Fiction
Secangkir Espresso Kedai Ong [1]

9 Dec 2013


Oleh: Cepy Hidayaturrahman

Di sudut kedai ini, bermandikan matahari jingga yang menerobos jendela, kamu duduk selang dua meja dariku. Dekik pipimu menampar-nampar mata. Binaran mata yang bersemayam di balik kacamata berbingkai tebal, tertuju pada sebuah buku yang tergenggam oleh kurus lentik jemarimu. Ingin rasanya membelai ombakan rambutmu yang terurai bebas, hingga jiwaku terhanyut oleh pusaran yang bermuasal dari entah.

Cangkir putih kamu kaitkan dengan anggun oleh tekukan telunjukmu. Bibirmu mendarat menciumnya. Ah, beruntung sekali cangkir putih itu. Tebersit dalam benakku, kamu berhak merejang bintang-bintang yang berkelip-kelip setiap malam keping demi keping, karena mereka tak mampu bersinar sebenderang auramu.

Pura-pura, aku melengos ke wastafel. Berlagak cuci tangan, padahal diam-diam memandangimu dari cermin di hadapanku. Lagi, batinku kian pasang: andai ada kapal yang melintas di segara jiwaku, kapal itu bakal terombang-ambing, terempas, karam.

Aku terkesima. Cermin pun seolah mengelapi noda-nodanya sendiri demi kesempurnaan sosokmu yang terpantul daripadanya. Siapa gerangan namamu? Apakah seindah nama keturunan keraton, menak, bangsawan, ataukah senorak nama panggung artis ibu kota karbitan?

Sungguh, aku tak memedulikan siapa namamu. Yang kupedulikan, bagaimana caranya menaklukkan perempuan semenawan dirimu. Atau, apa topik bincangan yang paling tepat supaya kamu rela berbagi suaramu sedikit boros ke telingaku, tidak sepenggal kata lantas kamu kembali terdiam? Atau, kepedulian yang lebih mengerucut, di manakah tempat penitipan rasa malu, hingga diriku tak lagi ragu menghampiri mejamu, memaksamu menengadahkan kepalamu yang kerap tertunduk menghadap buku?

Seperti terekam pada notes di ponselku, empat kali sudah kita bertemu. Di kedai yang sama, di meja yang sama, pada senja yang sama. Kamu pun melakukan hal yang sama:  selalu tenggelam dalam buku yang selalu digenggam oleh jemarimu itu tanpa mengindahkan sepercik pun kehadiranku yang tak henti ternganga takjub oleh pesonamu diam-diam.

Hari Jumat, menurut ustaz di kampungku dulu, ialah hari penuh kemuliaan. Juga hari keberuntungan. Itu cukup jadi dalihku untuk memberanikan diri melakukan sesuatu untukmu senja ini. Aku meminta barista, yang sudah kukenal baik sebagai teman, untuk menghidangkan minuman yang saban senja kamu pesan itu. Dari mulut barista itu pun akhirnya aku tahu. Empat senja kemarin, kamu selalu memesan minuman yang sama. Secangkir espresso pekat. Tanpa gula. Tanpa susu.

Aku keheranan. Sampai-sampai hatiku tergelitik dan tertawa dalam hati, perempuan secantik dirimu ternyata memesan minuman yang luar biasa pahit, bahkan tanpa dibubuhi gula atau dibubuhi susu. Selera aneh, batinku.

Ya, memang. Espresso itu harum. Dihidangkan dalam waktu singkat di cangkir kecil, dengan kadar air yang sedikit. Tapi, seharum apa pun, tetap saja pahit di lidah, bukan? Ah, perempuan aneh sering kali menimbulkan berjuta kepenasaran.

Apa lacur, “Hidangkan perempuan itu secangkir espresso kesukaannya,” pintaku kepada barista. “Ingat, cangkirnya harus putih, tandasku.”

 Sebuah buku masih saja berada di genggamanmu. Lima hari ini, kamu membaca buku dengan judul sama. Seratus Tahun Kesunyian. Gabriel Garcia Marquez. Novel yang rumit dan kelam, tidak sembarang orang rela berlama-lama membacanya: baru dua-tiga halaman, aku sudah mengempaskan novel itu.
“Silakan, Nona. Espresso dalam cangkir putih seperti biasa.” Barista mulai menunaikan tugas dariku.
“Terima kasih,” timpalmu seraya menunda bukumu sejenak. Suaramu, baru kudengar suara manusia sebening itu. “Tapi, sepertinya saya belum memesan apa pun.”

Barista itu tersenyum, kemudian melirikku. Aku pura-pura serius dengan laptop. Padahal detak jantungku memelan. “Ada orang yang sengaja memesan untuk Anda, Nona. Orang yang diam-diam menyukai Anda.”

Sedikit terkejut, namun kamu tersenyum. “Siapa?” Barista itu menggedikkan bahu, “Tidak penting menyebut namanya, katanya. Katanya juga, dia suka melihat Nona membaca buku, dan menyeruput espresso dalam cangkir putih ini.”

Kamu, perempuan berkacamata yang membuat penasaran itu, tertawa renyah. Senang sekali menyaksikan kamu tertawa, setelah empat hari kemarin cuma bisa melihat sosokmu yang  sunyi penuh kepenasaran, persis novel yang kamu baca.
“Sampaikan salam kepadanya, saya menyukai pemberian dia.”

Barista menggeleng cepat-cepat. “Oh, tidak. Dia bilang, ini bukan pemberian. Ini hanya ucapan terima kasih karena Nona sudah membuat dirinya senang.”
 Aku tergelitik kala melihat dahimu mengerut. “Jangan-jangan, espresso ini dari manajer kedai? Dia senang karena saya menambah profit beberapa puluh ribu rupiah saja?”

“Bukan. Sama sekali bukan. Manajer kedai belum pernah memberi apa pun terhadap pelanggan, Nona.”
"Ah, tidak. Dia sudah memberi. Buktinya, saya merasa diberi ketenangan di sini.”

Mataku masih pura-pura serius di muka laptop. Sepasang telingaku seakan membesar karena berusaha menguping pembicaraan antara kamu dengan barista.

 “Itu sudah kewajiban kami, Nona. Saya harap, Nona kerasan berlama-lama di sini. Menghabiskan senja, sama seperti kebiasaan si pemesan espresso ini.”
“Terima kasih. Sudah lama saya ingin merasakan ketenangan semacam lima hari belakangan. Baru kali ini saya merasa tenang. Saat senja menjelang, saya keluar dari hotel, berjalan kaki ke kedai ini. Hanya untuk membaca buku  dan menikmati secangkir espresso. Menikmati senja.”

“Hotel? Maaf, Nona. Anda bukan berasal dari kota ini?”
Kamu tersenyum memamerkan putih gigimu yang berbaris rapi. “Bukan, emm… siapa namamu?”
"Bila berkenan, panggil saja Faris.”
“Ya, Faris. Saya dari Semarang. Sudah lima hari saya bertetirah ke kota ini. Besok saya kembali.”
“Sayang sekali. Padahal, setelah espresso, sepertinya akan ada ucapan terima kasih berikutnya yang bakal dia haturkan kepada Anda, Nona.”
“Saya suka cara dia. Tidak seperti orang yang pernah mengaku mencintai saya. Sekarang, dia lenyap tanpa jejak. Saya tidak punya teman sekarang.” Kepalanya menunduk.

Faris yang sedari tadi lurus-lurus saja, melongo. Tidak seperti sebelumnya, dia tidak mampu menimpali pernyataanmu. Dia berdiri mematung.
“Kini, baru saya percaya. Cinta sejati mustahil saya temui.”
Ada, cinta yang mulai tumbuh pada lima senja belakangan ini, Nona espresso.
“Saya sudah beristri, Nona. Punya anak kembar pula. Bukankah ini terjadi lantaran cinta?”
“Kau beruntung. Mungkin istrimu bukan perempuan seperti saya yang aneh, keras kepala, tak mau diatur.”
“Saya kecewa pernah berlebihan mencintainya. Sedang dia?” katamu seraya tersenyum kecut. “Omong kosong dengan cinta.”
“Kini saya sampai  pada titik terakhir, menurut batin saya. Cinta tidak perlu ditunjukkan. Sekadarnya saja. Bila berlebihan, lihatlah diri saya sebagai bukti. Saya tinggal menunggu guratan takdir.”

Aku dapat memahami kondisi Faris saat menyimak kamu bercerita tentang dirimu. Dia membisu. Barangkali trenyuh, atau   tak memercayai apa yang dengan lancar kamu ruapkan dari mulutmu. Oh, bukan. Dari hatimu. Hanya tatapan iba satu-satunya yang bisa Faris perbuat.

“Hei, kenapa saya jadi melankolis di depanmu?” kamu tertawa pelan mengaburkan pilu. “Ini berkat espresso yang kerap membangkitkan masa lalu. Sekali lagi, terima kasih atas pelayanan lima hari ini. Dan secangkir espresso terakhir  pemberian seseorang yang enggan menyebut namanya itu. Saya suka.”

“Kami merasa tersanjung, Nona. Selain salam tadi, ada yang ingin Nona sampaikan kepadanya?”
“Sampaikan, sampai jumpa kepadanya.”
“Baik. Pasti saya sampaikan.”  

Kamu banyak berbicara saat itu. Aku tepekur. Lama sekali, sampai kamu beranjak saat senja tersibak malam, aku masih terpaku di sini. Di meja selang dua meja dari mejamu.

Hari Senin penuh kemalasan diperparah oleh duka pada senjanya. Mungkin benar, rasa sesal bisa lebih menyakitkan ketimbang tikaman benda tajam jenis apa pun. Aku mencabik-cabik diriku yang tak sempat bersentuhan denganmu: hanya espresso, ucapan terima kasihku yang mendarat di bibirmu.

Aku kehilangan. Dari barista yang juga kawanku itu, aku tahu, kamu kembali ke Semarang, kota kelahiranmu. Kamu cuma menghabiskan seminggu hidupmu di sini, menandaskan penghujung usiamu, yang divonis dokter tinggal satu minggu. Dan kamu memilih melesapkan usiamu di kota ini, kota yang dihiasi hujan sepanjang tahun. Dan di kota ini, kamu memilih menikmati senja di Kedai Ong yang kusambangi saban hari, saban senja.

Sekarang aku pun tahu, mengapa kamu memesan minuman yang sama tiap senja. Walau pahit dan pekat, espresso tidak menyisakan ampas. Begitu yang kuketahui dari Faris. Mungkinkah lantaran rasa espresso itu sepahit hidupmu yang dikhianati penyakit sekaligus kekasihmu? Atau, walau guratan takdir hidupmu pahit, kamu takkan meninggalkan jejak kepahitan itu terhadap orang-orang yang pernah bersinggungan denganmu? Ya, kamu berhasil. Seminggu saja, kamu berhasil menyiratkan secarik kenangan dalam benakku yang tidak akan pernah lekang untuk kukenang.

Seminggu sudah cukup untuk mengamatimu lekat-lekat selang dua meja dariku. Seminggu sudah cukup membiarkan dadaku berdebar lebih keras saat kamu mendapatiku tengah mencuri-curi pandang, dan kamu pun tersenyum. Ingin rasanya menyentuh lesung di pipimu itu, namun takkan pernah bisa. Seminggu sudah cukup untuk mendapatimu tercenung saat barista itu menjelaskan, kamu tidak perlu menebus secangkir espresso ataupun tip pada Jumat senja itu. Dan setelah itu kamu pun menoleh kepadaku dengan seulas senyuman. Tapi seminggu tidak akan pernah cukup untuk menghentikan langkahku sepulang dari kantor di seberang sana ke Kedai Ong untuk meluruhkan senja.

Aku akan selalu merindukan senja di Kedai Ong. Dengan menikmati senja, seperti senja Senin ini yang tengah nestapa, aku dapat menyaksikan pesonamu di sana. Duduk tenang sembari menggenggam buku dengan judul sama, Seratus Tahun Kesunyian, di meja selang dua meja dariku. Kamu tersenyum ke arahku. Manis sekali.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?