Fiction
Tanggul Kali Bedog [5]

21 May 2012

<< cerita sebelumnya

Di kepala Heru gambar itu berulang lagi dengan jelas, seperti film lama yang diputar kembali dalam gerakan slow motion.

Hampir saja dia tak berhasil membawa putrinya pergi. Selama ini, gadis kecil itu diasuh oleh keluarga ibunya, menjadi kesayangan mereka. Diperlukan usaha, diplomasi, setumpuk argumentasi, hari-hari melelahkan, untuk meyakinkan keluarga mertuanya. Dalam hati Heru sudah memastikan tak akan meninggalkan Dili tanpa putrinya. Hingga akhirnya, semata-mata karena mereka sangat mengkhawatirkan keselamatannya di tengah situasi yang kian memanas dan nyaris tak terkendali itu, keluarga Hesti rela melepaskan cucu mereka, untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran sang ayah.

Hari esoknya masih tanda tanya. Apakah dia akan kembali bekerja, atau sambil duduk mengkhayalkan masa lalu, yang kini serupa mimpi? Apakah dia akan menerima gaji buta, menjadi parasit tak berguna yang seharusnya memusnahkan diri sendiri? Atau, lebih buruk lagi, akhirnya menjadi salah satu di antara jutaan penganggur, tanpa penghasilan, tanpa kepastian, tanpa rasa percaya diri.

“Aku beruntung sudah mendapat penugasan lagi di sini. Banyak sekali di antara kami yang masih harus menunggu tanpa kepastian masa depan, entah sampai kapan,” Heru mengakhiri ceritanya dengan satu tarikan napas panjang. Sesaat dia memandang ke dalam dirinya, heran pada kesanggupannya menceritakan semua itu.

Di sampingnya, suara napas Ana terdengar halus menembus gemerisik batang-batang padi dan arus air yang mengalir tenang. Wanita itu tidak menyela ceritanya. Kediamannya saat menyimak kata-katanya, ketenangan sikapnya, memberi Heru keberanian untuk tidak berhenti. Lalu, dengan agak terkejut dia mendapati dirinya merasa lega. Seakan, sesuatu yang sudah sejak lama mencari-cari udara segar, tiba-tiba menemukan jalan keluar, mengalir dengan tenang dan lembut meninggalkan dirinya.

Anehnya, semua itu tidak terasa mengada-ada, atau membuatnya merasa canggung.

“Aku senang kau ditugaskan di sini,” kata Ana.

Sesungguhnya, dia ingin berkata, ”Kau telah melewati saat-saat yang berat.” Namun, karena suatu alasan yang ia sendiri tak mengetahuinya, dia merasa kata-kata itu tidak cocok diucapkan untuk Heru. Secara samar-samar dia pun bisa merasakan bahwa Heru tak menghendaki kata-kata semacam itu.

Entah kenapa, meski Ana yakin Heru telah menghadapi saat-saat sangat berat, dia tidak memandang pria itu sebagai orang yang patut dikasihani. Dia sama sekali tak kelihatan menderita. Dia kuat. Begitulah kesan Ana ketika berdiri di sebelahnya, mendengarkan suaranya yang tenang dan dalam, mengalir bersama arus Kali Bedog, pada suatu sore berawan di akhir bulan November.

Heru mengangguk. “Aku pun merasa begitu. Desa ini kecil dan sepi, tapi…,” dia memandang berkeliling, “punya kepribadian.”

Punya kepribadian. Ana memikirkan sejenak kata-kata Heru itu, sambil berusaha memahami artinya. Meski tak begitu jelas, dia seperti bisa menangkap maksudnya. Dia menghela napas.

“Terima kasih,” ucap Heru tiba-tiba.

Ana terkejut. “Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Mendengarkan keluh-kesah orang asing dan omong kosong lainnya. Mungkin agak membosankan.”

“Tidak. Sungguh, tidak,” sahut Ana cepat. “Lagi pula, aku tidak mendengarmu berkeluh kesah atau omong kosong. Aku senang bisa bicara denganmu seperti ini. Sungguh.”

“Jika benar begitu, percayalah, aku lebih senang lagi. Membicarakan sesuatu dengan perasaan bebas, dengan cara yang paling kita sukai dan di tempat yang kita sukai, rasanya sangat nyaman.” Dia kelihatan agak malu, seperti kelepasan mengatakan sesuatu yang seharusnya tak usah dikatakan.

Nyaman? Itukah kata yang tepat? Ana mengembuskan napas.

Dengan agak lambat Heru melanjutkan, “Meski yang kita bicarakan hanyalah hal-hal yang tak penting sama sekali.”

“Aku tak pernah membicarakan hal seperti ini sebelumnya.”

“Hal seperti ini?” ada nada tak mengerti dalam suara Heru.

“Segalanya tentang pelangi, makhluk hidup yang bukan sekadar preparat, hal-hal yang kita bicarakan tadi. Apalagi, di tempat…,” dia memandang berkeliling, “di tepi sungai.”

Heru seperti diingatkan sesuatu. Dengan sedikit menoleh, dia memerhatikan wanita di sampingnya. Dia hampir lupa siapa Ana sebenarnya. Seseorang yang tak akrab pada masa lalu, yang kebetulan dijumpainya lagi sebulan lewat, yang sebetulnya sama sekali tak dia kenal. Hari ini tak sengaja mereka bertemu di tanggul Kali Bedog. Entah bagaimana, pembicaraan tak lagi seputar cuaca atau kabar para tetangga. Benarkah Ana datang untuk melihat pelangi? Dari tubuhnya samar-samar tercium aroma kue yang sedap. Bau rumah yang nyaman. Sesuatu yang... sulit diungkapkan.

Heru menggeser pandangannya ke seberang sungai. “Aku pernah, tapi memang bukan di tepi kali,” dia mengakui.

“Bukankah ini menyenangkan?” Dan, sekali lagi Ana terkejut oleh pendapatnya sendiri.

“Kurasa begitu.”

Keduanya menoleh. Lalu, tanpa pretensi apa pun, kecuali persetujuan atas kesimpulan yang telah mereka sepakati bersama, mereka saling melempar senyum.

Masih tersenyum, Ana menunduk. Dia ingin memberikan sebuah komentar. Namun, keheningan yang menyertai senyum mereka terlalu indah untuk dipecahkan. Saat itu dia melupakan apa pun, kecuali kenyataan bahwa dia ada di sini, bisa merasakan perasaan itu dan merasa bersyukur karenanya.

Heru memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Seperti biasa, kesunyian menenteramkan hatinya. “Lain kali, mungkin kau bisa menemukan pelangi,” katanya kemudian.

Ana sudah lupa sama sekali soal pelangi. Meski begitu, dia mengangguk. Tak soal apakah Heru melihat anggukannya atau tidak. Angin masih berembus. Dia ingin membuka ikatan rambutnya dan membiarkannya lepas seperti perasaannya. Roknya terasa menyapu menggelitik betis, rerumputan lembut dan arus Kali Bedog mengalir tenang seperti kemarin. Dia menghela napas panjang.

“Kenapa?” tanya Soni sekonyong-konyong.

Ana tersentak. “Kenapa?” ulangnya, bingung.

“Kau melamun.”

Ana memandangi apel di tangannya, yang baru separuh terkupas.

“Ah, cuma soal Mbak Indah,” dia berbohong. “Dia mengajakku ikut senam. Aku belum memutuskan ikut atau tidak. Padahal, besok latihan pertamanya.”

Soni melipat korannya. “Berapa biayanya?”

Ana menyebut angka yang samar-samar diingatnya. Sebenarnya, dia tak terlalu berminat. Lagi pula, kecil kemungkinan Soni setuju, mengingat jumlah yang harus dibayarkan. Dia sudah memutus­kan untuk berkata tidak, kalau Mbak Indah menanyakannya besok.

Reaksi Soni seperti yang diduga, “Mahal sekali.”

Ana mengangkat bahu. Dia bersiap kembali pada apelnya, namun kata-kata Soni kemudian membuatnya berhenti.

“Yah, kalau kau ingin, ikut saja, asal tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Zaman sekarang tak ada yang murah memang.”

“Kau tak keberatan aku ikut?” tanyanya, keheranan. Ini lain dari Soni yang biasanya. “Tapi, biayanya besar.”
“Nanti kutambah uang belanjamu.”

Korannya sudah terlipat rapi sekarang. Dia mulai meraba-raba, mencari rokok dan koreknya. Ana mengambilnya dari bawah meja, lalu mengangsurkan pada suaminya. Dia tak pernah berhasil mengir. Padahal, pekerjaan selalu menuntut pemikirannya. Jadi, kalau Ana masih mengharapkan uang belanjanya, biarkan dia merokok. Terpaksa Ana menyediakan sebuah asbak di rumahnya. Dia hanya dapat memerhatikan dengan kesal, melihat asap yang melingkar-lingkar keluar dari mulut suaminya.

Soni mengisap rokoknya pelan-pelan, lalu mengembuskannya menjauhi Ana. Dia tahu semua tentang bahaya merokok dan akibatnya bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Tapi, dia tak mau terjerumus dalam debat kusir itu lagi.

“Aku dikirim untuk mengikuti penataran di Bogor.”

Sekali lagi Ana tertegun. “Penataran? Kapan? Berapa lama?”

“Enam minggu. Senin depan mulai.”

“Mengapa mendadak sekali?”

“Sebenarnya, tidak. Aku lupa mengatakannya padamu.”

Ana menimbang-nimbang. Soni telah memutuskan. Pemberitahuan tadi hanya pengumuman, bukan permintaan persetujuan. Biasanya juga begitu. Biasanya dia pun tak mempermasalahkan. Paling dia akan mengomel, karena harus tergesa-gesa menyiapkan baju Soni. Selebihnya, dia bisa santai di rumah. Sesekali makan di luar bersama anak-anak. Memang, harus hati-hati menggunakan uang belanja. Tapi, biasanya Soni akan memaafkan sedikit pemborosan, setelah sekian lama tidak bertemu dengannya dan anak-anak.

Malam itu dia berbaring di samping suaminya dengan pikiran masih berputar-putar. Enam minggu tanpa Soni bisa berjalan lambat, bisa pula secepat kilat. Teringat olehnya bau air dan rerumputan di tanggul Kali Bedog, dan seorang pria yang mencari katak di tepiannya, yang merasa dirinya sombong, karena telah memandang binatang itu melulu sebagai preparat di laboratorium.

Dia duduk, lalu mengguncang bahu Soni. Dia tak berhenti mengguncang sampai pria itu membuka matanya yang mengantuk.

“Apa?”

“Jangan pergi,” pintanya sungguh-sungguh, “jangan ikut penataran.”

Soni memandangnya, menarik selimutnya, lalu membalikkan badan.

Ana merasa tak berdaya.

Dia tahu persis betapa tak masuk akal sikapnya barusan. Pasti Soni menganggapnya sedang ngelindur. Seandainya dia tahu seberapa besar keinginan Ana agar dia tetap tinggal dan betapa bersungguh-sungguhnya dia. Meskipun, Ana takkan sanggup menjawab bila Soni bertanya kenapa. Bahkan, pada dirinya sendiri Ana tak berani bertanya. Sebab, jawabannya mungkin akan sangat menakutkan.

Namun, dia tak kuasa menahan ingatannya, menghadirkan kembali film berwarna itu. Tentang sungai dan rerumputan dan angin... dan pria yang sama.

Tiga hari kemudian Soni berangkat.

Setelah memandang ujung jalan yang tadi menelan suaminya, Ana beranjak masuk. Dengan tangan gemetar dia menekan nomor telepon ibunya.

“Ibu? Ini aku. Bisakah Ibu datang dan menginap beberapa hari di sini? Tidak ada apa-apa. Hanya rasanya agak sepi, karena Mas Soni pergi, lagi pula anak-anak juga sudah kangen pada Ibu. Bisa kan, Bu? Bagaimana? Oh... syukurlah. Kami tunggu, ya, Bu.”

Dia meletakkan gagang telepon perlahan-lahan. Tangannya masih gemetar. Kemudian, tanpa dapat ditahan lagi, dia mulai menangis.


Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?