Fiction
Tambatan Hati [2]

26 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

“Mari kita berhenti di depan restoran itu. Panas–panas seperti ini sangat nikmat makan es pisang ijo.

Sebuah restoran kecil dan sedikit kumuh tidak terlalu padat pengunjung. Seorang wanita Tionghoa ramah menyapa Tante Liyan.

“Dengan siapa, Bu Liyan?

“Ini keponakan dari Jakarta.

Aku tersenyum. Duduk menunggu di depan meja berlapis plastik. Tanganku merogoh saku jins. Mengeluarkan handphone. Ada sinyal!

“Rumah Tante di atas bukit, jadi sulit menangkap sinyal. Tante Liyan tersenyum, mendengar keluhanku.

“Jadi, aku bisa pakai handphone hanya di kota?

Betapa menyedihkan! Aku merasa sedikit terisolasi di pulau ini.

Bunyi SMS masuk bersahutan. Kebanyakan dari teman kantor yang menodong oleh-oleh. Hanya Dita yang menanyakan kabarku, termasuk masalah pria.

Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya datang dua mangkuk besar es pisang ijo, berupa sepotong pisang rebus yang dilapisi tepung beras berwarna hijau. Cukup menyegarkan dengan serutan es batu yang dilumuri sirop merah dan susu kental manis. Tapi, sejujurnya, masih kalah enak dibanding es teler.

Setelah kenyang, kami meluncur pulang. Melintasi pertokoan yang sudah mulai sibuk berbenah.

“Toko di sini kebanyakan cuma sampai sore. Hanya supermarket yang buka sampai malam. Nanti malam kita bisa ke supermarket. Siapa tahu kamu mau membeli camilan.

Ya, aku memang ingin membeli sesuatu, setoples kopi instan! Sebab, aku tidak mungkin memulai pagi tanpa kopi.
Mentari sudah tidak terlalu terik menjelang sore. Namun, pantulannya masih memberi tebaran kilau bersama alunan ombak bergulung.

“Kalau mau, nanti malam kita bisa kembali ke kota dan membeli kue–kue yang mulai dijajakan sore di sepanjang tepi laut itu.

Entah mengapa selalu saja makanan yang ada di benak Tante Liyan. Apakah dia merasa aku terlalu kurus? Kalau begini terus, aku bisa cepat menjadi gemuk!

“Lea, coba kita mampir sebentar di toko roti itu! Tante mau beli roti tawar untuk sarapan kita besok.

Aku duduk di teras depan, memandang bentangan laut menjelang senja. Mendengar deburan ombak menerjang tebing. Seliweran burung-burung laut memberi keceriaan alam. Sampan kurus nelayan sesekali melintas, mengiris laut tenang dan meninggalkan jejak panjang di belakang.

Sesekali kuteguk secangkir teh hangat. Semilir angin kemudian membawa terbang ingatanku pada Jakarta. Membangkitkan nyeri di hati yang belum juga sembuh. Sudah tiga bulan berlalu, bayangan Farhan terus saja menghantui. Melayang-layang bersama cinta dan harapan yang sempat terbangun hampir setahun.

“Kalau mau, besok sore kita mandi di pantai. Aku tersentak. Sejak kapan Tante Liyan berada di teras? Tiba-tiba sudah duduk di kursi belakang dekat pintu. Apakah dia sempat melihatku melamun?

Terlintas dalam bayangan pantai indah berlaut jernih bersama hamparan hijau rumput laut di bawahnya. Sungguh indah!

Tiba-tiba sebuah ojek berhenti di depan rumah. Tampak seorang wanita meloncat turun dan tergesa membayar. Sekilas memandang ke arah kami, sebelum berjalan menuju rumah sebelah.

“Itu Wa Tia, tetangga sebelah. Mungkin sepantaran kamu. Nanti Tante kenalkan.

Tak lama aku dan Tante Liyan tergopoh berjalan. Melintasi halaman depan yang sedikit gelap tertutup rindang pepohonan. Menuju sebuah rumah setengah papan bercat kusam.

“Assalamu’alaikum, seruan Tante Liyan mengundang jawaban dari dalam. Tersembul sosok wanita yang kulihat barusan.

“Wa Tia, ini kenalkan, keponakan Tante dari Jakarta.

Wa Tia tersenyum ramah, sembari mengulurkan tangannya yang besar dan agak kasar. Wajahnya hitam manis dengan rambut ikal tebal. Matanya yang hitam bulat terlihat berbinar.

“Wah, sekarang Tante sudah ada teman di rumah.

“Iya, untuk sementara waktu. Karena dia hanya cuti berlibur, suara Tante Liyan terdengar getir, menyirat kesedihan. Aku terenyuh. Membayangkan sepinya hidup sendiri di pulau ini. Padahal, Tante Liyan bisa menikah lagi. Atau, setidaknya, kembali dan berkumpul bersama keluarga besar di Jakarta.

Sebagai mahasiswi di sekolah tinggi calon guru, Wa Tia mampu berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik. Tutur katanya sopan dan tak banyak basa–basi. Kami mengobrol sejenak di bangku luas dari bambu tepat di bawah pohon.

Wa Tia memiliki tiga adik lelaki. Ayahnya seorang nelayan yang hidupnya hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan. Adik-adiknya sering kali membantu menjaring ikan di waktu subuh. Sementara Wa Tia hanya di rumah, membantu ibunya memasak dan berbenah. Namun, Wa Tia merasa sangat bersyukur, orang tuanya masih mampu membiayai kuliah, termasuk sekolah bagi ketiga adiknya.

Kumandang azan magrib memutuskan perbincangan. Aku dan Tante Liyan bergegas pulang. “Besok sore kami mau berenang di pantai. Kamu ikut, ya? ajakku, sebelum pulang.

Malam bertabur bintang, aku sudah kembali duduk melamun di teras depan. Memandang alam laut gelap dengan taburan titik cahaya yang berasal dari lampu perahu para nelayan. Angin dingin sesekali menyergap tubuhku yang sedikit tak berdaya. Kekenyangan setelah makan malam, melahap ikan gemuk bersambal jeruk yang sedap.

Tiba–tiba raut Farhan muncul dari kegelapan malam. Merusak keindahan alam berbintang. Sialan! Aku harus melupakannya. Harus! Aku beranjak dan menemui Tante Liyan yang serius menonton telenovela.

Bau-bau di waktu malam sungguh menakjubkan. Tebaran rumah-rumah di perbukitan tampak bagai kerlip bintang yang mengepung laut hitam. Laut tampak berkilau, terpantul cahaya kapal dan perahu nelayan. Melintasi jalanan kota di malam hari lebih menyenangkan. Lebih indah daripada kilauan warna-warni lampu taman kota di Jakarta.

Sebuah supermarket kecil tampak ramai oleh pengunjung. Namun, tidak banyak mobil yang terparkir. Tante Liyan membeli sekaleng permen mint, beberapa batang cokelat mete, sekotak besar susu kalsium, dan empat kaleng minuman ringan.

Keluar dari supermarket, kami menyusuri jalan di tepi laut. Melintasi rentetan gerobak jajanan yang semarak dengan lampu petromaks.

“Kita berhenti dulu. Biar Tante turun membeli sukun goreng.

Mobil menepi. Tante Liyan bergegas turun. Tak lama, Tante Liyan datang dengan sebuah kantong hitam. Lalu, tiba di rumah, kami berdua duduk memandang laut di teras rumah. Di meja teras terdapat piring berisi potongan sukun goreng dengan mangkuk berisi sambal. Ternyata masyarakat di sana gemar memakan segala gorengan, termasuk pisang goreng, dengan sambal terasi. Sungguh aneh!

“Tante dengar, kamu sudah putus dari pacarmu.

Detak jantungku terhenti sesaat. Tentunya kabar ini didapat dari Mama. Mereka terkadang saling bertukar kabar melalui telepon.

“Ya, beberapa bulan lalu.

“Mengapa putus? Tante pikir, kamu sudah serius.

“Ya, mungkin belum jodoh. Kami tidak ada kecocokan, mendadak aku seakan melihat wajah Farhan menyeringai di antara gelap laut malam.

“Besok atau lusa kita bisa pergi ke ‘orang pintar’. Tanya-anya mengenai jodoh.

Kalau bukan tanteku sendiri, pasti tawaku sudah terlepas menyebar di laut bebas. Di zaman globalisasi ini, masih saja ada orang percaya dukun! Terlebih bagi Tante Liyan yang berpendidikan. Membuatku teringat pada Dita. Dengan koleksi segudang orang pintar. Dari dukun sampai kiai. Namun, tidak satu pun mendatangkan jodohnya.

“Bagaimana? Kalau mau, biar La Gani yang menyetir siang, setelah Tante pulang. Tempatnya jauh, melewati hutan dan naik-turun bukit.

“Terserah Tante. Tapi, lebih baik lusa, karena besok sore kita mau berenang. Supaya nggak capek. Aku senang melihat binar di wajahnya.

Aku terbangun oleh suara raungan panjang yang menggema di kejauhan. Sesaat kemudian aku pun sadar bahwa itu hanyalah suara klakson kapal yang datang-pergi di pelabuhan.

Keluar dari kamar, aku melihat Tante Liyan duduk di teras depan, memandang laut, sembari minum segelas susu. Bersantai di hari Minggu. Setelah membuat kopi di mug besar, aku duduk menemaninya.

“Pagi ini Tante mau ke pasar diantar La Gani. Kamu mau ikut?

Sejenak aku berpikir, membayangkan pasar becek yang panas dengan kios-kios yang semrawut. Namun, ada sedikit rasa penasaran untuk melihat situasi pasar tradisional di pulau ini.

“Oke, aku ikut.

Pasar Wameo, nama pasar yang kubaca di plang pelataran parkir. Setelah mobil terparkir, aku segera meloncat turun. Membuka payung dan melenggang di sisi Tante Liyan. Sementara Wa Siu, sang pembantu, berjalan di belakang membawa sebuah keranjang besar.

Hari masih pagi, namun terik terasa menyengat kulit. Maklum, pasar ini tepat di tepi laut. Aroma asin airnya sudah tercium di kala melangkah masuk menyusuri deretan kios.

Seekor ikan pari besar tergeletak menarik perhatianku. Ikan jenis ini terakhir kulihat di arena Sea World, Ancol, sebagai ikan yang menarik untuk ditonton anak-anak. Lucunya, di sini ikan itu menjadi santapan penduduk! Yang tak kalah menarik adalah kala melihat seekor ikan tuna sebesar paha orang dewasa. Di Jakarta, hanya kutemukan ikan ini dalam potongan kecil-kecil di supermarket.

Kami segera pulang setelah Tante Liyan membeli aneka sayuran dan seekor ikan kakap lumayan besar, hingga ekornya terlihat menyembul di keranjang belanja Wa Siu. Walau angin laut memberi sejuk, keringat masih saja mengucur membasahi kening dan melengketi tubuh.

Seperti biasa, setelah kenyang makan, aku duduk di teras memandang laut. Sesekali meneguk sekaleng minuman dingin, memberi sejuk di siang panas. Sementara, Tante Liyan serius di muka televisi. Menonton telenovela sembari berselonjor di sofa panjang.

Panas mentari memantul di permukaan laut biru. Suara deburnya seakan ilustrasi musik yang melengkapi keindahan alam itu. Membawaku melayang dengan kenangan indah di masa lalu bersama Farhan.

“Lea! suara Wa Tia mengejutkan aku yang mulai hanyut dalam lamunan. Wanita itu berdiri di luar pagar, baru pulang kuliah. Tangannya mendekap sebuah map. Wa Tia terlihat ceria dengan kaus ketat warna merah dan jeans biru tua yang juga ketat. Menonjolkan lekuk tubuhnya yang sedikit montok. Lipstik merah tua tampak mencolok di bibirnya yang tebal. Dandanan yang agak berlebihan di siang yang panas!

Aku tergesa menghampiri. “Kamu ada acara siang ini?

Wa Tia menggeleng.

“Mau nggak temani aku jalan–jalan?

“Ke mana?

“Ke mana saja.

“Boleh. Tapi, saya harus pulang sebentar. Menyiapkan makan siang. Wa Tia setengah berlari ke rumahnya. Aku pun bergegas masuk kamar, sejenak melumuri kulit dengan sunblock, sebelum menyambar kunci mobil di meja kecil. Tidak lupa membawa kamera saku.


Penulis: Athma




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?