Fiction
Roti Buaya [10]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Kamera mengikuti langkah Marissa. Ia berada dalam sebuah ruangan 2 x 2 meter yang disesaki panel pengatur pintu otomatis dan sebuah kotak kayu besar yang berfungsi sebagai meja. Beberapa buah rambu tergeletak di situ. Pos jaga itu dilengkapi toilet kecil berukuran 1 x 2 meter. Marissa melongokkan kepalanya sedikit. Sebuah pompa air tua bercat hijau ada di situ, disertai ember dan sebuah gayung yang sudah tidak ketahuan lagi warnanya.

Kamera beralih. Sebuah kursi plastik lusuh tampak di sudut. Sebuah jam bulat menempel di dinding, di bagian bawahnya terpampang peraturan kerja yang dilaminasi. Satu poster besar bergambar yang warnanya mulai luntur, mendominasi dinding. Poster prosedur pengamanan pintu lintasan kereta api.

Telepon yang dilengkapi panel aluminium berisi tombol-tombol tampak menempel pada dinding dekat jendela. Ya, dua buah jendela kaca besar berada di sisi kiri dan kanan, memudahkan petugas melihat situasi pintu lintasan dan mengawasi arah datangnya kereta api. Mereka pun terlibat percakapan yang mengulas suka-duka penjaga pintu lintasan kereta api.

Aku menggigit bibir. Andai petugas itu Abah, tentu adikku akan melonjak-lonjak kegirangan dan keesokan harinya penampilan Abah menjadi bahan pembicaraan teman-temanku atau mungkin orang-orang sekampung. Tapi, apa mau dikata, bukan begitu kenyataannya.

Suara Marissa mengudara. “Kasus Asep Suhandi membuka mata kita, ada sisi kehidupan yang luput dari perhatian. Kehidupan para penjaga pintu lintasan kereta api  yang serba kekurangan, tak mengurangi semangat kerja mereka. Ribuan bahkan jutaan nyawa tergantung pada ketelitian dan kedisiplinannya dalam bekerja. Ini sebuah pengabdian.”

Kamera menyoroti petugas berseragam abu-abu kusam itu. Dia menuturkan, waktu kerja mereka dibagi dalam tiga shift. Masing-masing delapan jam. Rata-rata mereka mengatur sekitar 30 kereta api yang melintasi wilayahnya.  Bila ada kereta yang akan lewat, genta penjaga berbunyi. Isyarat awal sudah diberikan, orang-orang memperlambat laju kendaraannya. Bila kereta sudah tampak dari kejauhan, petugas segera membunyikan alarm dan perlahan-lahan menurunkan palang pintu kereta otomatis. Sementara itu, rekaman suara berisi anjuran agar menaati rambu-rambu perlintasan diperdengarkan.

“Begitulah, Pemirsa, selama para pengguna jalan bersikap tertib, petugas lintasan dan masinis menjalani tugasnya dengan baik, peluang terjadinya kecelakaaan dapat diperkecil,” pungkas Marissa.

Layar televisi masih menampilkan adegan kilas balik yang menceritakan kegiatan sehari-hari penjaga pintu lintasan itu, mulai dari berangkat kerja hingga pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarganya.

Usai menimba air sumur, televisi masih menayangkan diskusi tentang kasus kecelakaan kereta api dan peran vital para penjaga pintu kereta. Beberapa tokoh yang berkaitan tampil, baik dari PT Kereta Api Indonesia, Lembaga Konsumen, pengacara LBH, maupun Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Mereka terlibat perbincangan seru yang diwarnai perdebatan-perdebatan kecil.

Aku tidak menyimak diskusi itu sampai tuntas, rasa kantuk keburu menyergapku. Sebelum tertidur pulas, hatiku merasa puas. Marissa bersama rekan-rekannya sangat gigih mengajak masyarakat mencermati kasus yang menimpa Abah dan anak pejabat itu secara objektif, dari berbagai sudut pandang. Sedikitnya aku merasa terhibur, upaya tim Marissa dapat mengimbangi pemberitaan infotainment yang berlarat-larat dan berusaha membentuk opini publik yang memihak kubu Indra Riswanto.

Pagi kumulai dengan doa, siangnya Tuhan menjawab doaku dalam kecepatan yang sangat menakjubkan. Abah dibebaskan dari segala tuduhan! Polisi dan KNKT menemukan bukti, tabrakan itu terjadi karena Indra Riswanto nekat menerobos palang pintu lintasan kereta api. Indra baru pulang dari sebuah pesta dan dalam
keadaan mabuk.

Mobil yang dikendarai Indra Riswanto melaju kencang menabrak palang kereta yang sudah menutup lintasan. Kereta dari arah timur melaju dengan kecepatan 60 km per jam. Masinis sempat berusaha menghentikan keretanya, namun jarak mobil terlampau dekat. Benturan yang sangat keras pun terjadi. Tak terelakkan lagi, mobil Indra terseret beberapa ratus meter dari posisi semula. Pemuda itu tewas seketika, tiga orang temannya masuk ICU.

Ibu memelukku kuat-kuat. Dita kebingungan melihat Marissa dan teman satu timnya bersorak-sorai. Beberapa jenak, halaman kantor polisi ingar-bingar seperti bazar 17 Agustusan. Aku benar-benar terkesima. Batalnya kenduri dan habisnya isi celengan Spiderman serta gaji ketiga belas Abah yang bersisa sedikit, untuk biaya hidup kami selama Abah ditahan, bukan hal yang bisa membuatku terpuruk. Tapi, yang jauh lebih penting, Abah tak jadi masuk penjara! Kehilangan Abah selama beberapa hari sudahlah cukup. Dia sumber semangat hidup kami. Keadaan sesulit apa pun dapat kami lalui, bila dia tetap bersama kami.

Roda nasib bergulir lebih cepat dari yang terbayangkan. Penampilanku di televisi tempo hari berbuah manis, Aku mendapat beasiswa sampai ke perguruan tinggi dari sebuah perusahaan mainan anak-anak. Sebuah yayasan budaya menawarkan sebuah pesta khitanan adat yang dimeriahkan berbagai atraksi kesenian tradisional. Kenduri besar itu akan dijadikan film dokumenter untuk kepentingan Dinas Pariwisata. Aku memaksa diriku untuk percaya, ketika lebih dari delapan roti buaya ukuran paling besar tersaji di rumahku!

Marissa Hermawan hadir dalam pesta besar itu. Aku merasa sangat berterima kasih padanya. Dia seorang jurnalis yang teguh pendiriannya, tak mau mengikuti arus. Meski media massa cenderung memanjakan masyarakat dengan hal-hal yang konsumtif, keberpihakan, dan mengedepankan unsur hiburan tanpa belenggu etika, Marissa mencoba menayangkan liputan yang menyentuh rasa kemanusiaan. Rasa yang tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu, tapi sesuatu yang manusiawi, sesuatu yang  sebetulnya mengendap dalam hati nurani semua orang.

Marissa telah melakukan hal yang sangat berharga bagiku, bagi hidupku. Dia membuat alam bawah sadarku tergerak mengikuti jejaknya.

Lima belas tahun kemudian….
Aku masih berdiri di depan dinding kaca yang tebal, dengan embun yang terembus dari hidungku, yang membentuk bayanganku sendiri. Kuraih tali ransel hitamku yang berisi laptop dari undakan etalase. Tak ada pelayan toko yang mengusirku, agar menjauh dari etalase yang bening dan selalu wangi.

Pintu kaca kudorong perlahan, aroma kue mengepungku dari segala penjuru. Kupanggil pelayan, kupilih satu buah roti buaya yang paling besar. Lalu aku bergegas ke kasir. Roti buaya itu mulai kehilangan pengagumnya, terselip di antara kue-kue yang menawan. Tapi, bagiku dia sebuah monumen, sebuah monumen! (tamat)

Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009 



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?