Fiction
Senandung Musim Gugur [6]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya

Lia merasa, Ipung juga ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Paling tidak, Ipung dengan sikapnya yang SKSD, sok kenal sok dekat, mulai mencoba menarik perhatiannya. Naluri kewanitaan Lia menyadari itu. Lia senang, dan untuk pertama kalinya merasakan getaran aneh di hatinya berhadapan dengan lawan jenis dan makhluk seperti Ipung. Namun ia juga merasa tak nyaman melihat Ipung ternyata sadar betul dengan daya tariknya, sebagaimana tercermin dari kesediaan beberapa wanita yang mau dipacarinya, bahkan bertindak lebih jauh dari sekadar pacaran.

Lia kembali cukup intens bertemu dengan Ipung dekat menjelang keberangkatannya ke Australia untuk studi S2-nya. Kegiatan bersama Romo Hadi dan Ustad Harunlah yang mempertemukan mereka. Setelah tiran tua itu turun, Lia memilih menggeser kegiatannya sebagai aktivis ke dalam karya yang dirasakannya lebih langsung bisa dirasakan orang kecil. Ia terlibat dalam kegiatan kemanusiaan yang dirancang Romo Hadi. Dengan Ipung ia sempat ketemu beberapa kali, merasakan ketertarikannya tak juga berkurang, tapi sekaligus tidak berani membuka ruang untuk sebuah komitmen lebih menyangkut hubungan mereka.

Sampai akhirnya Ipung menghilang. Imbas perubahan struktur pemerintahan pusat dan arah angin politik memungkinkan sejumlah tokoh kritis yang beroposisi sebelumnya, kini justru masuk ke dalam jaring-jaring kekuasaan. Salah seorang yang dulunya tokoh oposisi mengajak Ipung terlibat dalam persiapan langkah-langkah dan organisasi politiknya. Ipung merasa itu kesempatan ikut membangun kultur politik yang lebih baik dan terbuka. Paling tidak itu yang dikatakannya kepada Lia. Paling tidak itu keyakinannya, mengapa tidak? Ipung menerima tawaran itu, meninggalkan kota mereka, meninggalkan Lia yang tak kunjung mantap dengan perasaannya sendiri. Cukup lama mereka sempat kehilangan kontak. Lia sempat merasa kehilangan. Sesekali Ipung masih suka menelepon. Lama-lama suaranya menghilang, tersesat dalam rimba kesibukannya yang baru. Begitu juga Lia.

Sampai datang kabar itu: Ipung kembali! Dan Lia masih mengingat pertemuan-pertemuan terakhir itu.

Hari itu Lia bergegas meninggalkan rumah untuk menemui Romo Hadi. Ah, Romo Hadi yang ganteng. Masih muda, energetik, belum lama ditahbiskan sebagai pastor. Siapa menyangka jika pria bersuara tenang, berat, dan mantap, dengan sosok mirip Roy Marten di masa mudanya, adalah seorang pastor. Apa lagi ketika sehari-hari jika sedang tidak memakai seragam dinasnya saat bertugas memimpin misa di gereja, Romo Hadi lebih suka mengenakan celana jins dan kemeja kotak-kotak warna cerah. Lia sempat kesengsem ketika awal mula kenalan. Pikirannya yang nakal melayang, sayang rasanya mengetahui pria itu memilih menghabiskan umurnya sebagai pelayan Tuhan.

Lia tahu ke mana ia bisa menemui Romo Hadi. Ke sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota, dekat tempat pembuangan sampah raksasa yang menampung sampah hasil peradaban seluruh penduduk kota. Masih tercium bau sampah basah menyengat dalam radius tiga kilometer. Kepulan asap sampah yang dibakar mengambang di udara seperti halimun di pegunungan, juga dalam radius beberapa kilometer.

Perkampungan kumuh yang berdiri di atas tanah negara itu dihuni lebih dari seribu jiwa. Lengkap dengan nilai-nilai kehidupannya yang tersendiri. Kebanyakan kepala keluarga bekerja sebagai pemulung atau buruh lepas harian, pengangguran, pemabok, pencopet, pecandu magadon dan obat-obatan kelas kambing lainnya, pengemis dan jembel, bahkan residivis. Kejahatan ala jalanan dan kaki lima menjadi peristiwa sehari-hari. Juga wanitanya, ditambah dengan mereka yang menjajakan barangnya yang paling pribadi, menjadi pelacur murahan yang jasanya sebagai tempat pelampiasan birahi lelaki iseng, bisa dibarter dengan sedikit uang senilai beberapa bungkus rokok. Makian dan umpatan menjadi bahasa sehari-hari di tempat itu. Banyak pasangan telah bersama bertahun-tahun dan menghasilkan keturunan, tanpa bisa menjelaskan atau menunjukkan bukti sah perkawinan mereka.

Lia takjub bagaimana Romo Hadi secara kreatif bisa menemukan dan memilih tempat itu sebagai ladang pengabdiannya. Hari-hari yang berlalu di tempat itu bisa diringkas dalam sebuah pertanyaan sederhana: apa bisa kita makan hari ini? Ya, soal makan sehari-hari menjadi persoalan hidup dan mati di tempat itu. Karena itu, jangan tanya pandangan mereka tentang sekolah dan pendidikan anak-anaknya. Itu sudah masuk kriteria kemewahan buat mereka. Lagi pula, anak-anak malah bermanfaat untuk diperas tenaganya, dieksploitir, bisa membantu mencari nafkah buat keluarga. Mereka toh bisa disuruh mengamen, menyemir sepatu, jualan koran, mengemis, mencari calon korban pencopetan atau penodongan, bahkan melacurkan diri.

Begitu sampai di perkampungan itu, Lia menghadapi pandangan mata menyelidik dari para penghuninya. Hidup sehari-hari yang tidak adil membuat mereka menjadi gampang curiga terhadap sesama. Bangunan-bangunan kumuh semi-permanen tumbuh merapat, kebanyakan terbuat dari kayu dan seng, bertebaran tak beraturan seperti kotak-kotak korek api di atas papan monopoli. Bisa dibayangkan seperti apa panasnya jika matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Lia berusaha menebar senyum dan menjaga gerak-geriknya sewajar mungkin. Beberapa anak pemulung yang tak berbaju dengan ingus menempel sampai ke pipi mengikuti langkah Lia. Langkah mereka terhenti ketika Lia memasuki sebuah bangunan sederhana, mirip bedeng, terbuat dari kayu dan beratap asbes. Lantainya hanya disemen, dinding-dinding kayunya tidak dicat. Di dalamnya dibuat seperti ruang kelas dengan kursi dan meja kayu seadanya.

”Hai Lia, masuklah,” kata Romo Hadi sambil tersenyum lebar ketika Lia sudah berdiri di pintu sambil mengucap salam.

Hari itu, Lia beroleh teman baru. Selain Ustad Harun sahabat Romo Hadi yang sudah lebih dulu dikenalnya, ia berkenalan dengan Pak Iyang, lelaki berwajah sabar yang belum lama dipecat dari pekerjaannya sebagai guru sebuah sekolah dasar swasta terkemuka di kota itu. Pak Iyang dipecat dari sekolah macam itu lantaran berani menolak permintaan pengurus yayasan sekolah untuk mengatur kenaikan kelas anak seorang dermawan yang rajin membantu melengkapi fasilitas sekolah itu.

Ada Pak Item, lelaki yang dituakan, bos pemulung, di pemukiman itu. Dan, siapa itu lelaki gondrong yang tersenyum-senyum sambil mengulurkan tangannya kepada Lia? Ipung. Ya, Ipung. Lia diam-diam berdoa agar Ipung tidak melihat semburat merah yang mewarnai pipinya.

”Apa kabar, Pung? Kukira kau masuk daftar aktivis korban penculikan yang tak pernah kembali,” Lia berusaha agar suaranya terdengar sewajar mungkin, meskipun gemuruh di dadanya tak bisa ia bohongi.

”Baik Lia. Yang pasti, aku kangen sama kamu,” kata Ipung tanpa malu-malu. Romo Hadi tersenyum. Begitu pula yang lain.

”Sudah, Pung. Jangan menggoda Lia. Mengajar di tempat semacam ini saja sudah tidak mudah buatnya. Apa lagi harus menghadapi laki-laki penggoda seperti kamu,” kata Romo Hadi.

”Romo jangan mengecilkanku. Aku cukup tangguh lho. Apa lagi hanya sekadar menghadapi cowok macam Ipung. Kau sendiri Pung, kenapa kau balik ke kota ini. Kecewa dengan kelakuan tokoh-tokoh politik yang dulu kau bela dan kini lupa diri setelah berkuasa?”

”Jangan sinis begitu, Lia. Itu kan bisa kita obrolkan nanti saja. Berdua,” kata Ipung sambil mengedipkan mata.


Lia tak bisa menolak keinginan Ipung untuk mengantarkannya pulang. Sebenarnyalah ia juga tak ingin menolak. Sepanjang perjalanan, Ipung yang sibuk mengemudikan sepeda motor Lia, tak banyak bicara. Ia terlihat lebih matang dari sebelum pergi meninggalkan kota mereka. Namun, akhirnya Lia tahu juga sebabnya mengapa Ipung memutuskan kembali.

”Ya, kau benar, Lia. Aku memang kecewa begitu menyadari manusia gampang sekali berubah. Banyak sekali perubahan yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita. Bayangkan jika kau tiba-tiba tersadar bahwa selama ini kau hanya bermimpi,” kata Ipung sesudah sampai di rumah Lia. Sore di beranda rumah masih menyisakan panas tadi siang. Hanya sesekali angin melintas, menggoyang pelan tanaman penghias halaman.

”Bukankah itu tak sepenuhnya buruk? Bukankah terkadang mimpi juga yang mendorong manusia mengubah hidupnya? Kau ini kenapa sih? Biasanya kau kan malah meledek kecengengan orang lain.”

”Memalukan, Lia. Apa yang kusangka sebagai manusia-manusia istimewa karena berani melawan penguasa yang sewenang-wenang beberapa tahun lalu, kini sudah berubah menjadi seperti penguasa yang dulu mereka kritik. Kini mereka sendiri yang saling serang dan berebut kekuasaan.”

Lia tertawa. ”Kau sih, aktivis macam apa kau ini? Sudah tahu kekuasaan cenderung korup, kok malah mendekat-dekatkan diri dengan kekuasaan. Sekarang kau kena batunya, kecewa sendiri dengan mereka. Tapi syukurlah kalau kau sendiri menyadari bahwa hal itu memuakkan dan tidak justru ikut larut di dalamnya.”

Ipung tersenyum pahit. ”Yang aku sesalkan hanyalah, kekuasaan nyatanya memang bisa mengubah manusia. Padahal rasanya baru kemarin mereka teriak-teriak menghantam kekuasaan yang dipergunakan tidak semestinya.”

”Jadi itu alasanmu kembali ke kota ini?”

”Iya, kupikir di sini aku bisa lebih bermanfaat. Bersama orang-orang seperti Romo Hadi, aku bisa mengerjakan hal-hal yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh orang-orang kecil di kota ini.”

”Bukan karena ada aku di sini?” Goda Lia.

”Mungkin juga itu jadi sebagian alasanku untuk kembali,” Ipung menatap Lia sambil tersenyum penuh arti. Lia membuang pandangan ke arah jalan raya. Ia tak ingin Ipung memergoki wajahnya yang kembali merona merah.

Lia senang dengan kegiatannya membantu Romo Hadi dan kawan-kawan. Lagi pula, di tempat itu juga ada Murni yang telah mencuri hatinya. Anak bungsu Pak Item yang baru enam tahun usianya itu terlalu lucu dan manis untuk terdampar di tempat menyedihkan macam itu. Anaknya berani, cerdas, dan tidak pemalu. Ia juga langsung lengket dengan Lia yang pada dasarnya memang suka anak-anak. Sedih Lia membayangkan masa depan macam apa yang menanti Murni seandainya ia terus terjebak di tempat semacam itu. Tidak berani Lia membayangkan lebih jauh hal-hal yang bisa menjadi lebih buruk daripada mimpinya yang terburuk.

Di tengah keasyikan mengajar di tempat itu, Lia mulai merasakan adanya kecemasan yang mengambang di udara. Keadaan hanya tenang sebentar, sudah muncul lagi gangguan yang dirasakan langsung oleh penghuni pemukiman itu. Mulai datang satu dua laporan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan tentang ulah preman-preman yang semakin mengkhawatirkan.

Pihak pemda tampaknya justru merestui ”pemukiman liar” itu dihapus dari peta kota. Lagi pula, bukankah lebih baik jika pihak swasta mengambil alih tempat itu untuk usaha apa pun. Ini kan tugas mulia, bisa mengurangi angka pengangguran. Bukankah ini juga akan mendatangkan tambahan pemasukan buat pemda, ketimbang membiarkan tempat itu menjadi hunian kaum pinggiran yang hanya membuat suntuk pandangan warga kota yang terhormat?

Dengan logika berpikir kekuasaan yang semacam itu, Romo Hadi dan kawan-kawan praktis sendirian membantu memenangkan warga di pemukiman itu. Berbagai upaya telah coba mereka lakukan: menghubungi beberapa pihak, berunjuk rasa ke DPRD untuk meminta dukungan wakil rakyat, beberapa kali ke pemda mencoba menemui kepala daerah, namun hasilnya nihil. Teman-teman lama aktivis kampus bermunculan, menghubungi Lia dan Ipung, menanyakan bantuan apa yang bisa mereka berikan. Belakangan, dari pihak yang berkuasa malah muncul tuduhan bahwa Romo Hadi dan teman-teman punya agenda politik tersendiri untuk menjatuhkan pemda.

Romo Hadi hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi tuduhan dan fitnah semacam itu. Ketika mereka tengah berkumpul di sekolah darurat itu, dengan nada pahit Ustad Harun berkata, ”Yang berubah di negeri ini hanyalah figur orang-orang yang berkuasa. Selebihnya, perilakunya masih tetap sama. Bahkan model intimidasinya pun masih tetap sama, tidak kreatif.”

Sudah beberapa kali sekolah darurat itu kedatangan tamu tidak diundang. Kadang barang-barang yang sudah dirapikan menjadi berantakan. Beberapa fasilitas mengajar bahkan hilang. Beberapa orang tua mulai melarang anaknya mengikuti sekolah darurat itu. Mudah sekali isu mempengaruhi orang-orang sederhana itu. Untunglah berkat usaha Pak Item, warga di tempat itu tidak kehilangan kepercayaan kepada Romo Hadi dan kawan-kawan. Bukankah suara hati nurani tidak bisa dimanipulasi dan dibohongi?

Malam baru saja turun di kotanya ketika telepon mengejutkan itu akhirnya datang juga ke rumah Lia. Subroto terkejut melihat wajah Lia berubah pucat. Lia tampak bergegas mengambil jaket dan helm.

”Mau ke mana kamu, Nak? Sudah malam lho,” Sunarti bertanya dengan lembut. Ia bisa merasakan kegelisahan dan kesedihan di hati Lia.

Lia menjawab dengan suara bergetar, ”Mereka jadi juga menggusur tempat itu, Yang. Ipung ada di sana sekarang. Ia yang mengabari tadi lewat telepon. Sekolah kita, ahÖ.” Lia tertunduk. Suaranya hilang ditelan kesedihannya.

”Kenapa dengan sekolah itu?” tanya Subroto sambil memegang bahu Lia.

”Mereka bertindak terlalu jauh. Semestinya mereka tidak perlu mencoba membakar bangunan-bangunan di tempat itu. Kejam sekali mereka.”

”Oh, orang-orang zalim,” Sunarti memeluk Lia.

”Yang, izinkan aku ke sana. Barangkali masih ada yang bisa diselamatkan dari sekolah itu.”


Penulis: Rahmat H. Cahyono




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?