Fiction
Selendang Penari (3)

30 Aug 2012

<< cerita sebelumnya


PEREMPUAN ITU BERKEMAS
dengan segera. Menabur bedak pada pipi dan dahi yang berkilau. Merapikan dirinya sekali lagi. Dikenakannya selendang menutupi kepala, menyampirkannya melingkar di pundak. Sesudah itu, dia telah siap untuk berangkat.
   
Berdiri di ambang pintu, cahaya matahari sore membias dari balik punggungnya. Matanya menatap lurus, tampak datar meski terbaca bahwa itu adalah upaya menyembunyikan sesuatu. Mata itu seolah berlapis kaca, yang kilaunya menyiratkan perasaan sesungguhnya.
    “Aku pamit,” getar suara menjalari pendengarannya.
    “Sungguhkah harus pergi?” tanya laki-laki itu, masih mempertanyakan niat perempuan itu.
    Mengangguklah perempuan itu.
    “Segerakah kembali?” kalimat itu terucap dalam nada baur antara pertanyaan sekaligus permohonan.
    Terdiam perempuan itu. Barangkali sedang dipilihnya sesuatu yang akan menjadi jawabannya.
    “Mengapakah aku tak mampu meyakinkanmu?” lagi laki-laki itu bertanya. Kali ini seolah mempertanyakan dirinya sendiri.
    Masih terdiam perempuan itu. Entah jawaban apa yang akan menjadi pilihannya.
    “Peluklah aku sekali lagi, sesudah itu kisah kita selesai,” ucap perempuan itu. Pilihan jawaban yang tak terduga.
    Laki-laki itu meraih perempuan itu dalam dekapan.
    “Tidak akan aku melepaskanmu,” katanya, entah janji atau ancaman.
    “Kadangkala ada tarian yang memerlukan dua penari untuk mewujudkannya. Bila salah satunya tak lagi berhasrat, segala gerak akan sia-sia belaka,” demikian perempuan itu mengucapkan kalimat bersayapnya.
    “Hasratku tak akan padam, selalu menyala untukmu,” ucap laki-laki itu sepenuh keyakinan.
    “Hasratku padamu telah selesai.”
    “Ucapanmu itu tak seturut dengan debaran jantungmu.”
    Perempuan itu melepaskan diri dari dekapan. Menjauhkan laki-laki itu dari jalaran debaran jantung di dadanya.
    “Aku akan menemukanmu. Tak akan kau terlalu jauh dariku, karena panggung pentasmu ada di hatiku.”
   
Perempuan itu berpaling. Mengatupkan bibir kuat, demi menahan gejolak yang membadai di dalam dirinya. Langkah kakinya bergegas, menuju bendi yang telah menunggunya di halaman.
   
Seturut laju bendi membawanya pada sebuah arah, seakan menjauh perempuan itu dari sebuah panggung. Bergerak menurun tirai panggung itu, seiring dengan cahaya yang meredup lalu padam.
    Selesailah pementasan.

xxxx

SANG PENGANTIN

Tangan kekasihmu menuntun langkahmu menapak tangga beranda, membawamu mendekat pada seseorang yang seolah menunggu.
“Bibiku, juru selamat yang kuceritakan itu,” begitu kata kekasihmu.
Kalimat sanjungan itu seketika membuat seorang perempuan di depanmu tersipu sumringah. Lebih setengah abad usianya, namun jejak keayuan masa mudanya masih jelas terpeta. Gurat kerut parasnya samar belaka, seolah gulungan waktu enggan menghampirinya. Ataukah karena terpesona pada gerak tubuh yang luwes gemulai itu? Sungguh proses penuaan seakan tak berdaya pada raga perempuan itu.
    “Duh, sejak anak-anak kau selalu menjadi pengambil hati yang mahir,” begitu sang bibi mengerling pada kekasihmu.
    “Tentu tidak pada setiap orang kupergunakan keahlian itu, Bi, melainkan hanya pada hati yang terpilih. Hatimu, hatinya,” begitu jawab kekasihmu sembari memeluk bahumu. Pelukan yang selalu menenteramkanmu.
    “Mari sini, akan kuberikan hadiah istimewa kepada kalian calon pengantin,” jemari Bibi meraihmu, membawa langkahmu mengikutinya.
    “Kuberikan hak khusus kepadamu untuk memilih hadiah pernikahan dari koleksi harta karunku.”
    “Terima kasih. Ini tentu sebuah penghargaan besar bagi kami,” katamu, tulus.
Bibi mengerling,  tersenyum lembut menerima ketulusanmu.
Di ruangan itu Bibi membuka koper besarnya, menghamparkan berbagai jenis kain batik tulis halus. Kain panjang, selendang, pashmina, sutra, brokat, tenun tradisional, sulaman. Itulah ‘harta karun’ para perempuan.
   
Kau tercengang. Atau takjub? Seketika terpicu adrenalinmu melihat koleksi terpajang itu. Nyaris bergegas menghampiri, demi menelusuri jejak sejarah yang tersembunyi di dalam tiap helai kain itu, yang bagimu akan menjadi petualangan menakjubkan.

    “Silakan, tentukanlah pilihanmu,” Bibi mempersilakan.
    “Sungguhkah?!” serumu, nyaris tak percaya.
    “Tentu, pilih dua yang mana saja, kecuali ini.” Bibi menarik sehelai selendang dari sebuah lipatan, melayang sesaat selendang itu ketika Bibi melingkarkannya ke bahu dan membawa ujung selendang dalam pelukannya.
    “Yang ini akan terus menyertaiku, bahkan membungkusku ketika saatku tiba nanti,” katanya, dengan nada bisik serta mata menerawang.
    Matamu menatap selendang itu. Tatapan yang lekat, seolah menyisir tiap utas benang yang terjalin dalam tenunan. Nila indigo warnanya. Burung merak coraknya.
    “Tak seorang pun akan memilikinya, kecuali aku,” lagi Bibi berkata.
Terpejam matanya mencium ujung selendang itu.

”Aku menjemputnya pada suatu malam, tapi dia tertinggal di hari pertama menjadi milikku. Namun, takdirnya adalah besertaku, maka selendang ini pun kembali ke pangkuanku.”

Kau dengar dengan baik ucapan itu, yang lebih serupa bisikan sepenuh perasaan. Pada saat yang sama kepingan sejarah kisah masa lalu bergerak utuh dalam ingatanmu. Membekulah dirimu seketika. Seolah pusaran waktu berhenti, setelah sebelumnya mengisap dan menenggelamkanmu entah sedalam apa. Kedalaman yang tidak menyisakan sehirup oksigen. Seolah dunia berhenti berputar bagimu.
   
Namun, sesuatu di sudut terjauh itu tidak berhenti menjaga ingatanmu. Makin keras upayamu melupakannya, seolah justru terbaca ulang sejarah masa lalu itu. Pada kisah lama itulah kau berada sekarang ini. Seolah memerangkapmu untuk tak beranjak dan mengikat ingatanmu.

xxxx

SANG PENARI
Tak pernah lama perempuan itu menetap pada sebuah kota. Seolah setiap kota hanya serupa persinggahan belaka. Bukan karena kota-kota itu tidak menghendakinya, bukan pula karena lingkungan baru tidak ramah baginya, melainkan karena ada bayang-bayang yang senantiasa mengikuti. Ke mana langkahnya menuju, seturut itu pula bayangan mengarah.
   
Bukan bayangan laki-laki yang tak menginginkan kepergiannya, melainkan bayang seorang anak perempuan. Di belahan pintu terbuka anak itu berdiri. Dengan belalak sepasang mata yang tak enyah dari ingatan.
   
Tak terhitung panggung yang telah dijelajah perempuan itu. Beragam pementasan telah pula dilakoninya dengan gemilang. Dialah sang penari utama, yang selalu berada di pusat panggung, arah utama cahaya. Gemuruh tepuk tangan dan ketakjuban tatap mata adalah untuknya belaka. Itulah gairah panggung, yang memicu adrenalin untuk melakoni pentas demi pentas.

Hingga kemudian sampailah dia di panggung nyata dengan seorang penonton tunggal. Anak perempuan di belahan pintu terbuka. Tak disangka bahwa malam itu akan dilakoninya sebuah pentas tak terduga.
   
Laki-laki itu menciumi bahunya yang terbuka, sementara ia membersihkan parasnya dari pulas riasan. Riasan panggung senantiasa tebal, demi supaya kecantikan sang penari tetap terlihat oleh semua penonton di kursi yang terjauh dari panggung sekalipun.
    “Aku punya hadiah khusus untukmu,” bisik laki-laki itu, tanpa menghentikan kecupannya.
    “Apakah itu?” perempuan itu mengerling.
    “Selendang sutra. Kupilih pembatik khusus untuk membuatnya bagimu.”
    “Ada di mana kain itu sekarang? Segeralah berikan padaku,” manja perempuan itu meminta.
    “Segeralah berkemas, ikut denganku.”
    Segera pasrahlah dia pada gandengan laki-laki itu, yang membawanya pada sebuah rumah. Tercenganglah sang penari mendapati rumah itu.
    “Astaga!” serunya, pura-pura terkejut. “Kau bawa aku ke rumahmu? Apakah kau ingin aku berkenalan dengan istrimu?”
    “Tentu tidak, dia sedang bermalam di rumah ibunya,” bisik laki-laki itu, sembari terus menuntun sang penari menelusuri rumah besarnya.
    Berpendar takjub mata perempuan itu kala masuk pada sebuah kamar dan mendapati dipan berkelambu putih samar.
    “Ranjang itu, alangkah indah, berharum melati!” serunya, seraya membelai lembut dipan bertilam putih tulang itu. Segenggam melati menguarkan aromanya dari mangkuk kuningan di meja rendah.
    “Suka?” bisik laki-laki itu dengan tatap mata merayu. “Bayangkan betapa sempurna bila indah dan harumnya berpadu dengan elok dan wangimu.”
    “Akankah menjadi malam kita yang tak terlupakan?”
    “Sudahlah pasti,” jawab laki-laki itu, sembari meraih sesuatu di almari.
Selendang warna indigo bercorak burung merak yang memekarkan sayap-sayapnya. Melayang sesaat helaian sutra di udara, saat laki-laki itu menggerakkan dan mengalungkannya pada perempuan penari. Seiring gerak rebah selendang itu menyelimuti dirinya, rebah pula perempuan itu pada dekapan pemberinya.
   
Benarlah kemudian bahwa malam itu menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Namun, bukan oleh karena indahnya, melainkan karena pintu terbelah terbuka dan menghadirkan seseorang yang ikut terbawa serta dalam kebersamaan itu.
   
Seorang anak perempuan, penonton tunggal yang menyaksikan tubuh telanjang sang penari, ketika ikatan selendang yang membungkus tubuh itu terlepas simpulnya.
   
Terenyak sang penari. Beku oleh tatapan sepasang mata bocah. Bertelanjang demi tatap mata pemujanya bukan sesuatu yang asing baginya. Tak hendak terhitung malam-malam yang terlalui dengan para pemuja yang terjerat tebar pesonanya. Terlalui semua itu tanpa beban, apalagi rasa bersalah. Bahkan, dinikmatinya pemujaan itu dengan rasa tersanjung dan imbalan-imbalan yang diterima adalah haknya belaka. Bukankah tak ada yang percuma dan gratis di dunia ini? Menikmati pemandangan mekar bunga di taman ataupun melihat hewan-hewan terkurung di kebun binatang pun harus membayar karcis tanda masuk. Apalagi demi menikmati keindahan seorang perempuan….
   
Namun, ketika sepasang mata penatap itu adalah mata bocah, yang tak hendak menikmati, melainkan mencari ibunya, maka ketersanjungan di dalam diri perempuan itu nihil seketika.
Rasa tersanjung yang tak pernah tumbuh kembali.


                                                                                 cerita selanjutnya >>


Penulis: Sanie B. Kuncoro



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?