Fiction
Sang Penulis [5]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

“Aku ingin jalan-jalan ke ruangan sebelah sebentar supaya kalian bisa ngobrol lebih santai. Tidak enak rasanya kalau aku duduk di sini,” kata Abel.

“Eh, tidak masalah, kok,” Mariana buru-buru mencegah.

“Tidak apa-apa. Aku memang ingin melihat-lihat koleksi bukunya, kok,” sahut Abel, seraya bangkit dari duduknya. Ia pun melangkah meninggalkan mereka.

Abel berjalan pelan-pelan sambil menelusuri buku-buku yang tersusun rapi di rak. Buku-bukunya terawat dengan baik. Di dinding, tertempel satu kertas yang bertuliskan: Hargailah buku-buku ini seperti engkau menghargai anggota tubuhmu yang telah menariknya keluar dari tempatnya bersemayam.

Abel mengerutkan keningnya sambil mencerna kata-kata itu. Ketika ia mengambil satu buku yang judulnya cukup menarik, ia baru menyadari makna dari kata-kata itu. Anggota tubuhmu maksudnya tanganmu, toh, kata Abel dalam hati.

Abel kembali menelusuri buku-buku yang ada. Koleksi novel asli berbahasa Inggris ternyata cukup banyak. Abel mendapati The Time Traveler’s Wife adalah salah satunya. Ia nyaris terpekik senang. Dengan kegembiraan murni, layaknya seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Abel lebih memperhatikan judul-judul yang ada. Matanya langsung melebar saat ia melihat satu nama yang tidak asing.  

Hariman. Sang Penulis.

Hariman menerbitkan novel.

Pikiran itu terngiang-ngiang terus di kepala Abel. Ia tadi sempat membolak-balik novel itu. Ketika membaca ala kadarnya, Abel merasa novel yang ditulis Hariman terkesan berat karena kaya akan filosofi. Rasanya seperti membaca novel Paulo Coelho Indonesia.

Novel itu tidak tebal dan terbitannya sudah sepuluh tahun yang lalu. Penerbitnya tidak terkenal dan itu adalah cetakan pertama. Kalau begitu, novel itu kemungkinan besar  tidak laku di pasaran. Bahkan, Abel sendiri belum pernah mendengarnya.

Namun, yang paling mengejutkan adalah Hariman juga seorang penulis novel. Ia bahkan sudah menerbitkan novel sebelum Darmian menerbitkan novel debutnya. Apakah Mariana dan Darmian tahu soal ini?

Di kamarnya, Abel menghidupkan laptop-nya dan membuka koneksi internet. Ia mengetikkan hariman/sang penulis di toolbar Google. Hasil pencariannya tidak sesuai dengan yang ia mau. Yang muncul malah nama Hariman di berita kecelakaan Darmian tiga tahun lalu. Jadi, tidak ada berita tentang Hariman sebagai penulis novel.

Abel merebahkan tubuhnya di kasur dengan pikiran kusut. Awalnya ia ingin mengorek informasi tentang Darmian dari Mariana. Siapa sangka, ia malah menemukan sesuatu yang lain. Rasa ingin tahunya  makin lama  makin memuncak dan sudah tidak bisa dihalau. Ia sudah tidak sabar ingin mendapatkan jawabannya.

Siapa sebenarnya Hariman?

“Siapa Hariman?”
Suara Darmian terdengar aneh ketika ia mengulangi pertanyaan yang diajukan Abel.

“Maksudku, apa latar belakang Hariman? Tidak banyak yang tahu tentang Hariman, padahal dia adalah orang yang bersamamu waktu kecelakaan terjadi,” kata Abel. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Darmian. Sepasang mata Darmian juga terpaku lama pada mata Abel yang penuh antisipasi. Tiba-tiba saja, ekspresi wajah Darmian berubah santai, agak bertolak belakang dengan sorot tajam matanya.

“Aku kenal Hariman sewaktu mengelola Book+Stop. Dia salah satu pengunjung setia Book+Stop yang ikut menambah koleksi buku di sana. Koleksi bukunya bagus-bagus. Aku sendiri merasa beruntung sekali Hariman mau melakukannya,” kata Darmian dengan tenang.

“Berarti, Mariana juga mengenal Hariman di Book+Stop?”

“Benar,” jawab Darmian singkat. “Sebenarnya Mariana yang mengenal Hariman lebih dulu karena mereka berdua sama-sama menetap di Bandung waktu itu. Mariana masih kuliah, sedangkan Hariman bekerja.”

“Apakah Hariman sebaya denganmu?” tanya Abel. Pikirannya bekerja sambil merangkai data.

“Dia satu tahun lebih tua dariku,” jawab Darmian. “Kenapa?”

Abel langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Apa pekerjaan Hariman tepatnya?”

“Dia penulis lepas.”

“Apa?” Abel nyaris meneriakkan pertanyaannya.

“Dia menulis untuk majalah dan surat kabar, baik lokal maupun ibu kota.”

“Dia orang Bandung asli?”

Darmian mengangguk. “Dia lulusan Sastra Inggris Unpad dan sudah tinggal sendirian sejak kuliah. Orang tuanya berpisah. Ayahnya di Kalimantan, sedangkan ibunya yang orang Belanda kembali ke Belanda sewaktu dia masih kecil. Dia diasuh oleh neneknya dari pihak ayah.”
Abel agak terkejut dengan kenyataan itu. “Hariman blasteran Indo-Belanda?”

“Ya,” sahut Darmian, sambil mengangguk-angguk. “Tapi, dia lebih mirip orang Indonesia daripada Belanda. Kulit kuning langsat, rambut hitam. Hanya sepasang mata hijaunya yang membuat dia berbeda.”

Abel ingat tentang berita kecelakaan yang dibacanya beberapa waktu lalu. Ia tidak tahu seperti apa wajah Hariman sebab fotonya memang tidak disertakan. Foto Mariana juga sangat kecil. Semua berita berpusat pada Darmian.

“Lalu, bagaimana ceritanya kalian berdua mengenal satu sama lain?”
“Mariana yang mengenalkannya padaku. Waktu Book+Stop masih dikelola Tamara dan Mariana, Hariman banyak membantu. Aku hanya ke Bandung sekali-sekali. Harus kuakui, Book+Stop jadi makin ramai dikunjungi berkat Hariman. Dia pernah mengulas soal Book+Stop di salah satu artikelnya yang diterbitkan di surat kabar Metro Bandung yang ternyata menjadi sebuah promosi yang bagus untuk Book+Stop,” Darmian tersenyum.

“Apakah Hariman punya pekerjaan lain selain menjadi penulis lepas?”

Darmian menarik napas. “Tidak. Dia benar-benar menggantungkan hidupnya dari hasil tulisannya. Jujur saja, aku rasa Hariman hidup sangat pas-pasan. Tapi, dia memang tipe orang yang sangat idealis. Dia tidak mau melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak sesuai kata hatinya. Karena itulah, aku sekali lagi harus berterima kasih padanya.”

“Atas…?”

“Dorongan dan motivasinya. Aku sebenarnya tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi novelis, tapi aku suka menulis. Pernah suatu hari, aku menunjukkan hasil karanganku padanya. Dia bilang, aku punya bakat untuk menulis, kenapa tidak mencoba menulis novel dan mengirimkannya ke penerbit? Saat itu, aku tidak pernah membayangkan kalau aku benar-benar bisa berhasil. Hariman sudah seperti saudaraku. Mentorku. Namun, kecelakaan itu mengubah semuanya,” kata Darmian.
Abel membiarkan kesunyian menyusup. Kecelakaan itu memang telah memutarbalikkan baik kehidupan Darmian maupun Mariana. Baru setelah satu menit berlalu, Abel berujar, “Aku paham perasaanmu. Sebenarnya, aku menjadi novelis juga karena jasa seseorang.”

Darmian mengernyitkan dahinya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Abel tersenyum. “Akhirnya aku bisa berhadap-hadapan dengan orang itu dan mengatakannya secara langsung.”

Kerutan di dahi Darmian makin dalam. Abel merundukkan tubuhnya ke Darmian, dipandanginya Darmian lekat-lekat. Wajah Darmian yang tampan tampak bingung. Abel menyunggingkan senyumnya yang paling manis dan tulus.

“Aku berterima kasih padamu, Darmian. Kau ingat kata-kata ini? Aku bukan seorang jenius, tapi aku percaya pada kekuatan ambisi. Kalau memang menginginkannya, melangkahlah, dan.…”

“… kau akan tahu bahwa satu langkah itu akan membawamu berlari menuju apa yang kau dambakan. Perempuan Senja,” kata Darmian lirih.

“Kaulah yang membuatku mengambil keputusan untuk mulai menulis lebih serius. Untuk benar-benar mengejar impianku sebagai penulis.”

Darmian terlihat takjub. Abel menegakkan tubuhnya, masih dengan senyum.

cerita selanjutnya >>

Penulis: Vivi


 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?