Fiction
Sangkar di Atas Leher [1]

25 Jan 2016

Santi meliukkan pergelangan tangan kanan. Seolah ngukel selendang, yang hanya tampak oleh matanya. Telepon dari Palupi --tadi malam-- membuatnya merasa benar-benar berada di tengah sebuah pendopo, dalam sebuah lakon yang ia hafal penuh tiap ketukan gendhing dan tabuhan kendang yang mengiringinya. Entah mengapa, ia merasa seperti burung yang sedang ditonton oleh banyak penawar yang siap membelinya. Semuanya berakhir ketika matanya menemukan sosok Hendra di salah satu deretan penonton. Ia terbangun dengan perasaan menyesal.
Mimpi yang menyiksa di siang bolong. Namun juga mimpi yang amat indah. Kerinduan menjalari dadanya. Terus membayang. Hangat sekali. Sampai kadang-kadang Santi bisa mendengar riuh suara tepuk tangan penonton, meski saat ia sedang bereksperimen menu masakan baru di dapur.
Suara kicau burung di teras rumah tiba-tiba saja membuyarkan semua. Disusul suara decakan Hendra yang berulang-ulang, menyelingi siulannya yang begitu merdu. Hangat dalam dada Santi tiba-tiba saja menguap. Ia tercenung. Namun tak ada pikiran apapun yang melintas dalam kepalanya. Benaknya kosong.
Dalam kebekuan itu, ia bisa merasakan bahwa seluruh persendian di sekujur tubuhnya rasanya sudah kaku-kaku. Lima tahun sudah semuanya hanya muncul dalam mimpi-mimpi. Ia sadar, menuruti apa yang ditawarkan Palupi semalam adalah sebuah kemustahilan. Keajaiban. Dan betapa ia ingin keajaiban itu terjadi padanya.
Tentu saja Santi merasa tersiksa dengan keadaan ini. Serasa seorang lansia yang seluruh tulangnya dikeroposi penyakit osteoporosis. Meski ia sudah coba meregangkan tubuh dengan gerakan-gerakan pemanasan. Persendiannya sudah sekaku robot. Menari adalah sebuah keajaiban bagi seorang robot. Apalagi saat suara burung kenari di teras itu tak mau pergi dari dalam kepalanya. Kenari itu justru seperti berdiam di dalam kepalanya. Melompat ke kanan dan ke kiri. Seperti ingin keluar lewat telinga. Santi tahu, burung malang itu sangat ingin membebaskan diri. Dan kebetulan Santi benar-benar tak ingin kepalanya menjadi sangkar.

*    *    *

Santi hanya diam saja saat Hendra mengumpat marah. Jemarinya tetap tenang, telaten mengerjakan lukisan kristik. Meski telinganya dipenuhi kata-kata tak pantas yang berhamburan dari mulut Hendra.
“Aku yakin ini pasti ulah Hasyim. Aku tahu kunyuk itu sudah berhari-hari mengincar kenariku. Dasar bajingan!” sembur Hendra.
Santi bahkan masih khusyuk pada kristik-nya saat Hendra membanting sangkar kesayangan yang hampir setiap hari ia lap. Sangkar… oh, entah mengapa kepala Santi selalu berdenyut hebat jika teringat benda itu. Karena, tiba-tiba, dalam khayalan konyolnya, ia berubah menjadi si liar yang ingin merobohkan sangkar mewah yang mengungkungnya ini. Ada lagi, yang kerap membuat ia merasa tak lagi waras, yakni membebaskan seekor burung kecil yang terperangkap di dalam kepalanya.
Ya, sebuah derita yang tak pernah Santi ceritakan kepada Hendra selama ini. Setiap kali halusinasi itu menguasainya, Santi selalu tak mau dengar dan tak mau tahu saat Hendra mengoceh dengan penuh kejengkelan bahwa harga burung itu bisa mencapai dua atau tiga jutaan. Bahwa si Kecrit yang telah hilang itu rencananya akan diikutkan ke Kudus Cup yang waktunya sudah di ambang mata. Bahwa Hendra telah begitu susah payah merawat makhluk itu. Dan bla bla bla lainnya yang bagi Santi itu benar-benar tak ada gunanya.
Entah mengapa Santi selalu merasa muak ketika melihat Hendra yang begitu telaten merawat piaraannya. Demi menjaga mental burung pascakontes, katanya. Hampir setiap hari, sejak cahaya mulai mengintip bumi, hingga jam masuk kantor atau terlambat sedikit tak apa-apa, katanya. Seperti tak punya rasa bosan. Apalagi rasa kasihan.
Memindah-mindah sangkar kesayangannya ke sana-ke mari demi agar penghuninya berkicau riang. Membeli belasan kerodong dengan baragam warna. Kerap membawanya berlibur dengan motor bahkan mobil (frekuensinya bahkan mengalahkan permintaan Santi memanjakan diri). Membeli satu kenari lagi dengan mental pecundang, yang bisa menjadi kalah-kalahan si Kecrit, anak emasnya. Sampai tak siang tak malam berkunjung ke rumah Kamal, salah seorang temannya yang juga hobi memelihara burung. Sampai Santi pernah berprasangka bahwa mereka adalah sepasang gay.
“Buat apa? Bukan urusan perempuan. Yang penting urus saja urusanmu,” sebuah jawaban yang sempat membuat Santi berprasangka buruk. Dengan hati kebat-kebit, ia pun kemudian selalu berusaha menguping pembicaraan mereka tiap kali Kamal datang berkunjung. Dan percakapan mereka memang selalu tak pernah jauh-jauh dari soal burung.
Nah, saat burung yang posisinya mampu menggeser kedudukan Santi itu sudah tiada, betapa ia ingin melihat apa yang diperbuat suaminya. Ia ingin melihat seberapa besar sesungguhnya kadar cinta lelaki itu.

*   *    *

“Kita akan menjadi penyambut tamu pada ASEAN Collaboration on Traditional Performing Arts of Dance Performance di TBS. Masih sebulanan lagi, kok, San. Tentu saja aku masih bisa memasukkanmu ke dalam tim. Soalnya, kamu beda dengan anak-anakku yang masih dalam taraf belajar. Aku yakin tubuhmu masih luwes. Dan aku rasa, kau hanya tinggal mengulang semuanya saja. Bagaimana?”
Suara Palupi laksana obat penawar kantuk bagi Santi. Kantuk yang ia duga mungkin dipengaruhi oleh obat penguat rahim yang ia minum. Cukup lama Santi terdiam. Ada angin kecil yang menarik pikirannya. Angin itu berwujud Hendra. Bagaimana cara membebaskan diri dari lelaki itu? Atau setidaknya, menarik perhatian agar ia tahu bahwa ada yang sedang tersiksa di rumah ini, di dalam sangkar besar miliknya.
“Ikut, ya? Om Probo pasti akan senang mendengar hal ini, dan itu akan menambah semangatnya untuk kembali pulih. Ingat, kau itu murid kesayangannya,” suara Palupi kembali menarik kesadaran Santi.

“Entahlah…,” desis Santi, dengan nada serupa keluhan. “Sebulanan ini kondisi tubuhku buruk sekali. Aku sedang hamil muda, Pi. Meski dalam hati sebenarnya aku ingin ke sana, tapi aku mesti berkompromi dengan tubuhku.”
“Pasti suasananya nanti akan beda jika dia diajak memakai glathik mungup lagi,” terdengar tawa Palupi di seberang.

Mata Santi terpejam, membayangkan masa lalunya, tampak anggun dalam balutan glathik mungup. Dengan bahu terbuka dan payudara yang sedikit dinaikkan agar tampak montok, ia benar-benar menjadi pusat perhatian yang menarik. Gender, bonang, kenong, kempul, gong, dan kendang, terdengar lamat-lamat bersahutan. Memperdengarkan gendhing pangkur yang memancing lengan, kaki, tubuh, serta kepala demi memenuhi panggilannya. Meliuk-liuk. Mata hanya tertuju pada arah gerak tangan dengan jari-jemarinya yang menjadi aktor utama.

“Eh, sekarang ada angkinan gaya baru, lho, San. Om Probolah yang dulu mengusulkan desainnya. Demi pembaruan, agar dapat nyawa baru, katanya. Kapan-kapan aku kirimi foto pentas perdananya lewat surel ya? Aku yakin kangenmu pasti bakalan bertambah-tambah,” terdengar tawa lagi dari seberang. Tampaknya Palupi memang sengaja menggoda Santi.

“Aku hamil, Pi,” suara Santi terdengar kehilangan ceria.
“Sampai separah itu, ya? Sampai kau tak lagi tertarik menari?!” Terdengar begitu histeris.
“Akhir-akhir ini badanku lemas sekali, kehilangan gairah untuk melakukan apa pun….” Sesak dada Santi.

“Hamil muda kan memang begitu, San. Cobalah kau tukar pengalaman dengan Laras. Mual dan lelahnya justru akan hilang saat kau sibukkan dirimu dengan suatu kegiatan. Percaya padaku, deh.”

Terdengar  embusan napas berat Santi. Ada kalimat yang terhenti keluar dari bibir.
Tentu saja, Santi juga kangen pada Laras. Mereka dulunya adalah empat sekawan yang sudah dikenal di kawasan Yogya-Solo. Ratna, konon, juga masih eksis di dunia tari. Dari cerita yang Santi tanyakan kepada Palupi, tampaknya ia telah berhasil meraih apa yang dulu sempat dicita-citakannya.
“Aku ingin mengawinkan yang tradisional dengan tari-tari modern dari luar. Akan kucari unsur-unsur kesamaannya, mana yang bisa dikawinkan, dan mana yang tidak. Tunggu tanggal mainnya, ya. Aku akan mendirikan sebuah sanggar tari,” ujar Ratna terakhir kali yang masih Santi ingat. Yang justru bermula dari keisengan Santi mengawinkan tango dengan jaipongan.
Beberapa bulan kemudian nomor Ratna tak pernah bisa dihubungi lagi. Jadi tampaknya Om Probo memang sudah benar-benar kehilangan murid generasi terakhirnya setelah pernikahan Laras yang kemudian disusul Santi.

“Aku tak yakin bisa menarik keluar Laras dari sangkarnya,” jawab Palupi ketika Santi giliran bertanya tentang sahabatnya itu. “Padahal mulanya kukira dia akan tetap bisa bertahan bersama kami.”
“Kenapa?”
“Jadi kamu belum tahu, ya?”
“Kenapa, sih?” penasaran Santi.
“Persalinan keduanya melahirkan anak kembar. Jadi anaknya sekarang sudah tiga. Kayaknya kamu juga belum tahu, ‘kan?”
“Tentu saja aku tak tahu. Ayolah cerita. Memangnya Laras kenapa?” Insting Santi membisikkan sesuatu. Santi menikmati ini, suasana yang seperti ini. Dulu, mereka juga kerap membicarakan satu sama lain.
“Semoga saja kamu tidak mengalami seperti apa yang dialami Laras. Begini saja, kapan kamu punya waktu luang? Kuajak kau ke sana,” ujar Palupi, yang lalu membangkitkan khayalan Santi tentang dirinya dalam balutan angkinan.
Santi pun akhirnya membuat janji dengan Palupi. Sementara Hendra disibukkan dengan pencarian ‘anak’ barunya lagi. Katanya, ia akan berburu sang jagoan lagi, entah itu lovebird, kenari, cucakrowo, atau entah apa lagi. Santi benar-benar tak peduli.

******

“Aku ingin pulang,” ujar Santi saat di pembaringan. Sebuah rencana telah tersusun di dalam kepalanya.
Mata Hendra langsung menemukannya. Terdengar helaan napas kemudian.
“Aku ingin menjenguk Emak, Hen,” bernada menekan.
“Aku tak paham, entah apa yang membuatmu bosan di sini. Entah kurang apa lagi kau itu.”
“Aku ingin menjenguk emakku, Hen. Bukankah beliau sudah menjadi orang tuamu juga?”
“Solo-Jepara itu bukan jarak yang dekat. Kau sudah punya tanggung jawab dengan sesuatu yang tumbuh dalam perutmu sekarang. Dua bulan lalu kau baru saja dari sana, ‘kan?”
Santi menarik napas kecil. “Bukankah sekarang kau sudah tahu bagaimana penderitaan seorang ibu saat mengandung? Orang macam apa yang tega melarang seseorang yang ingin menjenguk ibunya?”
Santi seperti baru saja menemukan kekuatan baru. Sebuah alasan kuat agar ia bisa melihat Solo lagi. Baru seminggu lalu obat dari Dokter Imam habis. Betapa rasa waswas masih menghantui pada kehamilannya yang ketiga ini. Tubuhnya sempat drop pada kehamilan minggu ketiga. Panas yang tak juga mereda, mual yang berlebihan, flu yang datang pergi, serta pusing yang kerap bertamu.
Hampir  tiap hari ia bunuh waktunya dengan tidur. Meski pernah dua kali mengalami kehamilan,   masih tersiksa saja rasanya. Tak hanya aroma Kota Solo dan kelebat sosok ibu yang sebenarnya menciptakan rindu yang menggigit itu. Rindu itu  makin membesar tatkala ia mendapatkan telepon dari Palupi yang mengabarkan bahwa ada celah kecil yang mungkin bisa membuatnya kembali ke masa lalu.
Di dalam kamar mandi, dengan tubuh yang masih terbalut handuk, betapa sering Santi berkhayal memakai angkinan lagi. Seperti pagi itu, setelah akhirnya semalam Hendra terdiam dalam perdebatan soal Santi yang ingin menjenguk ibunya.
Santi menarik napas panjang sebelum menata posisi. Dan setelah semua ingatannya kembali terkumpul dan hidungnya mencium aroma penonton, jemari tangannya pun mulai beraksi. Ia tersenyum ketika menyadari bahwa ternyata ia masih bisa seluwes dahulu. Tentu saja setelah beberapa kali percobaan. Suara Om Probo pun kembali meriuhi telinganya.

Diawali dengan gerak embat  atau entrag. Kedua lututnya perlahan membuka saat ia hendak mendhak (merendah) bergerak ke bawah dan ke atas. Pergelangan tangan memutar, melakukan ukel asta. Kedua mata mengikuti arah gerak tangan dan jari-jemari.
“Jangan kaku. Jangan tegang. Kalau kau punya banyak masalah, singkirkan dulu semuanya. Tunjukkan bahwa kamu benar-benar perempuan. Perempuan itu identik dengan kelembutan, halus, dan sopan,” Om Probo mengawasi dari belakang.

Santi tersenyum ketika telapak kakinya refleks berjinjit hendak mencobai gerak srisig. Dengan hati-hati ia pun melangkah. Beberapa kali gagal melakukan srisig lantaran kamar mandi yang ia rasa licin dan kurang luas. Mungkin juga lantaran telapak kakinya yang sudah lama tak diajak bekerja keras seperti itu. Namun senyumnya kembali mengembang saat ia merasa sempurna melakukan nacah miring, kaki kiri bergerak menyamping lalu disusul kaki kanan yang mencari posisi di depan kaki kiri.

“Yang luwes, yang luwes. Jangan tunjukkan bahwa kalian sedang punya masalah. Ini tari, bukan arena untuk membuang unek-unek. Santi, pahanya kurang rapat. Rapatkan sedikit, sedikit lagi. Biar suamimu nanti senang,” suara Om Probo lagi, yang lantas bersambut senyum keempat dara yang tengah berlatih itu.
“Heh! Apa kalau nanti ada badut yang ikut menonton, kalian akan cengengesan seperti ini? Ini di depan Sultan, ini di depan Presiden, kalian ini duta penyambut tamu mereka! Jangan nggluweh! Palupi, tangannya jangan nyekinting begitu! Jangan melebihi bahu! Masa  mengira-ngira tinggi bahu sendiri enggak bisa?!” Om Probo terdengar marah. Dan semua tahu bahwa lelaki itu akan benar-benar marah jika pada waktunya marah.
Debaran itu mulai merambah dada tatkala ia melakukan gerak kengser ke kanan, gerak kaki menyamping dengan bergeser sementara telapak kaki tetap merapat ke lantai. Suara kendang jelas terdengar ketika Santi melakukan sekaran mlaku, serangkaian gerak berjalan. Yang lalu terhenti dengan sekaran mandheg atau gerak di tempat. Khayalan Santi terhenti tatkala handuk yang melilit setengah badannya terlepas.

*     *     *

Pukul tujuh tepat saat Hendra mengantarkan Santi ke Gotri, tempat singgah bus jurusan Semarang–Jepara–Kudus. Sepanjang jalan tadi Hendra terus saja mengomel, yang intinya ia tak suka dengan kepergian Santi. Apalagi Santi masih sering sakit-sakitan lantaran hamil muda.

Sementara Santi hanya diam saja mendengar semua. Terus diam hingga tempat tujuan. Ia tekan kuat-kuat sesak dalam dada, sisa pertengkaran kemarin. Ia hirup dalam-dalam aroma bayangan yang akan ia jelang. Ia justru amat senang saat Hendra memutuskan tak mau ikut ke Solo. Ia sudah menduga itu. Sebuah rencana yang telah ia susun rapi akan berjalan lancar. Lagi pula, Hendra memang selalu hanya tidur-tiduran saat berada di Solo. Ia hanya tertarik keluar jika ada kompetisi kicau burung di daerah tertentu.
Sepanjang perjalanan, gambar masa lalu berkejaran dalam kaca bus. Ada rasa salah yang berkecambah dalam dada. Apakah ini perjalanan yang salah?

Turun di Terminal Terboyo, kedua kakinya terasa kaku, seolah menolak rencana ini. Tentu saja Santi paham kodratnya sebagai perempuan yang sudah bersuami. Orang-orang --termasuk ibunya-- bilang, itu namanya bakti terhadap suami. Mengikut dan melayani.
Tapi entah mengapa, Santi merasa seperti mayat hidup. Hendra memang mencukupi semua kebutuhannya. Tapi, apa guna jika ia hanya bisa bergerak dari kamar ke dapur, lalu kembali ke kamar lagi? Apakah hidup hanya soal membesarkan perut?
“Menari bukanlah hanya soal menari. Menghibur orang lain, itu juga bukan yang utama, karena hiburan bisa didapat dari mana saja. Senyawa dengan sejarahnya, tari Gambyong adalah produk masyarakat pinggiran. Hasil kreasinya wong cilik. Tapi kemudian ia naik pangkat menjadi tradisi besar yang diterima kalangan bangsawan. Jadi tugas kalian adalah menunjukkan keagungan itu. Alus, regu, anteng, jatmika…,” suara Om Probo membuntuti langkah Santi.

“Apakah perempuan harus seperti itu?” potong Ratna. “Bukannya perempuan jadi terlihat seperti orang lemah, Om?”
“Justru itulah yang menaikkan pangkatnya,” bantah Om Probo.
“Kalau misalnya dapat suami yang otoriter?” kejar Ratna lagi. Santi tahu, itu adalah masa-masa awal ketika Ratna merasa ragu dengan pernikahan.
“Cuma wong edan yang menyia-nyiakan istri yang berbakti,” jawab Om Probo kemudian.
Santi menghirup udara dalam-dalam setibanya di Terminal Tirtonadi. Sejuk AC dalam bus yang tadi sempat membuatnya gigil langsung terusir hawa panas bulan Agustus. Ia sempat pangling dengan wajah terminal itu. Selama menikah dengan Hendra, memang baru kali ini ia memakai jasa bus.
Beberapa tukang becak, ojek, dan sopir taksi langsung menyambut Santi dengan trengginas. Santi menolaknya dengan senyum begitu mendengar tarif yang ditawarkan.
“Saya ingin jalan kaki saja, kok, Pak. Rumah saya dekat sini. Daerah Rumah Sakit Mbrayat.”
“Enggak takut kakinya lecet to, Mbak? Ya sudah, bagaimana kalau aku turunkan saja tarifnya?” seorang tukang becak masih saja mengejar.  Cerita selanjutnya >>>>>


***
Adi Zam Zam





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?