Manusia mengeluarkan feromon setiap saat. Sedangkan pada hewan, feromon hanya keluar pada masa-masa tertentu, yaitu setiap menjelang masa reproduksi. Tapi, kenyataannya feromon lebih mudah terdeteksi pada hewan. Biasanya bau tubuh manusia sudah ‘terkontaminasi’ banyak hal, seperti keringat, parfum, atau bau-bauan lain dari lingkungannya. “Terlalu sering mandi juga dapat membuat feromon kita memudar,” kata dr. Anita.
Saat sudah terkontaminasi, bukan berarti feromon tak lagi bekerja. “Sering kali, justru feromon harus dibantu bau-bau lain supaya bisa memicu gairah penciumnya, misalnya keringat, minyak wangi, atau aftershave pria,” kata dr. Anita. Uniknya, ketika kita mencium bau tubuh seseorang, belum tentu, lho, kita akan langsung tertarik dan berdebar-debar. Reaksi penerima atau pencium feromon ini bisa positif dan negatif.
Meski banyak orang telah memercayai efek feromon, hingga saat ini keberadaannya pada manusia masih menjadi perdebatan. Richard Doty, seorang peneliti dari Penn State University's School of Medicine, Amerika, yang mempelajari rahasia di balik feromon, menyimpulkan bahwa feromon hanyalah buatan pikiran manusia saja.
Dalam bukunya yang berjudul The Great Pheromone Myth, Richard menjelaskan bahwa interpretasi bebauan hanyalah proses kimiawi yang terjadi di sel-sel otak. Sedangkan perilaku manusia dalam memilih pasangan juga dipengaruhi lingkungan dan kondisi hati saat jatuh cinta atau tertarik secara seksual pada orang lain. Dalam hal ini, dr. Anita sependapat. “Feromon bukan satu-satunya pemicu gairah seksual. Hal-hal lain seperti wajah, bentuk tubuh, sikap, pembawaan, karakter, dan penampilan, juga sangat berpengaruh,” imbuhnya. (f)
Taukah Anda bahwa setetes Aromaterapi dapat meningkatkan gairah seks Anda? Baca di sini!