Fiction
Satu Kata Maaf [4]

20 Jun 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Suatu siang, ketika aku sedang duduk melamun di depan rumah, seorang anak tetangga lewat dan mulai cari gara-gara. Setelah beradu mulut yang diakhiri kontak fisik, aku masuk ke rumah. Melihat lengan bajuku terkoyak dan pipi merah, alis Mama terangkat. Situasi langsung diambil alih Tante Lin.

“Kenapa? Kok, seperti habis dipukuli?” tanya Tante Lin, bergegas memeriksa lukaku. Aku menggigit bibir, menahan tangis.

“Memang dipukuli,” jawabku, pelan.

“Siapa yang memukuli?”

“Wanto. Ia mengatai aku ayam buntung. Aku tidak mau dikatai seperti itu. Wanto marah, tidak terima. Tahu-tahu, dia langsung memukul aku.”

Aku menghambur ke arah Mama. “Kenapa tangan dan kaki Mei Cen begini, Mama?” isakku, lirih.

“Ini sudah takdir, Mei Cen. Sabarlah. Jangan dengarkan omongan tetangga. Mereka juga akan diam sendiri.”

“Ceritakan apa yang terjadi padaku, Ma….”

“Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kita ke dokter saja, ya?” Mama masih berusaha mengelak. Aku menggeleng berulang-ulang. “Tidak, Mama harus cerita. Cerita yang sebenarnya.”

Beberapa menit kami berpandangan. Perlahan, Mama mau juga bercerita. Sambil mengibaskan kemoceng di sela-sela kursi, ia bertutur dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Dulu, sewaktu kamu masih ada di perut Mama, pagi-pagi Mama pergi ke pasar membeli ayam. Menurut orang Tionghoa, kalau sedang mengandung pantang memotong ayam, apalagi kakinya. Kata orang tua zaman dulu, bayi yang dikandung bisa cacat. Hari itu Mama lupa pada pantangan. Ketika kamu lahir cacat, Mama menyesal karena melanggar pantangan itu.”

“Aku cacat cuma karena Mama memotong ayam sewaktu hamil?” jeritku, tak percaya.

“Percaya atau tidak, itulah yang terjadi.”

“Apakah tak ada yang bisa mengobati cacatku?”

“Dokter di kota bilang, kamu harus dioperasi. Badanmu disayat, dipotong-potong. Biayanya mahal sekali. Kita tidak punya cukup uang untuk itu, Mei Cen. Kalaupun bisa, rumah ini harus dijual. Lalu, kita harus tinggal di mana? Karena tidak punya uang dan tidak tega melihatmu dioperasi, Mama membungkus kaki dan tanganmu supaya tidak ada yang tahu keadaanmu.”

“Itu sebabnya aku tidak boleh main dan bersekolah seperti anak lain? Karena Mama malu?”

“Mama takut kamu dihina.”

Dihina. Ucapan itulah yang melecut semangatku. Kupaksa Mama mendaftarkanku ke sekolah. Miskin dan cacat adalah dua hal yang tak bisa kuubah, tapi aku tak mau menambah satu lagi kekuranganku: menjadi bodoh.

Tergerak oleh tekadku, Mama membeli sepasang sepatu besi khusus untuk penyandang cacat. Jika memakainya, kakiku terasa berat sekali. Tapi, aku harus mencobanya. Siapa tahu, telapak kakiku perlahan-lahan bisa normal.

Di sekolah aku makin sering menangis. Tak ada seorang teman pun yang mau bergaul denganku. Aku sering kesulitan menulis cepat karena jari-jari tanganku tak sebanyak orang lain. Biarpun sudah berlatih keras, hasilnya tetap mengecewakan. Bila tiba jam olahraga, aku hanya gigit jari dan tinggal di kelas, sementara teman lain berlarian bermain bola kasti.

Untunglah, keterbatasan fisik tidak memengaruhi kemampuan berpikirku. Walau aku terlambat bersekolah, tidak berarti aku lambat dalam menangkap pelajaran. Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima keadaanku.

Tidak masalah, aku yakin bisa mengatasinya. Nilai raporku selalu jauh di atas rata-rata. Di akhir tahun pelajaran aku tersenyum bangga karena prestasiku melebihi orang yang tak cacat. Sayang, Mama kurang terkesan dengan keberhasilanku itu. Ia hanya mengangguk, tanpa memberikan pujian sedikit pun. Ah… begitu sulitnya aku merebut hati Mama.

Menginjak remaja, kegiatanku di rumah tak banyak berubah. Tak mungkin aku membantu Mama memotong dan mencabuti bulu ayam. Kupilih membantu Tante Lin membuat kue. Mula-mula, hanya mengocok telur, menuang terigu, dan mengaduk adonan. Lama-kelamaan aku bisa mencetak aneka bentuk kue kering. Iseng-iseng, aku menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Hasilnya kutabung sedikit demi sedikit.

Sayang, hubunganku dengan Mama tak banyak berubah. Kami masih tidur pada satu ranjang. Tapi, rasanya ia begitu jauh. Seperti ada tembok tebal yang menghalangi terciptanya kasih di antara kami. Aku sering menatap wajahnya yang terlelap di sampingku. Ingin berbicara, selayaknya ibu dan anak. Ingin mencurahkan seluruh isi hatiku. Tapi, entah kenapa, aku tak bisa.

Hubunganku dengan semua kakak pun kurang harmonis. Sejak kecil aku terbiasa dijadikan kambing hitam. Keadaan rumah berantakan, aku yang kena marah. Dagangan Mama tidak habis terjual, aku dapat omelan. Uang kakak hilang, aku dituding sebagai pelaknya. Pokoknya, tiada hari tanpa daftar kesalahanku.

Di rumah kuno sebesar ini, aku merasa begitu kecil. Begitu tak bernilai. Terlebih setelah Oma meninggal. Rasa kehilangan makin menerpa. Saat Oma masih hidup, aku terbiasa menungguinya di ranjang, menyuapi, dan membersihkan badannya. Hanya Oma satu-satunya orang yang memerlukan kehadiranku. Sedikit banyak itu membuatku merasa berarti. Namun, arti yang sedikit itu pun terampas tatkala Oma tiada. Aku kembali menjadi katak dalam tempurung, sepi terasing dalam kesendirian.

Oktober 1986
Jarum jam mendekati angka 5. Tergesa-gesa kuoleskan lipstik warna pink, merapikan gaun, lalu memakai sepatu. Aku berdandan agak istimewa untuk menghadiri ulang tahun Dewi, teman sebangku.

Ketika bercermin, aku bersyukur karena wajahku bisa dikatakan cantik. Gaun merah muda yang kupakai sangat cantik. Milik Mei Lan, kakak termudaku, yang terpaksa merelakannya.

Aku masih ingat sorot mata dan komentarnya yang merendahkan, “Memangnya, temanmu yang ulang tahun cacat juga, sampai merasa perlu mengundang kamu? Jangan-jangan, kamu yang memaksa minta diundang?”

Aku hanya bisa menelan ludah. Tebakan Mei Lan kurang lebih benar. Dewi hanya menyampaikan berita lisan kepadaku, bukan kartu undangan. Aku tahu, itu cuma basa-basi, karena selama ini aku membantunya menghasilkan nilai 7 dalam setiap pelajarannya.

Tetapi, masa bodoh. Diundang atau tidak, aku tetap pergi. Apalagi, aku sudah menyiapkan sepatu putih dengan taburan mutiara imitasi di sekelilingnya. Aku rela membobol tabunganku demi sepatu cantik ini. Sepatu yang kuharapkan bisa menimbulkan kesan berbeda bagi kedua kakiku. Untuk malam ini, selamat tinggal sepatu besi!

Karena rumah Dewi agak jauh, kami harus berkumpul di sekolah dan kemudian akan berangkat bersama. Aku berjalan kaki secepat mungkin. Tak kuhiraukan gerimis kecil yang mulai turun. sampai di sekolah tak satu teman pun terlihat.

Setengah menangis aku melihat jam di pergelangan tangan. Ya, ampun! Lewat 7 menit dari waktu yang ditentukan! Mereka bilang akan menunggu dengan batas toleransi 15 menit. Bagaimana mungkin mereka tega berbuat begini?

Malam itu aku terseok-seok pulang. Sakit hati dan sangat kecewa. Sambil terisak, aku memukuli kedua kakiku. Kenapa aku tidak bisa berjalan lebih cepat? Semua gara-gara kaki sialan ini, kaki brengsek! Kaki cacat yang tidak berguna!

Bukan cuma karena itu aku marah. Untuk ulang tahun Dewi, aku sengaja berdandan seteliti mungkin karena di situ ada Wisnu, sepupu Dewi. Aku ingin terlihat istimewa di depannya. Kaki sialan ini sudah merusak acaraku!

Sampai di rumah, tampak Mama dan Tante Lin sedang duduk mengobrol di meja makan, ditemani beberapa stoples kue kenari buatanku. Melihatku basah kuyup, Mama hanya menoleh sekilas.

“Tidak jadi pergi?”

“Ketinggalan mobil,” ujarku, tersendat.

“Oh,” hanya itu komentarnya. Sungguh, dadaku sakit sekali. Tak bisakah Mama bersikap lebih peduli pada perasaanku, lebih menghargai? Sedikit saja? Agaknya, ia lebih tertarik mengunyah kue kenari. Tak bisakah ia bertanya dengan sikap lebih keibuan?

Kuhabiskan sepanjang malam dengan simbahan air mata. Tangan dan kaki yang buruk rupa adalah sumber bencana dalam hidupku. Tak pernah aku bahagia. Di rumah diperlakukan seperti orang lain, di sekolah seperti makhluk asing. Lengkap sudah penderitaanku!

Aku ingin merasakan kerlap-kerlip suasana pesta, bergembira, dan bernyanyi. Aku ingin bertemu pria pujaan. Siapa tahu, ada yang tertarik mengajakku berdansa. Aku ingin merasakan manisnya jadi gadis remaja. Salahkah keinginan itu?

Sejak peristiwa Sabtu malam itu, aku jadi makin sensitif. Aku makin menarik diri dari lingkungan mana pun. Melihat sikapku yang aneh, Mama marah. Mama menghabiskan waktu dengan menyumpahi dan mencercaku, kegiatan yang mungkin dirasanya lebih bermanfaat ketimbang memeluk atau menanyakan keadaanku.

Dalam keadaan tertekan, aku tenggelam dalam kesibukanku sendiri. Pergi sekolah sebelum orang lain bangun. Siang hari aku berdiam di ruang praktikum atau di perpustakaan, membaca. Di sore hari kuhabiskan waktu berjam-jam untuk membuat kue, disambung dengan belajar sampai larut malam.

Aku ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tapi Mama punya pandangan sendiri.

“Buat apa, Mei Cen? Tidak ada gunanya. Buang-buang uang saja! Lebih baik uangnya ditabung, untuk biaya usaha atau kawin.”

“Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh lulusan SMU, Ma. Paling-paling jadi pegawai toko atau pekerja pabrik. Gajinya kecil. Kalau Mei Cen kuliah, kesempatan kerja pasti akan lebih luas,” bantahku.

“Sok tahu kamu! Memangnya, kalau tidak kuliah tidak bisa hidup? Semua kakakmu tidak ada yang kuliah. Tapi, buktinya mereka bisa hidup.”

“Iya, hidup, sih, hidup. Tapi, tidak ada kemajuan sama sekali. A Heng berdagang ayam di pasar, dari dulu sampai sekarang. Mei Lan jadi kasir di toko Ko Bun Liong dan Mei Ling jadi pelayan di rumah makan. Sekarang Mama suruh Mei Cen berjualan kue sampai tua?” suaraku meninggi.

“Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina mereka? Mereka sudah menyumbang untuk biaya kamu sekolah, tahu! Jangan mimpi! Kuliah cuma untuk orang kaya! Kamu mau bayar kuliah pakai apa? Mama sudah tidak punya uang lagi!” suara Mama tidak kalah menggelegar.

Sulit. Jika sudah bicara soal uang, aku mati kutu. Biaya kuliah tidak murah. Aku juga harus merantau ke kota besar. Butuh biaya perjalanan, kontrak rumah, plus biaya hidup. Runyam. Sungguh runyam. Lebih runyam lagi kalau aku harus membuat kue sampai bongkok. Aku tidak boleh menyerah! Pasti akan ada jalan keluar. Sabar saja!


Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?