telunjuknya di bibir. Gila! Apa yang akan dilakukannya?

Semua laki-laki itu tengah berpesta-pora dalam puncak limpahan adrenalin. Mereka bisa melakukan apa saja seandainya terganggu. Mereka begitu buas, begitu beringas. Tetapi tunggu, ini adalah kesempatanku untuk melarikan diri. Namun… dengan Vonna dan Mei tergeletak di sini? Aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kugerakkan kepalaku sekali lagi. Namun, Adrian tetap di sana. Dengan isyarat tangannya, dia berkeras mengajakku pergi. Kulirik Narti yang termangu memandangku, menunggu.

Baiklah, ikatan selendang ini harus kulepaskan diam-diam. Sedikit demi sedikit, ikatan itu terurai. Sedikit lagi, dan tanganku akan bebas. Namun, aku terlalu bersemangat, dan… braak! Kursi itu terjatuh. Seorang laki-laki yang tengah mengancingkan celananya memandang marah kepadaku. Dihampirinya aku dengan wajah tertekuk, dan setelah dilihatnya lilitan selendang di tanganku yang terburai, sumpah serapahnya meluap. Ditendangnya kepalaku, dan aku tersungkur. Begitu ingin kuludahi mukanya, tetapi aku begitu tanpa daya. Darah mengucur dari hidungku ketika laki-laki itu bersiap akan mendaratkan tendangannya di tubuhku. Aku menatapnya dengan benci. Namun, pada detik berikutnya, sekelebat bayangan menerpanya. Adrian! Dia menyerang laki-laki itu dari belakang. Laki-laki itu berteriak. Beberapa orang laki-laki berwajah buas berhamburan dari dalam kamar. Kupejamkan mata. Adrian, jangan konyol! Suara dentam dan pukulan mengepungku. Mungkin sebuah pertempuran terjadi di luar sana, dan aku lebih suka melihat gelap. Tubuhku serasa dihantam sebongkah balok es. Aku menggigil.

Ketika senyap, mereka melepas ikatan di kakiku, tangan, dan mulutku. Dengan sudut mata, kulihat Adrian terikat, terkulai dengan darah mengalir dari celah bibir dan kepalanya. Matanya terpejam, namun aku yakin dia menyaksikanku.
Mereka melucuti bajuku satu per satu, menarikku, lalu membantingku di balai-balai jati itu. Balai-balai Mama, balai-balai yang dipersembahkan dengan segenap cinta. Aku berontak, mencoba bangkit. Namun, tiga pasang tangan kekar memegangiku sangat kuat. Mereka tak berbusana.

“Adrian… Adrian,” rintihku penuh harap. Dia tetap diam, terkulai. Setetes air mengalir di sudut matanya. “Kalian biadab!” semburku, tepat di wajah seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di pelipisnya. Detik berikutnya, sebuah bantal tenun membekap mulutku. Aku meronta-ronta, dan salah satu tangan kekar itu membenturkan kepalaku. Gelap, dingin. Aku terisap dalam labirin.(TAMAT)


Penulis: Sofie Dewayani
(Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber Femina 2002)




   


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?