Fiction
Senandung Musim Gugur [2]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya


"Jadi, kenapa kita tidak membiarkan mereka menikmati masa muda dan memberi saja mereka suasana liburan selama beberapa tahun di universitas ini," kelakar Martin Ashford, dosen Departemen Inggris asal Australia yang sepintas mirip dengan Paul Hogan, si pemeran Crocodile Dundee itu. Ia meledek Lia yang terlihat selalu serius mempersiapkan diri untuk mengajar di kelas.

Ketika Lia bertanya kenapa, dengan tersenyum bujangan berusia 50-an tahun itu ("Menikah hanya cari masalah," katanya) menyahut sekenanya, "Ya, mudah saja Lia. Kau tahu tekanan yang mereka hadapi semasa menjadi pelajar di sekolah dasar dan sekolah menengah. Begitu juga setelah lulus universitas nanti, mereka harus babak belur mencari pekerjaan. Apa yang akan mereka dapat? Sebagian besar dari mereka hanya akan mendapat pekerjaan yang buruk dan tidak bisa dibanggakan, dengan gaji kecil dan jam kerja yang begitu panjang. Itulah sebabnya mahasiswa di jurusanmu sebagian berharap bisa bekerja di perusahan-perusahaan Korea di Indonesia. Dengan nilai rupiah yang hanya sekitar sepertujuh nilai won, sementara biaya hidup jauh lebih murah, mereka serasa akan tinggal di surga, menikmati hidup jauh lebih baik dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, dan tetap bisa menabung. Walaupun sebelumnya mereka hanya mahasiswa dengan motivasi rendah dan malas belajar. Ironis bukan?"

Martin, Martin, dasar Australia satu ini mungkin masih keturunan preman Inggris yang dibuang di koloni Australia di abad lalu, mbok kalau menembak jangan langsung begitu. Gara-gara dia, pikiran Lia langsung menerawang ke tanah airnya sendiri. Seberat-beratnya kehidupan mereka, anak-anak Korea itu, rasanya masih lebih baik dibandingkan anak-anak muda di negerinya sendiri.

Gambaran pahit itu bermunculan di benak Lia: barisan kaum muda yang menganggur di Indonesia rasanya semakin bertambah panjang dari tahun ke tahun. Begitu keluar dari rumah, sesosok masa depan yang muram menunggu di balik pintu. Belum lagi mereka yang kehilangan pekerjaan karena PHK. Padahal kekayaan alam apa yang tidak ada di Indonesia? Negeri kelahiran yang terkadang dirindukannya itu sudah terlalu lama babak belur lantaran keserakahan segelintir orang dan hukum yang sudah lama doyong, hampir ambruk.

Huh, tentu saja Crocodile Dundee itu hanya bercanda. Ia sendiri dalam penglihatan Lia termasuk dosen asing yang serius mempersiapkan diri untuk proses transfer ilmu dengan mahasiswanya. Karena itu Lia tetap giat dan mencoba melaksanakan tugasnya secara profesional, apa lagi ia juga terpacu dengan motivasi tinggi yang diperlihatkan sebagian mahasiswanya dalam belajar. Terutama anak laki-laki yang sudah menjalani wajib militer selama 26 bulan, kelihatan sekali tanggung jawabnya dalam membangun hidup dan masa depannya sendiri.

Untuk pergi ke kampus, Lia hanya perlu berjalan kaki. Apartenya hanya berjarak sekitar 15 menit dari tempatnya mengajar. Berangsur-angsur warna coklat di perbukitan yang mengelilingi kampus itu di musim dingin berubah menjadi hijau ketika udara menjadi lebih hangat. Hijau di mana-mana. Bau dedaunan mengambang di udara. Waktu-waktu favoritnya adalah ketika musim semi tiba. Bunga-bunga bermekaran di mana-mana, cantik sekali. Halaman sekolah dipenuhi bunga-bunga sakura yang berumur singkat, hanya sekitar dua minggu. Bunga itu keluar mendahului daunnya, seolah menandai tibanya musim semi. Orang Korea menyebut bunga itu "Bot". Namun nama Sakura tetap kedengaran lebih menyenangkan di telinga Lia.

Tak terasa satu semester pun berlalu. Ia tak merasa menemukan kesulitan berarti dalam menjalaninya. Hubungannya juga cukup baik dengan dosen-dosen asing lainnya maupun dosen asli Korea sendiri. Ada dosen asing dari Cina, Jepang, Rusia, Vietnam, di samping beberapa dosen penutur asli bahasa Inggris dari Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Rasa kangen terhadap segala yang berbau Indonesia dibunuhnya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, belajar bahasa Korea, dan melakukan riset mandiri mengenai perolehan bahasa asing mahasiswanya.

Ketika liburan musim panas tiba, Lia nekat melakukan perjalanan ke berbagai kota di Korea, sendiri, menggunakan jalan darat. Melihat kemajuan negara itu, ia terkesan dengan pencapaian bangsa Korea. Memang tak ada yang gratis dalam hidup ini. Mimpi dan masa depan hanya dapat direngkuh melalui kerja keras hari ini. Ah, ia pun tersengat ketika merasakan betapa di musim panas udara di beberapa kota di Korea, termasuk Busan, ternyata bisa lebih panas dari Jakarta atau Surabaya.


Pagi serasa berkabut ketika Lia sampai di ruang dosen asing. Masih sekitar 40 menit dari jam kuliah pertamanya. Ia memang sengaja datang lebih pagi untuk membuka internet dan mengecek email serta membaca sebentar berita-berita dari Indonesia. Namun ternyata ia bukan yang pertama sampai di tempat itu. Ketika ia masuk, Michael Hughes yang besar di Denver, Colorado, dan bapaknya pernah ikut dalam batalyon marinir AS yang diterjunkan dalam Perang Korea di tahun ‘50-an itu, langsung tersenyum lebar menyambut kedatangannya.

"Selamat pagi, Non, kopi atau teh," suara Michael terdengar begitu ceria. Ia tampak tengah mengaduk cangkir tehnya.

"Pagi, Mike, thanks, aku sudah ngopi tadi di aparte. Mengapa gembira sekali kelihatannya kau pagi ini?" sahut Lia sambil menghampirinya.

Mata Michael berputar-putar jenaka, tangannya bergerak luwes memindahkan cangkir tehnya dan duduk di dekat Lia. Selama satu semester sebelumnya, mereka berteman cukup akrab. Amerika berambut keriting yang satu ini lucu dan teman bicara yang menyenangkan. Apa lagi ditopang dengan sikapnya yang halus dan luwes meskipun tubuhnya tinggi besar. Keluwesan dan gayanya mengingatkan Lia pada salah satu bekas menteri Orde Baru yang diisukan gay. Tapi berbeda dengan bekas menteri itu, Michael cukup terbuka dan jujur. Ketika pertemanan di antara mereka semakin akrab, Michael tidak ragu-ragu mengakui bahwa ia juga gay. Dan Lia menghargai kejujuran dan keterus-terangannya.

"Aku tahu kenapa kau kelihatan gembira pagi ini. Karena…," Lia tidak meneruskan kata-katanya. Matanya mengedari ruang kantor dosen asing, dan tertumbuk pada dua buah mata yang biru seperti danau di pagi hari. John Taylor mengangguk sopan dan mengucapkan salam selamat pagi kepadanya. Sejenak Lia terpana melihat senyumnya. Uh, bodoh kamu Lia, seperti tidak pernah melihat orang Barat ganteng saja, pikirnya sambil membalas anggukan pria itu dan membalas salamnya.

"Karena apa, Lia?" bisik Michael seolah tak ingin terdengar oleh orang lain.

"Kamu punya boyfriend baru, ya?" balas Lia berbisik.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Michael yang berusia sekitar 35 tahun itu terlihat penasaran.

"Simpel, boy, tidak perlu kecerdasan khusus untuk membaui orang yang lagi kasmaran. Siapa, orang Korea?"

"Hus, jangan keras-keras. Nanti si iceberg itu mendengar," mata Michael mengerling ke arah John Taylor.

"Bagaimana apa?"

"Si iceberg itu, kelihatannya dia suka kamu, lho?" goda Michael.

Lia melirik lelaki itu, yang baru masuk sebagai dosen di Departemen Inggris semester musim panas ini. John Taylor terkesan pendiam. Itulah sebabnya Michael diam-diam menjulukinya iceberg.

Namun, sejak awal kehadirannya mampu mencuri perhatian Lia. Lia seolah dapat menyelami kedalaman danau biru di matanya. Mukanya klimis, dengan rahang yang kokoh dan kulit berwarna kehijauan bekas bercukur setiap hari. Rambutnya yang kemerahan dibiarkan agak sedikit gondrong. Dengan tubuh tinggi atletis, Lia tampak begitu mungil jika berdiri di dekatnya.

Ketika John baru beberapa hari mengajar di kampus ini, Lia sempat tersenyum ketika tidak sengaja mendengar komentar beberapa mahasiswi departemen Inggris yang mengagumi dosen baru itu.

"Tampan ya," kata salah satu dari mereka. "Tidak, lebih tepat macho," kata temannya yang lain. "Wah, mau aku jadi pacarnya," celetuk mahasiswi ketiga. Ketiga mahasiswi itu pun cekikikan dengan genitnya.

"Hai Lia, kamu mendengar aku bicara tidak, malah melamun," goda Michael. Ah, Lia berusaha bersikap biasa dan mencoba mengatasi ketersipuan pada wajahnya. Sialan, tidak sepenuhnya berhasil. Pasti londo edan yang satu ini sudah melihat rona merah pada wajahnya. Terbukti dari senyum menggoda yang menempel di bibir Michael.

Seolah tahu dirinya sedang dibicarakan, John Taylor mengangkat mukanya dan melempar senyum mautnya itu. Lia mengutuk dadanya yang bergetar melihat senyum itu. Gombal, kok dirinya merasa seperti ABG saja. Lia, Lia, tabahkan hatimu. Ayo, bangun, Lia, masa-masa itu sudah lewat. Lupakan, lupakan makhluk itu, pejantan yang satu itu. Masih banyak yang harus ia kejar di sini, masih banyak yang harus ia kerjakan sebelum menyerahkan dirinya jatuh ke pelukan laki-laki. Siapapun dia. Bara di dalam hatinya itu tidak boleh padam hanya karena terserempet urusan lelaki.

Lia bergerak menjauh menuju ke mejanya sendiri untuk menutupi ketersipuannya. Ia coba menyibukkan diri membaca ulang materi pelajaran yang akan diberikannya pagi itu pada mahasiswanya.

John Taylor memang dosen asing paling baru di kampus ini. Dia mulai mengajar pada permulaan semester musim panas, satu semester setelah Lia datang. Selepas studi doktor sastra Inggris dari Ohio State University dua tahun lalu, John langsung dihadapkan pada kenyataan, bahkan untuk seorang Ph.D. seperti dia pun tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang pas sesuai selera di negeri kelahirannya, negeri Paman Sam. Sang super power sedang ikut limbung karena hantaman krisis ekonomi global. Tidak cukup banyak pekerjaan tersedia untuk anak-anak mudanya.

Lagi pula ia masih muda, baru 28 tahun. Ia masih asyik dengan mimpi-mimpinya menjadi penulis besar. Pekerjaan apa lagi yang tetap memberinya ruang dan waktu untuk mengejar cita-citanya itu, selain menjadi guru atau dosen. Menuruti gelora mudanya, ia langsung terima tawaran menjadi dosen di Korea. Siapa tahu ia bisa menuliskan novel pertamanya yang cukup bernilai di negeri ini. Mudah buatmu mencari pekerjaan sebagai guru atau dosen bahasa Inggris di Korea, asal kamu penutur asli bahasa Inggris. Lebih mudah lagi jika kamu punya gelar minimal master. Hakwon atau lembaga kursus bahasa Inggris bertebaran di mana-mana, belum lagi sekolah menengah, college, atau universitas.

Karena itu, ketika datang tawaran mengajar di salah satu universitas di Pulau Cheju yang konon merupakan tempat terindah di Korea Selatan, ia langsung menyambar kesempatan itu. Pengalaman tinggal di negeri asing dinilainya juga perlu untuk memperkaya wawasan, jika ia ingin menjadi penulis yang baik. Dua tahun di pulau yang memang indah itu cukup membuatnya betah. Hanya saja kemudian ia butuh mengajar di kota besar lainnya di Korea, untuk pergantian suasana. Peninsula University of Foreign Studies di Busan menjadi tempat persinggahan berikutnya.

>>>> cerita selanjutnya

Penulis: Rahmat H. Cahyono


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?