Fiction
Satu Kata Maaf [5]

20 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Mei 1987
Ketika ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan tinggi sudah dekat, aku memaksimalkan seluruh waktu yang tersiksa untuk berlatih soal-soal.

Di kamar bekas Oma, yang akhirnya menjadi kamar pribadiku, aku tergeletak letih, setelah menggarap setengah buku latihan fisika. Sudah pukul satu dini hari. Mataku penat luar biasa. Terdorong isi kandung kemih yang penuh karena dua cangkir kopi, aku melangkah ke kamar kecil. Sejenak langkahku terhenti, berganti menjadi rasa ingin tahu, ketika sayup-sayup kudengar suara percakapan dari kamar Tante Lin.

“Kau tidak perhatikan bahwa dia makin tertutup dan makin menjauh dari kita sejak peristiwa itu?”

“Ah… itu karena dia terlalu cengeng. Dia harus belajar menghadapi kerasnya hidup, harus belajar menerima kegagalan.”

“Jangan terlalu keras padanya, Giok. Bukan salah Mei Cen dia lahir cacat, ‘kan? Dia pasti sangat menderita karena keadaannya. Mestinya, kau bisa bersikap lebih baik, karena dia menderita akibat kesalahanmu dulu. Kalau saja kau tidak gegabah minum segala macam ramuan obat dari sinse itu, pasti tidak akan begini kejadiannya!”

“Aku tidak pernah tahu bakal begini kejadiannya! Sinse Wang paling terkenal di daerah ini, obat-obatnya selalu manjur. Tidak ada yang pernah menyangka anak itu lahir cacat, Lin! Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Pedih rasanya. Setiap kali mengingatnya, aku teringat pada pria gila itu. Aku melakukannya karena terpaksa. Kau tahu, ‘kan? Aku terpaksa, aku takut, aku tidak punya pilihan lain.”

Cepat-cepat kubekap mulutku sendiri, sebelum jeritannya keluar. Lututku lemas dan saling beradu, hampir tak kuat menyangga tubuh. Astaga, jadi ini rahasia besar yang selama ini sengaja disembunyikan mereka berdua? Mama berniat menggugurkan kandungan. Itu berarti, dia ingin membunuhku, melenyapkanku? Anaknya sendiri? Bagaimana mungkin dia tega berbuat begitu?

Sampai kokok ayam terdengar nyaring di pagi hari, aku masih tergolek dengan mata sembap. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Benakku dipenuhi banyak pertanyaan, ketidakpuasan, ketidakpahaman. Cintakah Mama padaku? Mengapa ia bisa setega itu? Mengapa tidak langsung dibunuhnya aku ketika lahir dulu? Bukankah ia terbebas dari masalah? Tapi, masalah apa yang membuat Mama bisa mengambil tindakan senekat itu? Apa hubungannya dengan seorang pria yang disebutnya kemarin?

Keadaan rumah kebetulan sedang sepi ketika kutemui Mama di dapur pagi itu. Sambil mengiris sayuran, sesekali ia mengaduk se-panci besar bubur di atas kompor. Aku berdiri mematung, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melihat padaku sekilas, tapi Mama tetap asyik dengan kegiatannya, tak terusik oleh kehadiranku.

“Kenapa selama ini Mama berbohong padaku?”

“Bohong apa?”

“Mama berbohong tentang cacatku! Mama pernah bilang, tangan dan kakiku tak berkembang karena aku anak perempuan yang pertumbuhannya tak sepesat anak laki-laki. Lalu, Mama berganti cerita bahwa aku cacat karena waktu sehamil dulu Mama melanggar pantangan memotong kaki ayam. Tapi, kenyataannya, cacat ini terjadi karena disengaja. Betul begitu, ‘kan?”

“Hei, kamu ngomong apa, sih? Pagi-pagi sudah meracau!”

“Sekarang, Mama mau mengarang cerita baru lagi? Sudahlah, terus terang saja! Mama pernah ingin menggugurkanku, bukan?”

Saat itulah Mama berbalik menghadapku. Kedua tangannya berkacak pinggang, lalu menudingku lurus-lurus. “Hei, jangan asal kalau ngomong! Siapa yang bilang begitu?”

“Tak perlu berkelit lagi, Ma. Mei Cen sudah dengar semua percakapan Mama dan Tante Lin tadi malam. Sebenarnya, obat apa yang Mama makan sampai aku lahir begini? Obat yang sengaja Mama pesan pada Sinse Wang supaya janin di perut Mama tidak berkembang lagi? Obat yang sengaja Mama beli, Mama minum setiap hari, supaya janin itu mati seketika? Tapi, sayangnya, janin itu tidak mati, bukan? Janin itu membesar, tidak mempan oleh obat. Janin itu tetap hidup, dengan segala kekurangan. Mei Cen ingin tahu, bagaimana perasaan Mama sewaktu melihat bayi cacat itu untuk pertama kalinya?” Mukaku memerah ketika mulai mengucapkan dakwaan.

Dengan raut wajah tegang Mama terpaku. Sesaat kupikir dia akan menamparku, seperti kebiasaannya kalau sedang marah. Dalam tempo singkat, Mama berhasil menguasai kekagetannya dan berucap dengan nadanya yang khas, datar tanpa emosi.
“Kau tidak akan bisa mengerti.”

“Apa yang tidak aku mengerti? Bahwa Mama tidak menghendaki aku lahir? Bahwa Mama sengaja ingin membunuhku?”

“Kamu tidak bisa mengerti! Mama sebenarnya sayang padamu.”

“Sayang? Coba katakan sekali lagi. Sayangkah namanya jika menggugurkan anak sendiri? Sayangkah namanya jika membohongiku selama ini? Sayangkah namanya jika selama ini Mama bersikap tidak adil padaku? Aku mohon, jangan bohong lagi. Aku cuma ingin tahu, kenapa? Apa salahku? Apa salahku sampai Mama ingin membunuhku?” aku memekik.

“Salahmu adalah karena kau lahir bukan di saat yang tepat!” bentak Mama menggelegar, sambil memukul meja.

“Papamu yang gila perempuan itu pergi begitu saja meninggalkan rumah ini, kawin lagi di kota lain. Dua bulan kemudian, Mama baru sadar bahwa Mama hamil. Dalam keadaan bingung, datanglah kabar bahwa papamu meninggal karena kecelakaan. Mama makin bingung dan panik, karena ternyata ia tidak meninggalkan warisan apa-apa, selain rumah tua ini. Masih belum cukup, rupanya papamu sering main judi dan utangnya bertumpuk di mana-mana. Kalau kamu jadi Mama, apa yang akan kamu lakukan? Seorang janda dengan enam anak, ditambah satu calon anak di kandungan, tanpa penghasilan sama sekali. Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Kalau kamu dibiarkan lahir, kamu hanya akan menderita dalam kemiskinan.”

“Mama mengorbankanku?” Aku tercekat dengan pahit.

“Mama bingung, tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang tidak punya, sementara semua orang di rumah ini perlu makan, belum lagi memikirkan soal utang. Mama tidak sanggup menambah beban lagi dengan mengurusi bayi.” Begitu tenangnya Mama bicara. Aku ternganga, nyaris tak percaya. Air bening dari pelupuk mataku berjatuhan satu-satu.

“Aaa… apakah Mama sedih melihat keadaanku waktu itu?”

Sejenak Mama diam, lalu katanya, ”Ya, Mama sedih. Tapi, jangan dibicarakan lagi. Lupakan saja. Yang lalu biar saja berlalu.”

Hah, enak saja Mama bilang begitu! Apa dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mengakibatkan tangan dan kakiku cacat? Hati dan jiwaku juga tergoncang? Apa dia lupa, gara-gara perbuatannya itu, sepanjang hidupku aku harus dijejali oleh segala macam hinaan dan olok-olok?

Dengan lunglai dan tertunduk, aku kembali ke kamar, membenamkan diri sepanjang hari di sana. Tanpa perlu diberi tahu pun, aku sudah paham bahwa pembicaraan ini sudah usai. Jelas sekali bahwa Mama tidak mau mengakui kesalahannya, malah memasang tameng pembelaan diri dengan rupa-rupa alasan yang mengatasnamakan ‘kemanusiaan’. Sungguh indah!

Baru aku sadar, dari dulu seolah ada tembok penghalang antara aku dan Mama. Ternyata, Mama menolak kehadiranku. Bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku dengan sepenuh hati, bila ia tak pernah mengharapkan kelahiranku? Ini pukulan terhebat yang pernah kualami. Rasa kecewa karena tidak dicintai oleh teman dan saudara kandung masih bisa kuatasi. Tapi, tidak dicintai oleh ibu sendiri? Tidak, aku tidak sanggup menanggungnya!

Setelah konfrontasi yang mengejutkan itu berlalu, hubunganku dengan Mama makin berantakan. Setiap kali berpapasan, aku membuang muka. Makanan yang disediakannya pun tak pernah kusentuh lagi. Sebisa mungkin, aku menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah.Tapi, apa daya, konsentrasiku pecah.

Pekerjaan rutinku kini hanyalah bergelung memeluk bantal dan menangisi nasib. Sejak kecil aku senantiasa diolok, diperlakukan seperti makhluk aneh, dijauhi seolah aku adalah penderita penyakit yang menyebarkan virus mematikan. Tak punya teman, tak punya kekasih.Aku tak perlu mengalami semua ini, kalau Mama tidak mencoba menggugurkan kandungannya dulu. Itu sebuah upaya pembunuhan. Itu suatu kesalahan, bukan?

Berbagai pikiran buruk berebut datang menghampiri. Masa depan, apakah engkau masih menyisakan sedikit tempat bagiku? Kalaupun ada, yang seperti apa? Menjadi penghuni panti cacat seumur hidup, sendirian dan kesepian? Atau… menadahkan tangan, menjadi pengemis di pinggir jalan? Apakah kelak ada pria yang mau menikahiku? Di manakah kesembuhan? Di manakah keadilan? Aku tak punya keberanian untuk menggapai impian. Aku sangat takut, benar-benar takut!

Juni 1987
Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran kacau-balau. Aku menjawab soal-soal sekenanya. Aku tak bernafsu untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus saja sudah bagus. Aku bukan saja kehilangan cita-cita, tapi juga semangat dan daya juang.
Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung sendiri, aku jadi uring-uringan. Tiada hari tanpa muka masam dan keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya tidak menyikat lantai kamar mandi atau lupa mencuci piring kotor saja, kami bisa bertengkar hebat. Sejujurnya, aku tak kuat lagi dan ingin angkat kaki dari sini.

“Kenapa sekarang sikapmu jadi berubah, Mei Cen? Dulu kamu tidak kurang ajar begini,” tegur Tante Lin suatu kali.
“Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak berkelahi Kasihan mamamu. Ia kanseharian bekerja keras” lanjutnya lagi.
“Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang tua itu pernah punya niat ingin membunuhku, maaf saja! Aku tidak bisa,” dengusku, sambil memecahkan telur satu per satu ke dalam adonan.

“Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan diingat-ingat terus.”




Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?