Fiction
Tambatan Hati [7]

26 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

“Ada apa, Lea? Kamu sakit? Tante Liyan menatapku. Kami sudah berada di rumah. Duduk di ruang tengah menonton televisi.

“Aku nggak sakit, Tante. Hanya mengantuk.” Aku melihat bersit kecewa di sudut matanya.

Tante Liyan mendesah. “Seharusnya, Tante tidak menerima ajak­an La Radi tadi.”

Bagus! Akhirnya Tante sadar bahwa aku tidak menyukainya.

“Sebetulnya bisa di lain waktu, karena kamu pasti kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh tadi siang.”

Aku mendesah. Ternyata, ia belum bisa membaca gelagatku.

Tiba-tiba kami terkejut mendengar suara ribut–ribut di sebelah. Suara pria berteriak–teriak.

“Jangan-jangan ayahnya Wa Tia mengamuk.” Tante Liyan bergegas keluar, menguping di tembok pembatas. Aku mengikuti.

“Kalau kamu tidak mau menikah, kamu pergi saja dari rumah!”

Aku dan Tante Liyan saling pandang. Sebetulnya, aku tidak terlalu kaget, setelah Wa Tia menceritakan sebelumnya.

“Tia! Hendak ke mana kamu?” suara seorang wanita menjerit.

“Biar saja! Dia tidak akan bisa hidup di luar!”

Dari kegelapan tampak bayangan wanita melintas depan gerbang.

“Ssst.. itu pasti Wa Tia,” Tante Liyan berbisik. “Mau ke mana dia malam–malam begini.”

Aku tergesa menuju gerbang.

“Wa Tia!” seruku, setengah berbisik.

Wanita itu seketika berhenti. Perlahan mendekati. Tampak raut Wa Tia pucat dengan mata bulat yang berkilat. Memendam amarah. Sementara tangannya mencengkeram tas besar dari kain.

“Lea, saya diusir dari rumah,” suaranya gemetar, “saya dipaksa menikah dengan La Darumba.”

“Ayo, masuklah ke dalam.” Tante Liyan mendekat. Tangannya membuka gembok di gerbang.

Suasana malam kian mencekam, kala kami bertiga duduk diam di ruang tengah. “Saya bingung, Tante. Tidak tahu akan tinggal di mana,” Wa Tia tertunduk lesu.

Aku memandang Tante Liyan yang diam membisu.

“Sebetulnya, Tante ingin sekali membantu, tapi tidak ingin terlibat masalah ini. Tante tidak ingin merusak hubungan dengan keluargamu. Orang tuamu selama ini baik terhadap Tante.”

“Saya mengerti, Tante. Tapi, saya tetap tidak mau menikah dengan pria pilihan Ayah.” Wa Tia mulai terisak.

Tante Liyan mengusap punggungnya.

“Sabar. Kita sedang berusaha mencari jalan keluar.”

“Saya tidak ingin menyusahkan Tante, terutama Lea yang sudah banyak menolong saya.”

Sekilas Tante Liyan menoleh heran padaku.

“Lebih baik saya menginap di rumah teman kuliah.” Wa Tia beranjak. Meraih tas besarnya.

“Wa Tia, tunggu! Ini masih malam. Tidak baik jalan sendirian,” kata Tante Liyan, berusaha mencegah.

“Ya, kamu bisa tidur malam ini di kamarku,” aku menambahkan.

“Terima kasih. Kalian baik sekali.” Wajah Wa Tia berubah cerah.

Aku terbangun setelah mendengar bunyi barang jatuh di atap. Wa Tia sudah terbangun lebih dulu. Terduduk diam di sisiku, mencoba mendengarkan.

“Apa itu?” kataku, setengah berbisik.

“Ssst....”

Terdengar pintu kamar Tante Liyan terkuak.

“Tante Liyan terbangun,” bisik Wa Tia.

Aku melangkah keluar kamar. Tampak Tante Liyan mondar–mandir di ruang tengah. Raut mukanya panik.

“Ada apa, Tante?” aku mendekat.

Tante Liyan tidak menjawab. Duduk di sofa dengan napas naik–turun tidak teratur.

“Tante kenapa?” Aku duduk di sisinya.

“Ini aneh. Sudah dua kali terjadi. Mungkin ada yang mau menyerang Tante.”

“Siapa yang menyerang Tante?”

“Entahlah, Lea. Tante takut ada orang yang ingin menyingkirkan Tante dari ajang pemilihan.”

Wa Tia perlahan menghampiri.

“Jangan–jangan itu santet dari La Darumba!”

“Mana mungkin. Bunyi itu tepat di atas atap rumah ini.”

“Tapi, bisa saja dari atap rumah saya. Karena, sore tadi saya menolak lamaran La Darumba.”

Setengah mati aku menahan tawa melihat perdebatan aneh di era modern ini.

“Entahlah. Mungkin saja itu kiriman untukmu.” Tante Liyan beranjak. “Tapi, bagi Tante, ini bukan kejadian pertama kali. Tante hanya takut ada yang tidak suka Tante menang di pemilihan, sehingga ingin menyingkirkan Tante dengan cara apa pun.”

Wa Tia mendekat. “Biasanya, kalau sampai diketahui orang, serangan santet itu gagal.”

“Jadi, kita nggak boleh tidur?” tanyaku.

“Boleh saja. Hanya perlu waspada dan berdoa.”

Berdoa? Apa tidak salah dengar? Setahuku, percaya pada dukun itu seperti tidak percaya Tuhan. Aku memang bukan manusia suci, tapi masih percaya kekuasaan Tuhan. Termasuk masalah jodoh. Tuhan telah menolongku terlepas dari pria penipu macam Farhan. Mungkin saja Dia sudah menyediakan pria terbaik sebagai suamiku kelak. Semoga saja bukan La Radi.

Rasanya, liburanku sepi tanpa Wa Tia, satu–satunya temanku di pulau ini. Entah di mana dia sekarang. Sampai kapan harus menginap di rumah orang. Hanya karena tak menurut untuk menikah dengan seorang pria tua. Aku menghela napas. Sudah hampir seminggu berlalu. Sudah harus kembali ke Jakarta. Aku enggan meninggalkan Buton. Aku masih betah. Senang bisa menemani Tante Liyan yang kesepian, senang bisa mengenal Wa Tia yang baik.

“Lea!” seseorang memanggil. Tampak La Radi berdiri di gerbang. Pria itu masih berseragam, membawa sebuah kantong plastik hitam, entah berisi apa.

“Ini buat tantemu. Simpan baik–baik.”

“Terima kasih.” Aku menerima, berharap pria itu segera pergi.

“Lea, nanti malam kamu ada acara?”

Ooh... ini yang aku takuti. Pasti dia ingin mengajak pergi. Ingin rasanya berbohong dan menolaknya. Namun, bayangan Tante Liyan membuatku kasihan. Aku lantas menggeleng.

“Berarti, kamu tidak berkeberatan jika nanti malam saya jemput untuk pergi makan.”

“Oke. Aku tunggu.”

“Saya akan jemput jam tujuh.” La Radi tersenyum, sebelum berjalan riang menuju mobilnya.

Aku kembali duduk di teras. Sekilas melongok ke dalam kantong plastik hitam pemberian La Radi. Tampak sebuah kotak dari kertas yang tertutup rapat. Aku membayangkan isinya adalah sekotak cokelat kesukaan Tante Liyan. Maklum, perutku sudah terasa lapar. Wangi ikan bakar sudah tercium sejak satu jam lalu. Namun, mengapa sudah lewat pukul dua, Tante Liyan belum juga pulang dari kantor?

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Athma



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?