Fiction
Selendang Penari (6)

30 Aug 2012

<< cerita sebelumnya

DI UJUNG PELATARAN PEREMPUAN  itu berdiri. Rumah di depannya masih sama seperti yang berada dalam ingatannya sepanjang dua puluh tahun ini. Hanya satu kali dijejaknya rumah itu, namun yang satu kali itu terpancang selamanya dalam ingatan.
   
Perempuan itu hendak berbalik, seolah gentar oleh gamang yang memenuhi benaknya. Namun, pada saat yang sama tersadari bahwa tahun-tahun pelarian itu telah dijalani dengan sia-sia. Apakah akan terulang kembali kesia-siaan itu?
   
Tak ada bel pintu, maka perempuan itu mengucapkan salam sebagai penanda kedatangannya. Pintu rumah yang terbuka separuh, menandakan bahwa akan ada seseorang yang akan menerima pertamuan perempuan itu.
   
“Saya ingin bertemu Ibu,” sang tamu menyebutkan sebuah nama, sembari meyakinkan diri bahwa telah ditemukannya seseorang yang dicarinya.
    “Ya, saya sendiri,” demikian pemilik rumah menyatakan dirinya. Matanya menyiratkan pertanyaan sekaligus keraguan, yang terasa lembut tersaput senyum.
    “Maaf, apakah kita pernah bertemu? Atau barangkali keterbatasan ingatan saya yang tak mampu bekerja dengan baik?”
    “Ah, sungguh bukan kesalahan ingatan kita yang mulai menua ini, melainkan benar kita belum pernah berjumpa,” demikian sang tamu menjawab keraguan tuan rumah. Begitu luwes kalimatnya, menyamarkan kekhawatiran yang membadai di dalam benak.
    “Siapakah kiranya?” pemilik rumah tak membendung pertanyaan yang memenuhi diri.
    Sang tamu menyatakan namanya. Saat yang sama meletakkan sehelai kain di atas meja. Terlipat rapi selendang itu, samar menampakkan motif  burung merak yang menjadi coraknya.
    “Saya ingin mengembalikan ini. Selendang ini milikmu,” suara penyerahan itu terdengar perlahan, namun getar yang menyertainya tampak begitu jelas.
    Sesaat pemilik rumah meneliti kain itu dengan penelusuran gerak mata. Lalu menggeleng.
    “Saya tidak pernah memiliki ataupun kehilangan kain serupa ini. Barangkali Anda keliru?”
    “Benar kain ini tampak asing bagimu. Maafkan, seharusnya kain ini menjadi milikmu, tapi aku mengambilnya dua puluh tahun lalu dari rumah ini, kala kau tak berjaga di dalamnya.”
   
Tercengang perempuan pemilik rumah itu. Cengang yang sangat. Tampak jelas dari kelopak bibirnya yang bergetar, seolah menahan sesuatu. Sementara sang tamu menunduk dalam-dalam, entah demi menyembunyikan kepasrahan atau kerendahan diri pada titik paling bawah. Hening kemudian.
   
Entah berapa lama keheningan itu. Bahkan tak ada desau angin yang sering kali berasal dari rumpun bambu di pekarangan tetangga sebelah. Tidak pula ada kicau burung gereja yang acap kali berisik berbagi remah-remah di pelataran kebun.
   
Lalu ada helaan napas. Terhirup panjang untuk kemudian mengalir keluar perlahan dalam satu  embusan. Sedemikian perlahan gerak itu, sama sekali tidak menunjukkan gejolak yang seolah akan terjadi.
    “Oh, kaulah yang ada dalam pengakuan itu,” gumam pemilik rumah kemudian, di antara jeda napas panjang. Bernada biasa suara itu, tanpa hujatan, apalagi tuntutan.
    Sang tamu menunduk makin dalam, tampak menyangga beban berat pengakuannya.
    “Bagian kisah lama, tak lagi berada dalam ingatan,” gumam pemilik rumah, melanjutkan.
  
 “Tapi, pengakuanmu ini mengembalikan ingatanku tentang sesuatu. Wastra ini bermotif Merak Kinasih, diantarkan oleh pembatiknya pada suatu hari. Aku yang menerimanya karena pembatik itu berpikir bahwa suamiku pastilah memesan kain ini demi untukku.”
   
Jeda sesaat. Termenung perempuan pemilik rumah itu. Keping peristiwa masa silam yang berserak, seolah perlahan bergerak mendatanginya satu per satu. Membentuk satu bayangan utuh. Demikianlah terngiang kembali padanya segala ujar santun pembatik dari masa silam itu.
   
“Bapak ingin dibuatkan sebuah wastra berwarna nila indigo, tanpa pilihan corak khusus,” demikian berkata pembatik itu dengan lugu sekaligus santun, sembari membentangkan sehelai kain sutra.
   
Beliau hanya berpesan bahwa wastra ini adalah untuk seseorang yang elok rupawan dan dikasihinya, maka hendaknya terpilih corak yang sesuai. Kupilih corak ini, Merak Kinasih karena merak melambangkan keelokan, itulah burung berbulu biru dengan kemegahan ekor yang tak tertandingi keanggunannya. Dan kinasih adalah pertanda kasih sayang. Merak rupawan yang pantas menjadi kekasih tersayang. Dalem tersanjung mendapatkan dawuh mewujudkan tanda cinta Bapak kepada Ibu.”
   
“Pilihan yang sungguh indah, dan pemaknaan lambang yang mulia. Pastilah wastra karyamu ini akan menjadi kenangan yang berharga bagi kami sekeluarga. Terimalah terima kasih kami kepadamu,” begitulah perempuan itu berkata ketika itu.


Terhela napas perempuan itu kemudian, terasa panjang seakan demi meredakan sesuatu yang agaknya bergolak di dalam dirinya. Atau barangkali demi menariknya kembali dari pusaran masa silam, yang seolah hendak menyergap untuk terbawa serta? Namun, perempuan itu memiliki kendali yang terjaga, bertahanlah dia dari jeratan silam itu, dan kemudian kembali utuh dalam masa kininya.
  
 “Kuterima kain itu,” katanya, serupa gumam yang mengambang. Sepasang matanya bergerak, seakan menerawang jauh, menelusuri ulang jejak perjalanan sebuah masa.
   
“Namun, naluriku mengatakan bahwa sang pemesanlah yang berhak menerimanya terlebih dahulu. Bukannya aku yang seolah menerimanya melalui jalan pintas yang tak terduga. Kain ini dipesan khusus demi sebuah maksud, semestinyalah aku tidak mengabaikan hal itu. Maka kulipat dan kubungkus kembali kain itu seperti semula. Utuh kutaruh di meja, menunggu beliau datang untuk melihatnya.”
   
Tatap mata perempuan itu masih menerawang, menyiratkan betapa jauh perjalanan kenangan masa lalu itu.
   
“Ada masa-masa aku menunggu kain itu dihadiahkan kepadaku. Kuhitung hari sembari menerka-terka apakah sedang dirancang waktu khusus untuk menyerahkannya kepadaku demi merayakan sesuatu. Kerap kali aku tergoda untuk mengambil kain itu dari dalam lemari. Sungguh ingin aku menimangnya, membelai, merasakan kelembutan serat sutranya. Tapi, aku tak pernah memiliki keberanian yang cukup. Selalu saja gerakku terhenti di depan almari itu, berdiri lama di depan pintunya yang tertutup. Kau tahu mengapa aku tak sanggup?”
    Sang tamu menggeleng.
   
“Karena justru hasratku terlalu besar. Aku tahu, bila kupenuhi keinginanku dan kupatuhi hatiku untuk menyentuh kain itu, maka aku pasti tak akan sanggup mengembalikannya ke tempat semula. Begitu serat sutra itu membungkus tubuhku, tersampir di pundakku, pasti tak akan ada kerelaan hatiku untuk melepaskannya. Aku tak akan sanggup.”
   
Sang tamu menggigit bibir. Diikutinya sebuah jalinan cerita, yang telah dia ketahui akhir kisahnya, namun tak bisa dipungkiri debaran hati yang terpicu menuju pada  akhir kisah. Serupa menuju sebuah tebing curam yang niscaya menelan siapa pun yang terjatuh. Siapakah gerangan yang akan terjatuh nanti?
   
Terhela sebuah tarikan napas, dengan irama yang lembut namun bertahan panjang. Sebelum kemudian cerita berlanjut.
   
“Hingga suatu hari hasratku pada kain itu tak lagi tertanggungkan. Barangkali sesungguhnya bukan pada kain itu, melainkan lebih pada perlambang penyerahannya. Corak kain itu memaknakan cinta dan pemujaan tersirat. Perempuan mana yang tak menghendaki dua hal itu? Egoisme keperempuananku pastilah menginginkannya. Status dan posisiku seolah mendukungku untuk menjadi pemiliknya yang sah. Maka masa penantian itu menambahkan rasa penasaran yang selalu makin berlapis setiap hari. Hingga hari itu aku tak bertahan membendungnya. Kubuka almari, tapi kudapati kain selendang itu tak lagi berada di sana, tempat di mana dia seharusnya tersimpan. Harapanku pudar seketika. Kuhadapi satu kenyataan bahwa ternyata aku bukanlah merak kinasih bagi suamiku sendiri.”

Tercenung sang tamu demi mendengar cerita itu. Nyaris gagap menemukan kenyataan betapa yang diambilnya sejak masa silam itu adalah sesuatu yang sedemikian berharga bagi pemilik yang seharusnya. Pencuri serupa itu, apakah keji ataukah ulung?
Perempuan tamu itu, lebih memilih berpaling demi menghindarkan diri dari jawaban yang mesti dipilihnya.

“Saya mencurinya malam itu…,” katanya, menundukkan diri.
“Tak seberapa kuingat apa yang kurasakan ketika itu,” perempuan itu tersenyum datar, namun tak menyamarkan kelembutan yang termiliki.
“Pastilah semacam rasa kehilangan atau harapan yang pupus. Tapi, agaknya tidak lama dan aku lebih memilih untuk segera menghilangkannya dari ingatan. Barangkali karena aku tipikal perempuan yang sangat tradisional, kupatuhi selalu wejangan ibuku bahwa seorang istri selayaknya bersikap nrimo tanpa gugatan ini itu demi nama baik keluarga dan ketenteraman kehidupan rumah tangga. Situasi zaman ketika itu sangat mendukung pilihan sikapku. Apalagi bagi seorang istri yang tidak memiliki kemandirian finansial sepertiku.”

“Saya mengerti,” sang tamu mengangguk mengiyakan.
“Atau barangkali aku terlalu mencintai?” perempuan itu bergumam, dalam nada tanya lebih kepada dirinya sendiri. “Mencintai akan membuat seseorang menyediakan sekian banyak pemakluman-pemakluman. Demi cintaku kepada keluarga ini, maka kumiliki pemakluman dalam jumlah yang tak terbatas demi menjaga keluarga ini tetap utuh. Demikianlah, sehingga dengan segera kuhentikan hasratku kepada wastra merak itu dan seperti yang kau lihat sekarang, aku tak lagi mengenali dengan segera selendang itu.”
   
    “Terlalu lama saya menyimpannya. Ini pengembalian yang sangat terlambat, mungkin tak lagi berguna, namun saya harus melakukannya.”
    “Saya menghargai niat baik ini, yang pastilah tidak mudah melaksanakannya. Namun maaf, saya tidak bisa menerimanya,” santun pemilik rumah menyatakan penolakannya.
    “Sekian lama selendang ini besertamu, kau merawat dan menjaganya dengan setia, artinya selendang ini telah menemukan pemiliknya yang sejati, maka janganlah dialihkan, apalagi kepadaku yang tidak memiliki kesetiaan sepertimu terhadap selendang ini.”
    Santun dan teguh penolakan itu, namun sekaligus makin menenggelamkan sang tamu pada sisi gelap masa lalunya. Perempuan itu mendapati dirinya di kegelapan. Sendirian, menanggung beban sejarah silam.
    “Apakah artinya saya tidak termaafkan?” lirih pertanyaan itu terucap.
    “Saat pengakuan dilakukan, maka pengampunan telah diberikan untuk siapa pun yang terlibat di dalamnya. Telah berlalu kisah ini, lunas bertahun silam maka pengembalian selendang ini hendaknya tak lagi ada.”
    “Termasuk diriku?” gamang tanya itu terucap.
    Nyonya rumah mengangguk.
   
“Dalam pengakuannya suamiku mengakui keberadaanmu. Tentang pelarianmu dan upaya pencariannya menemukanmu. Proses itu memberinya sebuah pemahaman bahwa dia mencari yang tak ada, sementara yang tersedia baginya justru terabaikan. Karena itulah, pada suatu hari dia memutuskan untuk kembali pada keluarganya dan menjadikanmu sebagai kenangan. Demikianlah yang dikatakannya kepada kami.”
    Hingga suatu hari sutra Peksi Kondur Sekar Truntum itu terulur padanya, disertai dengan sebuah pengakuan panjang kisah silam.
  
 “Maka berikanlah kepadaku pengampunanmu,” begitu suaminya memohon sembari menyeka sebening basah di ujung mata. “Dan izinkanlah hatiku pulang kepadamu, karena kaulah rumahku yang sesungguhnya. Pertahankanlah aku sesudah ini, jangan membiarkanku menjauh darimu lagi.”
   
Diingatnya sepenuh keyakinan bahwa tak ada apa pun yang terucap dari bibirnya ketika itu. Bukan karena tak ingin, melainkan karena tak mampu dikatakannya apa pun. Segala ragam kosakata seolah hilang belaka dari ingatannya. Oleh karena hatinya sedemikian penuh dengan bahagia, tak tersisa luang sejengkal pun, meski hanya untuk sepatah kata. Diingatnya bahwa dia hanya mengangguk berulang-ulang, mengamini setiap permohonan sembari menggenggam erat jarit sutra. Tanda mata itu miliknya penuh. Menandai  kepulangan seseorang yang dikasihinya dari sebuah perjalanan panjang.
   
Seolah seribu burung beterbangan di langit hatinya, menuju pulang ke sarang demi menemukan kembang setaman yang selama ini terabaikan. Peksi Kondur Sekar Truntum benar-benar mewujudkan harapan yang dilambangkannya.

                                                                                           cerita selanjutnya >>
<< cerita sebelumnya
Penulis: Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?