Fiction
Rumah Terakhir [1]

7 Nov 2013

         
Lucia Priandarini

Desember, tujuh tahun silam, Pakde Yok, kakak laki-laki tertua Ibu, datang ke rumah dengan menyandang tas kanvas di punggung, dan harapan yang hampir pudar di hatinya. Rambutnya yang sudah memutih dibiarkan gondrong, diikat ke belakang. Kumisnya tampak sudah beberapa waktu tak dicukur.  Setidaknya tiga bulan sekali, ia datang bermalam tiga empat hari di rumahku. Namun, mulai malam itu, kata Ibu, ia akan tinggal seterusnya.     
   
Sejak kecil, aku selalu melonjak gembira  tiap melihat sepasang sepatu kets putih bertengger di rak sepatu di halaman rumah. Pertanda Pakde Yok sedang berkunjung. Kadang-kadang ia datang bersama istrinya, tapi lebih sering bertandang seorang diri. Tiap kali berkunjung, ia selalu membawakanku banyak hadiah, betapapun ibuku selalu mengingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Sekotak donat, boneka yang bisa bicara, sepasang sepatu dengan lampu di tumitnya.  Aku selalu berdebar-debar saat ia memanggil namaku, lalu memasukkan tangannya ke dalam tas. Menebak-nebak apa yang akan dikeluarkannya kali ini, seperti seorang anak yang untuk pertama kalinya menonton pertunjukan sulap. 

Sejak  aku berseragam putih kelabu, ia mengaku mulai kebingungan membawakanku apa. Kubilang tak perlu. Tapi, ketika berkunjung kembali pada hari raya Lebaran, ia tetap membawakanku sesuatu. Selembar tiket konser grup musik favoritku yang akhirnya, dia tak tahu, tak jadi kugunakan karena Ibu tak mengizinkanku pergi.

Sikapnya selalu hangat, meski aku tidak selalu betah berlama-lama menanggapi obrolannya. Kata Ibu, baginya, aku seperti anak kandung yang tidak pernah dimilikinya. Istrinya, budeku, mengidap kanker rahim. Pasangan suami-istri itu tinggal berdua di sebuah rumah berhalaman luas. Bertiga jika ditambah Ponpon, anjing berbulu lebat yang gemar mengibaskan ekornya sambil menyalak, menyapa siapa pun.

Di tengah halaman, ada pohon jambu yang saat kecil sering kupanjat. Ketakutan selalu berhasil mengalahkan keinginanku untuk sampai ke puncaknya. Di bawah pohon itu, ada sebuah bangku bambu panjang tempat aku dan sepupu-sepupu dari saudara Ibu yang lain biasa duduk memandangi kembang api yang kami nyalakan sendiri menjelang malam tahun baru.

Garasi luas di rumah itu tak pernah menjadi tempat parkir mobil. Kendaraan yang mereka miliki hanya sebuah sepeda kumbang dan sebuah vespa biru tua usang yang sudah sering mogok. Sebagai gantinya, ada jajaran bangku dan sebuah meja di bagian dalam garasi. Sebuah salib polos tergantung di dindingnya. Tiap Minggu  pagi, sekitar tiga puluh keluarga jemaat beribadah di sana. Pakde Yok, pendetanya, yang memimpin ibadat.

Pakdeku hidup dari aktivitasnya menjadi kontributor tetap di beberapa media rohani dan umum. Budeku adalah seorang guru sekolah dasar. Keduanya vegetarian yang mencukupi kebutuhan hariannya dari hasil pekarangan rumah yang mereka tanam sendiri. Sesekali, ada jemaat datang membawakan setandan pisang hasil kebun mereka, atau beberapa liter beras saat mereka sedang merayakan sesuatu.

Sore itu, Pakde Yok datang sesaat setelah Ibu membentangkan seprai baru di kamar tamu.  Ia masih saja memanggil namaku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Usiaku saat itu 18, menjelang masuk kuliah. Ia memberikan sebuah handuk persegi yang label harganya lupa dicopot. Benda itu dibeli di minimarket, sekitar lima kilometer sebelum                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   mencapai rumahku.  Senyum lebar terukir di wajahnya saat memberikan handuk itu. Aku menerimanya sambil balas tersenyum. Namun, senyumku segera sirna saat kutatap matanya yang tak sehidup dulu.
***

Pakde Yok adalah orang terakhir yang bertahan di kampungnya. Saat itu budeku telah genap dua tahun meninggal. Pakde mengemasi barang-barangnya, setelah untuk kesekian, dan barangkali terakhir kalinya,  tim evakuasi mendesak, bahkan memohon ia untuk pergi. Desa tempatnya tinggal, Siring, Sidoarjo, telah dikepung lumpur. Genangan itu mengandung gas beracun yang membahayakan jiwa.

Tak banyak barang yang ia bawa dalam tasnya. Hanya beberapa pasang pakaian yang bahkan sudah kukenali sejak bertahun-tahun lalu, album foto, dan buku-buku agama. Aku memperhatikannya menata satu demi satu barangnya di dalam kamar, di rumah kami. Pigura kecil terakhir yang ditempatkannya di meja adalah foto Ponpon. Anjing itu sudah dua pekan tak ditemukan di mana pun, bagaimanapun pakdeku mencarinya untuk keluar bersama dari kampung yang akan tenggelam itu. 

Di sisi foto Ponpon, ada foto Pakde Yok dan Bude, tertawa bahagia, saling menggenggam tangan, dengan latar belakang Candi Borobudur. Di tengah, ada foto mereka berdua, masih bergandengan, berdiri tersenyum di antara jemaat gerejanya, di halaman rumah,  di bawah pohon jambu. Kini semua orang dalam foto itu sudah berpencar tinggal di tempat-tempat yang berbeda.

Aku menatap wajah mereka satu per satu, sambil membayangkan bagaimana mereka melanjutkan hidup sambil membawa duka setelah kehilangan rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat beribadah, kebun, barangkali juga ternak dan piaraan. Selama bermenit-menit, kami memandangi jajaran foto itu dalam diam. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memahami dimensi lain yang lebih dalam dari kesepian.

Sejak malam itu, kursi di meja makan kami bertambah. Obrolan antara Ayah dan Pakde di meja makan biasanya kemudian akan berlanjut ke depan televisi. Namun, obrolan itu akan mereda  tiap kali berita tiba pada segmen berita dari luar Jakarta. Pakdeku, jelas, selalu menanti berita seputar Sidoarjo dan lumpur yang melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan warganya. 

Kadang-kadang berita yang dinanti tak ada, dan aku bisa bernapas lega. Namun, tiap kali berita itu muncul, ayahku akan dengan sigap mengencangkan volume TV. Suasana akan berubah hening, cenderung mencekam, seperti menonton film horor. Tapi kali ini, film di hadapan kami itu nyata. 

Semburan lumpur menenggelamkan 16 desa. Tiga belas orang meninggal, dan 50.000 jiwa mengungsi. Tiga belas ribu keluarga kehilangan tempat tinggal. Ribuan hektare tanah pertanian, pabrik, sekolah, dan kantor pemerintahan tenggelam. Bencana ini diduga bermula dari kesalahan prognosis pengeboran....
Selama beberapa saat setelah berita itu berlalu, rumah akan senyap. Jeda komersial baru membuat kami mengembuskan napas setelah menahannya sekian lama. Seakan satu  embusan saja bisa makin mengacaukan segalanya.

Hatiku serasa ikut tertelan hingga melesak ke dasar  tiap kali melihat pemandangan peta genangan lumpur itu di televisi. Menyadari bahwa salah satu atap di antara ribuan rumah yang siap tenggelam sepenuhnya itu adalah atap rumah Pakde. Tak jauh dari jajaran rumah itu, ada pemakaman umum tempat jasad Bude beristirahat selamanya. Selama dua tahun,  tiap sore, Pakde bersepeda mengunjungi makam itu. Ia tetap mengayuh sepedanya bahkan saat hari hujan. Hingga tiba hari saat makam itu sedikit demi sedikit tenggelam.
***

Sehari setelah hari raya Natal, aku membawa sepucuk kartu ucapan selamat Natal ke kamar Pakde Yok. Kartu kesebelas yang ia terima di Natal yang sama sejak kepindahannya ke rumah kami. Kali ini, amplop yang diterimanya agak besar. Di antara kartu ucapan itu, terselip selembar kertas dengan gambar yang dibuat dari goresan krayon. Ia memperlihatkan kertas itu padaku.

“Gambar seorang murid  sekolah Minggu di gereja Pakde dulu,” katanya datar. Tapi, sorot matanya meredup. Aku tak mengenal si pengirim kartu. Namun, gambar itu menyayat hati. Anak itu menggambar sebuah gereja yang miring dan setengah tenggelam. Di sekelilingnya ada genangan berwarna kelabu yang arsiran warnanya sengaja dibuat tak rapi. Atau barangkali digambar dengan kemarahan. Di sisi kanannya, bocah itu menggambar dirinya sendiri dengan air mata di pipinya. Pakde menempelkan gambar itu pada kalender di sisi mejanya.

Di hari tertentu, pakdeku bangun pagi-pagi benar. Naik kendaraan umum ke pasar, lalu pulang dan memasak untuk kami sekeluarga. Masakan Jawa. Tanpa daging. Namun, entah bagaimana, sama enaknya. Kebiasaannya memasak justru  makin rutin saat bulan puasa tiba. Ia yang memasakkan menu sahur dan buka kami sekeluarga.

Menjelang Idul Fitri, dengan cekatan ia membantu mencetak adonan kue kering yang sudah dipipihkan menjadi aneka bentuk. Aku, Ibu, dan Pakde mengerjakan semuanya sambil menonton TV di ruang tengah. Berita petang terdengar saat kami tinggal menghias kue dengan cokelat.

Pakde Yok bersiap membuat selengkung senyum di atas kue ketiga yang sedang dihiasnya dengan spuit berisi cokelat, saat berita itu terdengar. Lumpur Sidoarjo. Sudah berbulan-bulan kami tak mengikuti perkembangannya. Makin hari, peristiwa itu makin jarang diberitakan. Tergeser berita yang lebih baru.

Aku serta-merta menggapai remote dan mengencangkan suara TV.
Penelitian terbaru dari University of Bonn, Jerman, mengungkap bahwa semburan lumpur disebabkan oleh gempa jarak jauh 6,3 Skala Richter, dua hari sebelumnya di Yogya. Bukan dari penggalian. Sehingga peristiwa ini tepat dikategorikan sebagai bencana alam….

Spuit berisi cokelat cair yang sedang dipegang Pakde Yok jatuh ke lantai, menciptakan genangan yang segera melebar ke segala arah.
“Maaf! Maaf!” ucapnya, setengah berlari mengambil lap dari dapur.
Aku dan Ibu saling bertatapan.  Wajah kue yang sedang dihias Pakde menjadi bentuk bibir yang melengkung ke bawah. Wajah yang bersedih.
Ibu bergegas ke belakang, mengambil kain pel, melihat genangan itu makin melebar. Aku masih terdiam antara terkejut dan berusaha memahami berita yang baru saja kami dengar.

“Nanti Pakde perbaiki,” kata Pakde, sambil mengelap lantai, melihatku memperhatikan kue berwajah sedih itu. Aku ganti mengamati wajah Pakde yang tampak letih.

Mendadak kehilangan rumah saja sudah mengendapkan luka. Tapi, yang dialami pakdeku barangkali setara dengan pengusiran paksa terhadap orang yang tidak melakukan apa pun selain kebaikan. Seakan seketika ia didesak meninggalkan seluruh hidup, jalinan pertemanan dan cinta yang telah dibangunnya tahun demi tahun. Menerima kejadian itu sebagai bencana alam, atau sesuatu yang belum jelas benar, membuat luka itu makin dalam.

“Tak usah dipikirkan, Pakde…,” ucapku pelan.
Aku tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulutku sendiri. Kalimat yang sekian lama ingin kuucapkan pada beliau.  
Ia menoleh padaku. Mata kami bertemu beberapa lama.
Lalu mata itu berkaca-kaca. Ia mengangguk-angguk. Mengusap kepalaku dengan tangan kirinya, lalu beranjak pergi ke kamar.
***

Hari pertamaku bekerja sebagai guru taman kanak-kanak bertepatan dengan peringatan lima tahun bencana lumpur itu terjadi. Aku mengingatnya benar karena Pakde, di usianya yang sudah 70, saat itu bersikeras ikut berdemonstrasi ke istana.

Pada 18 Agustus siang, aku pulang membawa seuntai bendera merah putih yang dibuat murid-muridku. Pakdeku sedang duduk-duduk menatap kolam belakang ketika aku menyapanya dengan ceria. Akhir-akhir ini, ia sering hanya duduk termenung.

“Selamat Hari Kemerdekaan, Pakde!”
Ia menoleh padaku, memperhatikan lambaian benderaku, lalu balas tersenyum.
Namun, kalimat balasannya setelah itu membuat senyumku seketika lenyap.
 “Merdeka dari apa, Cah Ayu?”
Aku terkesiap. Meski masih bisa membuat segaris senyum.
Lima tahun Pakde Yok tinggal bersama kami. Tapi, jauh dalam hatinya, aku tahu bahwa ia tak pernah benar-benar hidup sepenuhnya di antara kami. Hati dan sebagian jiwanya masih dan selalu ada di Siring, bersama makam Bude, Ponpon yang hilang, dan rumah berpohon jambu yang tak akan pernah terlihat lagi.

“Pada akhirnya, satu-satunya hal yang paling Pakde khawatirkan di dunia ini, Cah Ayu, hanyalah hilang ingatan. Ingatan adalah satu-satunya tempat budemu tetap hidup. Di mana Pakde bisa berkunjung tiap hari. Hanya kenanganlah yang bisa Pakde putar kapan pun. Rumah kami sudah lenyap. Tapi, semua yang terjadi di bawah atapnya tetap tinggal selamanya di sini, dan di sini,” ia menunjuk dada dan kepalanya.

Genangan di pelupuk mataku tumpah ketika aku memeluknya.
Pakde Yok meninggal beberapa pekan kemudian. Hingga akhir hidupnya, ia adalah satu dari ratusan orang yang masih menanti pembayaran ganti rugi akibat lumpur yang menelan rumah mereka. Akhirnya ia tiba di rumah yang tak akan pernah dirampas lagi darinya.
***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?