Fiction
Roti Buaya (3)

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Bila kebagian jaga malam, siangnya Abah nyambi jadi petugas parkir. Waktu yang seharusnya digunakan Abah untuk istirahat, dipergunakan untuk bekerja pula. Otomatis aku jarang bertemu ayahku. Kami jarang mengobrol, apalagi Abah termasuk agak pendiam. Tapi, aku tahu betul, betapa Abah menyayangi kami semua. Mata Abah sudah terlalu banyak bercerita padaku, sehingga aku tidak merasa kesulitan untuk menafsirkannya.

Sehari-harinya Abah bertugas sebagai penjaga pintu perlintasan kereta api. Ia seorang pegawai yang tekun, cermat, dan rajin. Aku bangga mempunyai ayah seperti Abah. Lewat kepolosan kanak-kanakku, terkadang aku berpikir, kalau sudah dewasa nanti ingin seperti ayahku.

Tapi Abah tak menyetujui keinginanku. “Tanggung jawab dan risikonya terlalu besar, Nak, dan tidak semua orang akan menghargai pekerjaan dan pengorbananmu. Abah memang bertanggung jawab mengatur agar lintasan kereta yang Abah jaga itu aman dan tertib, baik untuk kereta, orang, atau kendaraan pengguna jalan. Bila Abah lalai, nyawa orang banyak taruhannya. Tugas utama Abah berhubungan dengan keselamatan semua penumpang kereta api yang melintas dalam wilayah kerja Abah. Namun tidak semua orang mengerti. Masih saja ada orang yang mencoba menerobos palang pintu kereta. Mereka mengabaikan keselamatannya sendiri. Seharusnya mereka mengerti, Abah saja peduli pada keselamatan mereka, tapi mengapa mereka begitu?”

Mataku membesar. “Mana Dito tahu, Bah!” ujarku, polos. Abah tertawa, mengacak-acak rambutku dengan gemas.

“Abah tidak bertanya padamu. Abah hanya mempertanyakan perilaku orang-orang yang tidak sayang kepada dirinya sendiri. Kelak kau akan mengerti, betapa berharganya kehidupan ini!” ujar Abah, sambil tersenyum. “Abah hanya ingin Dito sekolah setinggi mungkin, agar mendapat pekerjaan yang lebih baik dari Abah.  Ini cita-cita Abah.”

“Abah mau tahu cita-cita Dito?”

“Ya…?!”

“Dito ingin disunat, lalu kita bikin kenduri…. Kita undang tetangga yang dekat-dekat rumah kita saja!”

Abah terdiam sesaat. “Itu bukan cita-cita, Nak, cuma keinginan biasa dan memang kewajiban kita untuk melaksanakannya!”

“Tapi, kapan, Bah?” kejarku, naïf.

Mata Abah berubah murung. Sebuah jawaban yang membuat aku berhenti mendesak ayahku.

Aku paham, mencoba untuk mengerti, namun sesuatu yang mendesak dalam pikiran kanak-kanakku membuat aku tak kuasa untuk meredamnya. Keinginan yang sudah lama menggumpal akhirnya terungkap juga. Ya, meski belum juga terwujud, sedikitnya aku sudah mengatakan semua itu kepada Abah. Abah tak berusaha memberi harapan, dia hanya mengusap-usap kepalaku. Beberapa saat kami terbungkam oleh pikiran kami masing-masing. Sampai kemudian aku beranjak, pergi tidur dan merangkai mimpi yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sepulang sekolah, aku sengaja lewat di depan toko roti dekat perempatan itu. Sekadar lewat dan tak bermaksud singgah seperti biasanya, aku harus segera pulang karena ditugasi Ibu menjaga adikku. Sepupu Ibu sakit keras dan Ibu harus segera menengoknya.

Sambil bergegas, hidungku masih sempat menangkap aroma khas dari arah toko roti itu. Wangi kue terburaikan angin, lindap menyelinapi indra penciuman siapa saja. Aku hafal benar, ini wangi roti buaya yang paling besar dan banyak cokelatnya. Aku menahan langkah, membiarkan diriku menghirup aroma lezat yang sedikit berlemak. Apa yang menjadikan roti buaya begitu istimewa bagiku? Bukankah hanya roti biasa yang menjadi berbeda karena bentuknya yang unik? Hanya roti biasa yang menjadi istimewa karena dijadikan semacam simbol yang entah apa maknanya. Aku tak peduli. Aku tidak tahu mengapa harus roti buaya yang dipajang, bila pesta khitanan berlangsung. Mengapa bukan roti berbentuk kuda atau burung garuda?

Aku masih ingat cerita Bagas di pinggir sumur beberapa malam yang lalu. Kami sering bertemu di situ. Sambil menimba air, ada saja yang kami perbincangkan.

“Kata Umi, orang Betawi asli menganggap buaya itu lambang kesetiaan. Setiap buaya jantan yang sudah dewasa cuma punya betina satu ekor….”

“Tapi, kenapa Pak Lurah yang beristri dua itu sering disebut ‘buaya darat’? Hampir semua ibu-ibu di kampung kita bilang begitu!” tanyaku, serius.

“Mungkin, buaya yang hidup di darat istrinya lebih dari satu, seperti Pak Lurah itu!” jawab Bagas, tak kalah serius.

“Memang buaya ada yang tinggal di darat?”

“Ya, Pak Lurah itu….”

“Hussh….!! Jangan keras-keras! Kalau kedengaran orang, nanti dia lapor Pak Lurah....”

“He...he...he… aku tidak takut! Katakan saja, ibu-ibu mengganti nama Pak Lurah dengan buaya darat!”

Kami berdua cekikikan. Lalu bergiliran memperagakan Pak Lurah jika sudah tua dan pensiun. Buaya terkenal karena giginya yang runcing dan sabetan ekornya yang dahsyat. Coba bayangkan, buaya darat ompong berjalan terseok-seok pakai tongkat. Tubuh ringkih itu dipapah kedua istrinya pada sisi kanan kirinya. Alangkah sengsaranya nasib pensiunan buaya darat!

Lalu kami mengganti topik cerita dengan cerita lain yang tak kalah menarik.

“Satria sudah jadi pria sejati… dia memang hebat!” kataku, mirip iklan rokok. Aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku. “Sudah disunat dan dirayakan besar-besaran, sekarang dia bisa bawa mobil juga!”

“Masih belajar, To! Belum mahir benar. Bisa-bisa anak itu jadi  makin sombong!”

Dalam hati kubenarkan ucapan Bagas. Belakangan ini Satria berubah sikap. Sejak ia disunat, hubungan kami kian renggang. Jarang Satria mau kumpul-kumpul lagi dengan kami. Maunya bergaul dengan anak-anak yang lebih besar, anak SMA. Padahal, anak itu baru berumur 13 tahun dan masih duduk di kelas
satu SMP.

Lagak dan gayanya sekarang kerap membuat diriku dan kawan-kawan lainnya mual dan sebal. Coba bayangkan! Bukan hanya kelakuannya yang berubah, suaranya pun jadi sember seperti kaleng pecah. Belum lagi model rambutnya yang pakai jeli, ditata model ayam tersiram air yang disekap satu bulan dalam kurungan.

Bagas meraih ember kosong dari tanganku, lalu membiarkannya meluncur masuk ke dalam sumur. Pegangan ember  itu diikat oleh seutas tali besar  yang terbuat dari ban bekas. Tali melingkari kerekan timba yang digantungkan pada sebilah besi melintang sekitar dua meter di atas sumur. Besi itu disangga oleh dua buah tiang beton yang berdiri tegak pada kedua belah sisi sumur. Ujung tali yang lainnya, diikatkan pada selingkar kawat beton yang sengaja ditanam pada dinding luar sumur pojok sebelah kiri.

Setelah ember itu terisi penuh, Bagas segera menarik tali ke atas, lalu memindahkan isinya ke dalam ember besar miliknya. Butuh satu ember timba lagi kalau ingin membuat embernya penuh. Sesudah penuh, baru dibawa ke rumahnya.

“Kamu sudah ketemu Dudi?”

Bagas mengangguk seraya meletakkan embernya yang sudah kosong. Dudi sempat tidak masuk sekolah satu hari karena asmanya kumat gara-gara peristiwa itu. Kebetulan mereka beda kelas, jadi bertemu hanya pada waktu bermain saja.

“Ngeri, ya, kalau Dudi benar-benar tenggelam. Untung Pak Surip lewat, jadi ketahuan dan cepat tertolong!”

“Padahal, dia paling jago berenang di antara kita, kok, bisa tenggelam juga, ya?” ujar Bagas, sambil menatapku.


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?