Fiction
Roti Buaya [8]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Kami berempat: aku, Bagas, Amin, dan Catur, sepakat bertemu di sini. Di kebun kosong dekat rumah Bagas. Hanya Dudi yang tak bisa datang, dia sekolah siang. Kalau Satria jangan diharap, dia sudah berada di dunia lain yang tidak kami kenal. Tas sekolah kami titipkan di rumah Bagas. Rencananya, Paman Amin akan mengedrop keranjang plastik berisi cireng mentah yang akan kami jual di kompleks pertokoan Jalan Setiabudhi. Cireng alias aci digoreng adalah penganan yang terbuat dari aci atau tepung kanji yang diuleni kemudian diberi bumbu. Setelah digoreng hingga matang, cireng dapat dinikmati dengan cabe rawit, sambal dan saus tomat, atau sambal kacang.

Kami mendapatkan keuntungan lima ratus rupiah dari sebungkus cireng yang dijual empat ribu rupiah. Satu bungkus berisi sepuluh cireng mentah. Bila beruntung, ada juga pembeli yang baik hati. Seorang ibu membeli tiga bungkus cireng seharga lima belas ribu rupiah dan kembaliannya diberikan kepada Catur. Bagas juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. Tentu saja, yang lain pun ingin seperti mereka, bertemu ‘peri cireng’ yang melebihkan harga.

Kami tidak peduli bila ada orang yang berpikir, bahwa kami lebih banyak memakai waktu untuk bermain dan mencari uang. Bermain adalah sebuah alasan karena kami tak mau kehilangan masa kanak-kanak yang hanya sekali seumur hidup. Hal ini dilakukan karena kami terlalu kenyang berpikir serius tentang bagaimana mewujudkan keinginan-keinginan duniawi tanpa membebani orang tua. Tentu saja bukan hal tabu memiliki keinginan-keinginan itu karena kami tinggal di dunia. Barangkali, bila kami berada di matahari akan disebut keinginan matahariawi bila kami penduduk planet Mars maka disebut keinginan marsiawi.

Adalah hal yang manusiawi pula bila kami berempat bukan murid istimewa yang berlumur pujian. Bukan pula si jenius pencipta nilai atau anak ajaib yang memukau. Cukuplah setiap tahun naik kelas dan rapor tak ada angka merah. Cukuplah bersekolah demi sehelai ijazah. Selebihnya, itu anugerah!

Malam itu celengan Spiderman kutimang, isinya bergoyang lambat.  Terasa padat. Tak percuma kerja kerasku selama ini. Aku tersenyum lebar sendirian. Tapi, senyum itu segera pupus karena Ibu datang menghampiri. Dia selalu tahu kapan isi celengan ini penuh dan bisa ‘dipinjam’ dengan berbagai alasan yang menyiratkan suatu keharusan. Lekap kugenggam kaleng berharga itu, sambil mencari kata untuk bertahan, bila Ibu menghendaki isinya.

“Uangmu barangkali cukup bila digabungkan dengan gaji Abah….”  

Dadaku terasa sempit, kehilangan udara. Kutatap Ibu dengan pikiran kacau. Dia malah tersenyum. Sepucuk amplop putih dia sodorkan kepadaku. Tiba-tiba aku menjadi orang bodoh karena sama sekali tidak mengetahui maksud Ibu berlaku demikian.

“Kenapa, Nak? Bukannya senang, kok, malah melongo begitu?” Senyum Ibu menyisakan rasa penasaran dalam hatiku.

“Ibu mau pinjam isi celengan ini?” tanyaku, setengah hati.

Ibu tertawa renyah, tawa yang jarang kudengar.

“Tidak, Nak, justru Ibu ingin isi celenganmu digabungkan dengan gaji Abah supaya kita bisa melaksanakan kenduri,” kata Ibu, sumringah. “Ayahmu mendapat gaji ketiga belas!”

Pikiran kanak-kanakku masih belum bisa mencerna perkataan Ibu. Kubiarkan dia melanjutkan kata-katanya.

“Ayah dapat tambahan uang dari kantornya yang besarnya sama dengan satu bulan gaji. Nah, Ibu dan Abah ingin agar uang ini dipakai untuk biaya kenduri khitananmu. Tak usahlah ke dokter praktik yang mahal, ke puskesmas saja, yang penting selamat!”

“Khitanan…?” Dadaku tiba-tiba membesar, kebanyakan udara yang membuatku merasa melambung. “Benar, Bu?”

Ibu mengangguk. Aku benar-benar terbang sekarang! Kucium tangan Ibu, khidmat, penuh rasa terima kasih. Sayang Abah belum pulang, sehingga aku tak dapat meluapkan rasa bahagiaku dengan sempurna. Semalaman aku tak bisa tidur, ingin segera kukabarkan rencana akbar ini kepada teman-temanku.

Bagas tertegun sewaktu kukabarkan berita gembira ini. Matanya yang bulat berkaca-kaca. Ia menepuk bahuku dan tersenyum bangga. Kami berjalan beriringan menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kami membicarakan kenduri yang akan segera dilaksanakan. Ia pun berjanji akan membantuku meminjam kamera kepada saudaranya.

Kabar itu tersebar cepat, bukan hanya di antara kami berlima, tapi teman-teman sekolah pun mulai tahu. Aku mendadak jadi selebritas kelas lokal yang mabuk popularitas. Dua minggu lagi, kenduri berlangsung. Sederhana, tanpa atraksi kesenian tradisional yang megah. Tak ada gotong singa atau jampana. Abah akan menggendongku dari jalan besar sampai ke rumah, dan itu jauh lebih berarti bagiku!

Setiap jam, setiap malam, setiap hari adalah masa-masa menunggu yang mendebarkan. Impianku sebentar lagi terwujud, bukankah berarti aku sama seperti anak yang lain? Anak laki-laki normal, pemuda cilik yang akan segera beranjak remaja. Aku tak tahu seperti apa nanti kenduri itu, Abah dan Ibu yang mengatur segalanya. Aku tinggal duduk, disunat, dan menerima uang panyecep.

Namun, apa mau dikata, semua harapanku buyar seketika. Kehadiran Pak Surip, tetanggaku, membuat hari itu menjadi hari yang paling aneh dalam hidupku. Setelah ia bertemu guru piket, aku dipanggil ke ruang guru. Pak Surip tak banyak bicara, ia hanya menatapku dengan pandangan prihatin dan membawa pesan dari ibuku. Aku harus segera pulang. Pikiranku kacau, aku tak ingin menduga atau berprasangka. Suatu hal buruk mungkin terjadi. Abah! Jangan-jangan Abah sakit parah atau Abah…  meninggal?

Aku meracau dalam hati. Pak Surip memacu motornya. Helm yang biasa dipakai istrinya memang kebesaran, hingga harus kupegang erat-erat, sementara tangan yang satunya mencengkeram ikat pinggang besar milik tetanggaku yang baik hati ini. Ternyata, Pak Surip tidak membawaku pulang ke rumah atau ke rumah sakit, tapi ke kantor polisi! Aku lega, artinya Abah sehat. Tapi, hatiku makin bertanya-tanya, ada apakah gerangan?

“Ayahmu di dalam, dia sedang mengobrol dengan polisi,” kata Pak Surip, seakan tahu isi benakku. Singkat, padat, tapi tak jelas.

Tentu saja aku bukan anak ingusan yang percaya begitu saja pada kata-katanya. Sebentar lagi aku masuk SMP, bila Abah mampu membiayai sekolahku dan aku berharap demikian. Mungkin Pak Surip tak punya kata lain yang lebih pantas dalam menjelaskan keadaan ayahku. Hanya karena Abah mengobrol dengan polisi, mengapa Pak Surip sampai tergopoh-gopoh menjemput aku ke sekolah?

Abah ditahan polisi akibat kecelakaan kereta api yang terjadi tadi pagi di wilayah kerjanya. Begitu kata Ibu, sambil memelukku. Bahu seragamku agak basah terkena air matanya yang tak putus berderai. Pagi yang kusut, harapan yang terburaikan. Ibu memelukku lagi. Matanya yang basah, bicara lebih banyak.


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?