Fiction
Selendang Merah [2]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Rindang tidak akan jadi tandak, tetapi mau sekolah yang tinggi,” jawab Emak, mantap.

“Sekolah tinggi? Memangnya kamu punya biaya?” sergah Sulas, sambil mencibir.

Emak tersenyum, tak terpancing kata-kata Sulas. “Kalau kita punya keinginan yang kuat, selalu saja ada jalan.”

“Alaaah… anak tandak saja mau sekolah tinggi….”

Aku tak suka mendengar Sulas bicara dengan nada sinis seperti itu. Kalau saja Emak mengizinkan, aku ingin menimpuk kepala Sulas yang mengenakan konde itu dengan batu kali. Memangnya kenapa kalau anak tandak bercita-cita sekolah tinggi? Dan, itu memang telah menjadi cita-citaku bersama Emak.

“Ayo, Rindang. ke sini Bantu Emak mengeluarkan peralatan rias,” kata Emak.

Aku segera mengeluarkan peralatan Emak dari dalam tas. Tiba-tiba mataku menangkap gerakan di balik kelambu. Banyak jari-jari menyingkap kelambu dan berpasang-pasang mata mengintip ke dalam ruang sempit pengap ini. Berpasang-pasang mata pria liar yang lapar. Aku tidak tahu untuk apa mereka melakukan itu, tetapi aku tidak suka melihat mata liar mereka.

“Emak, kenapa orang-orang itu mengintip?” tanyaku, polos.

Sulas tertawa terbahak-bahak. “Rindang… Rindang…. kamu harus tahu, Nak. Begitulah pekerjaan seorang tandak. Menjadi pemuas pria.”

“Tutup mulutmu, Sulas!” bentak Emak, marah. “Tak semua tandak berlaku seperti yang kau katakan!”

“Apa kau merasa dirimu begitu suci?” tantang Sulas. “Lalu, kenapa kau membiarkan dirimu dibawa pejabat kabupaten itu?”

“Bukan urusanmu!” jawab Emak, sengit.

Seorang tandak lain melerai mereka. “Sudah… sudah, jangan bertengkar begitu, tidak baik didengar orang.”
Aku melihat muka Emak memerah. Matanya seolah menghindar dari tatapan mataku yang bertanya-tanya. Pejabat kabupaten? Siapa dia?

Sejak Bapak meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, Emak makin sering tanggapan. Karena, dari sanalah Emak mendapatkan uang untuk hidup. Emak sangat mencintai Bapak dan berjanji tak akan menikah lagi, setelah kepergian Bapak. Emak memang ingin menyekolahkan aku hingga sarjana, namun dari hasil kerja kerasnya sendiri, bukan dari bantuan orang lain.

Tetapi, siapa pejabat kabupaten itu? Apakah Emak juga seperti Sulas? Sering dibawa pria di tengah malam dan pulang esok harinya?

“Ambilkan gincu Emak, Rindang….”

Aku tergeragap dari lamunan. Kuambilkan sebuah lipstik dan kusodorkan pada Emak. Lima tandak yang lain sudah selesai merias diri. Wajah mereka terlihat lain dari biasanya. Rambutnya disasak tinggi, lalu dipasang konde. Sekarang mereka mengenakan kain dan kemben.

Aku melihat kelambu tak lagi bergerak, karena sudah terlepas dari tempatnya. Berpuluh pasang mata pria berebut melihat ke dalam ruang sempit pengap. Mereka seperti ingin menelan para tandak itu hidup-hidup. Mulutnya mengeluarkan kata-kata tak senonoh kepada para tandak. Aku jijik melihatnya.

Kualihkan pandanganku pada Emak. Pakaiannya tetap lengkap saat merias diri, bahkan nyaris tertutup. Emak juga pindah ruangan, ketika mengganti pakaiannya dengan kain dan kemben, ia tidak membiarkan tubuhnya dilahap banyak mata yang liar itu. Emak memang pantas menjadi primadona tandak yang sesungguhnya. Persis seperti kata semua orang. Dan, aku mengaguminya.

Gemiwang, Maret 1985

Ini hajatan besar. Juragan Jaring menikahkan anak perempuannya dan mengundang hampir semua tandak di kampungku untuk menari. Aku yang selalu menonton setiap pertunjukan tayub, tak melewatkan kesempatan ini.
Duduk di samping wiyaga yang menabuh gamelan, aku tak perlu berdesakan dengan orang-orang, di antaranya teman-teman kecilku. Kurasa ini memang pertunjukan tayub paling ramai. Penonton dari luar kampung berdatangan.

Bunyi gamelan itu terdengar harmonis. Wiyaga menabuh gong, dipadu kendang dengan irama rancak saling menjalin, memacu semangat penari tayub bergoyang tanpa lelah. Tubuh Emak yang sintal ikut bergoyang pelan, bahkan terkadang nyaris tak bergoyang.

Emak menutupi bagian dada atasnya yang terbuka dengan selendang merah kesayangannya. Menurut Emak, Bapak yang membelikan selendang merah itu sewaktu mereka pertama kali bertemu. Sesekali Emak mengibaskan selendang merah itu dengan lincah. Mata kejoranya melirik ke arahku dan aku melambaikan tangan. Kalau sudah begitu, kami akan saling tersenyum. Aku tak pernah melihat mata Emak melirik ke arah pria-pria di pinggiran panggung. Emak selalu bermain mata denganku, anaknya.

Seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai pengarih (yang membantu mengarahkan acara), mengedarkan nampan ke arah tamu undangan dan pengunjung. Beberapa orang tampak meletakkan sobekan kertas di nampan beserta uang kertas untuk bayaran walik gendhing (orang yang membantu mengubah daftar lagu). Bermacam-macam jumlahnya, antara seribu hingga sepuluh ribu.

Lalu, di saat jeda menari, Emak sebagai primadona para tandak, membacakan pesanan walik gendhing dari pengunjung. Kebanyakan pemesan ingin Emak yang nembang sekaligus menari. Tetapi, biasanya, dengan sopan Emak selalu berbagi dengan kawan-kawan tandak yang lain dan pemesan tak keberatan.

“Gendhing Asmarandana ini dipesan oleh Bapak Handoko…,” kata Emak, dengan nada tak seperti biasanya.
Aku seperti mendengar getar dalam suara Emak. Mata kejora Emak mencari Handoko ke arah deretan kursi tamu paling depan. Di sana biasanya tempat duduk orang-orang penting di kampung ini.

“Sampurnya (selendangnya), Mas. Bapak Handoko akan menari bersamaku….”

Aku mengernyit. Sejak Bapak meninggal, Emak tak pernah secara khusus mengundang pria untuk menari bersamanya. Siapa pria itu, hingga Emak mengubah kebiasaannya? Kulihat di sisi panggung yang lain, Sulas melirik cemburu dan tandak-tandak yang lain saling tersenyum.

“Monggo, Bapak Handoko…,” ajak Emak, setengah genit.

Aku tak suka mendengar suara Emak kali ini.

Pria pengarih membawa nampan berisi sampur ke arah Handoko. Tapi, Handoko menolak dengan halus. Sikapnya juga terkesan sangat sopan. Ia membisikkan sesuatu kepada pengarih, yang kemudian menyerahkan sampur itu ke pria di samping Handoko. Pria di samping Handoko mengambil sampur dalam nampan dan mengalungkan di lehernya, lalu maju ke tengah panggung. Pengarih menghampiri Emak dan membisikkan sesuatu di telinga Emak.

“Bapak Handoko tidak berkenan menari, namun hanya ingin mendengarkan gending ini. Baiklah, tembang Asmarandana ini khusus saya persembahkan kepada Bapak Handoko…,” kata Emak, masih dengan nadanya yang genit dan membuatku makin tak suka.

Wiyaga kembali menabuh gamelan. Suara Emak yang merdu terdengar serasi dengan alat musik itu. Tembang Asmarandana mengalun. Satu per satu para tandak memasuki panggung, berjajar untuk menari, kecuali Sulas yang memilih duduk diam di sisi panggung dengan muka masam.

Pria-pria yang menari berpasangan dengan para tandak juga mengambil posisi berhadapan dengan para tandak. Pria yang berpasangan dengan Emak kelihatan terlalu bersemangat menari. Matanya juga jelalatan.

“Mau kembang gula, Nduk?” seorang wiyaga menyodorkan piring berisi kembang gula padaku.

Makanan berwarna merah jambu dari parutan kasar kelapa muda yang di campur dengan gula itu memang makanan kesukaanku. Biasanya aku dan teman-teman selalu berebut kembang gula di setiap pertunjukan tayub. Kali ini aku bisa menikmatinya sendiri tanpa gangguan teman-teman.

“Ayo, ambillah! Biar ndak ngantuk.”

Aku mengambil kembang gula dan menggigitnya pelan-pelan. Rasanya berbeda dari kembang gula yang pernah kumakan. Kali ini kelapanya lebih muda dan terasa lebih enak. Mungkin karena yang punya orang kaya, jadi kembang gulanya juga lebih enak.

“Aku taruh di dekatmu ya, Nduk. Kalau mau lagi, ambil saja,” kata wiyaga itu lagi.


Penulis: S. Tary




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?