Fiction
Romansa Platonikus [1]

25 Jan 2013

Sambil berdiri menatap Gunung Merbabu menjelang sore, aku memutuskan menunggu Luwi dalam diam. Aku belum siap. Mungkin tidak akan pernah siap. Tapi, menghindar bukan jalan keluar. Kami memang harus bicara, sebagai dua orang dewasa yang bekerja sama dalam sebuah tim untuk sebuah tujuan yang melibatkan banyak orang.
   
Aku tidak pernah berencana untuk mengagumi Luwi dan menyayanginya, lebih dari seorang sahabat. Aku dan Ami, istrinya, berteman. Aku yang menemani Beth, putri mereka, naik kuda di Kopeng  tiap kali ia datang kemari. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti mereka, tapi aku juga tidak ingin berbohong pada diriku sendiri dan Luwi.
Kalau ada waktu terbaik untuk berharap pada diriku sendiri, inilah saatnya. Berharap agar aku bisa menjaga perasaan banyak orang. Berharap agar aku bisa melihat semua dengan jernih, tidak terjebak dalam perasaanku sendiri, tanpa harus jadi pahlawan kesiangan yang merasa telah berkorban untuk banyak orang.
    
Workshop yang dipimpinnya selesai sejam kemudian. Luwi keluar bersama anak-anak yang siap diantar pulang Hans. Seorang anak yang digendong Luwi memeluk lehernya kuat-kuat sambil mengucap terima kasih. Aku berdiri di kejauhan, memandang dengan kagum, sambil menarik napas dalam-dalam. Berharap bisa mengurangi rasa sesak karena menahan keinginan untuk ambil bagian.
   
Mobil L-300 yang diisi hampir 10 anak meninggalkan tempat parkir di depan gedung pertemuan. Sekarang hanya ada aku dan Luwi. Tiur dan beberapa teman lain sedang makan malam. Kami bisa leluasa pergi berdua tanpa ada yang curiga. Sudah bertahun-tahun kami bersama, begitulah adanya. Hanya saja, beberapa minggu terakhir ini, ada yang  berubah. Aku tahu. Luwi juga tahu. Itulah sebabnya kami harus bicara.
   
Kami duduk diam dalam mobil yang membelah malam di Salatiga. “Widya tidak ada di workshop sore tadi,” katanya, setelah beberapa saat. Luwi memiliki perhatian khusus pada Widya, gadis cerdas berusia 6 tahun dengan celah bibir. Berkali-kali lembaga kami menawarkan operasi untuk memperbaiki bibir Widya, tapi orang tuanya menolak. Lambat laun, kami curiga ada sesuatu yang terjadi pada gadis kecil ini. Akhirnya, pada suatu hari Widya bercerita kepada kami, orang tuanya sering memaksanya turun ke jalan untuk mengemis. Kalau celah bibirnya dioperasi, tidak banyak orang yang akan iba kepadanya.    
   
Aku bisa merasakan kegelisahannya. Mobil kami terus melaju, mengarah ke Kopeng. Luwi sedikit bercerita tentang riset baru di Sumbawa. Kurang dari tiga bulan ke depan, mereka akan pindah ke sana. Sumbawa dan Mentawai bukan jarak yang dekat. Kami nyaris tidak akan pernah bersama-sama lagi untuk waktu yang lama.
           “Hans minta kau mendampingi tim mereka ke Mentawai. Katanya, hanya kau yang bisa.” Kutangkap nada sedih dalam suaranya.  
           “Kasus apa? Hans belum bilang apa-apa padaku.”
           “Child abuse. Perlu konselor  andal sepertimu.”   
   
Kami tiba di sebuah sisi jalan di atas bukit yang menghadap taburan lampu- lampu Kota Semarang. Kutatap Luwi tepekur memandangi kegelapan. Wajahnya terlihat letih. Sesekali dia menghela napas, hingga akhirnya menoleh ke arahku, lalu tersenyum.
         
 “Aku menyayangimu, Janna,” katanya, sambil mengusap lembut rambutku.
Di luar, malam makin dingin. Kabut turun pekat di luar. Namun, tatapan Luwi membuatku merasa hangat. Berharap aku bisa membuang jauh pikiran yang melayang pada Ami dan Beth. Aku bukan pengkhianat. Hatiku terasa sesak. Kepalaku penat.
“Perasaan tidak pernah bisa dijelaskan sebagai benar atau salah. Mungkin bisa dimengerti dan tidak dimengerti. Tapi, tidak sebagai salah dan benar.”  Luwi menyentuh wajahku dengan punggung tangannya. Tatap matanya seperti menusuk hatiku.
 “Bisakah aku mencintaimu dalam diam?” tanyaku setengah berbisik. “Perasaan kita memang tidak pernah bisa dibilang salah atau benar. Tapi, dengan situasi yang kita hadapi saat ini, kita bisa mengendalikannya. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.” lanjutku. Luwi menarik napas dalam, “Aku lelah,” katanya. Kubiarkan dia diam sebentar.
“Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Terlalu banyak kesedihan yang harus kusaksikan.” Matanya mulai berair. “Oh Lord, Thy sea is so great, and my boat is so small,” lanjutnya. Kutipan Einstein yang sering diulangnya itu membawaku larut dalam rasa haru. Begitu ingin aku memeluknya, tapi kutahan rasaku, hingga membuat rasa sesak yang menyakitkan.

“Banyak ‘mengapa’ yang tiba-tiba menyerbu masuk dalam kepalaku, Jan.” ujarnya lirih. Aku mengangguk, mencoba mengerti. “Mengapa aku harus mencintaimu...?” lanjut Luwi. “Mengapa harus merasa iba pada Widya?” Kepalanya tertunduk, Luwi menangis diam-diam. “Mengapa harus banyak kesedihan dan penderitaan?”
Kuhapus air matanya. Tak kuasa lagi menahan diri, kupeluk dia. “Aku ada di sini. Menangislah.”  Luwi menangis pelan. Tangisan untuk Widya, tangisan untuk si kembar Yanto dan Yati yang baru kehilangan ibu mereka yang meninggal karena AIDS, tangisan untuk Rizky yang lahir tanpa kulit.

***
 “Konselor itu seperti recycle bin,” kata Tiur pada suatu pagi ketika kami sedang bersiap masuk sesi. Aku tersenyum. “Inilah pelayanan kita.” jawabku singkat.
Kutunggu dengan sabar sampai Luwi selesai. Besok hari terakhir kami. Lusa seluruh tim akan kembali ke Jakarta. Luwi akan kembali pada keluarganya. Meski tak seperti caranya berbagi tangis denganku, aku harus rela melepaskan Luwi untuk kembali pada Ami.
“Aku mencintaimu, Janna,” kata Luwi, sambil kembali membelai wajahku. Napasku sesak. Aku tahu pernyataan cinta Luwi hanya akan membawa lebih banyak kabut dan awan kelabu memenuhi seluruh ruangan hatiku.
Kusambut tangannya dan kugenggam erat, “Cintai aku dalam diam,” bisikku.  “Hanya itu yang kita punya.”
Aku percaya Luwi tidak bermaksud membentuk ketergantungan emosional, namun yang terjadi di antara kami tengah menuju ke sana. Aku hanya perempuan biasa yang sedang menikmati pesan singkat yang dikirimnya sebelum aku tidur.
Selamat tidur, Sayang.

Kubaca pesan itu berulang-ulang, dan merasakan sensasi emosi yang menyenangkan hatiku.  Kutahu, aku mencintainya dan menikmati perhatian yang diberikannya.
***
    Sesi hari itu selesai menjelang tengah hari. Semuanya berjalan menuju ruang makan dengan hati gembira. Hans dengan wajah yang cerah menghampiriku dan menepuk pundakku pelan, “Good job, Sacagawea.”
    Di seberang, Luwi berdiri dengan pandangan yang terus tertuju padaku. Setelah Hans pergi, dia berbisik pelan di telingaku, “Sacagawea?”
    “Pahlawan perempuan Indian,” jawabku.
    “Aku tahu siapa Sacagawea. Tapi, kenapa dia harus memanggilmu dengan sebutan itu?” Ada sedikit rasa cemburu dalam suaranya. Kubiarkan sensasi itu lewat sebentar sebelum kutepis cepat.
    Sebelum pergi, Hans menyampaikan kalau tidak ada kabar dari Widya. Berita ini membuat Luwi  makin murung. Setelah Hans pergi, kugenggam tangannya dan kubisikkan di telinganya kalau Widya baik-baik saja, walaupun aku sendiri tak yakin. Seperti halnya aku tak yakin pada perasaanku yang mengatakan semua akan baik-baik saja di antara kami berdua. Luwi juga tampaknya tak percaya.

***
Luwi seperti angin yang datang dan pergi. Tak banyak yang bisa menebak apa yang berkecamuk di hatinya. Cukup bagiku hanya duduk diam di sisinya. Kata-kata tidak begitu dibutuhkan di saat seperti ini. Aku suka berbagi kesunyian dengannya.

Lima tahun kami bekerja sama dalam sebuah lembaga yang menolong anak-anak di  pedesaan. Bagi ratusan anak, Luwi adalah seorang pahlawan. Bagiku, dia adalah inspirasi. Aku mengaguminya. Tapi, aku tidak ingin melukainya. Tidak ingin mencelakai dia dan keluarganya. Aku ingin dia lebih bahagia lagi bersama keluarganya. Rasa cintaku datang bersama rasa sakit yang luar biasa.

Malam itu, dalam remang cahaya bulan, kucium keningnya. Kuucapkan selamat tinggal. Aku akan pulang lebih dulu ke Jakarta. Kuputuskan begitu karena lebih lama tinggal bersama Luwi artinya lebih sulit lagi untuk bisa melepaskannya. Kami akan bertemu lagi di Jakarta, tapi kuharap situasinya akan berbeda. Luwi perlu bertemu istrinya dan harus memeluk anaknya. Saat itulah dia bisa mengingatku lagi sebagai seorang sahabat. Tidak lebih.
***
Sudah dua hari Luwi menghilang. Tak ada yang tahu dia di mana. Terakhir kali beberapa teman di basecamp Salatiga melihatnya naik mobil tengah malam. Setelah itu tak ada kabar berita. Hampir setengah isi kantor Jakarta ada di Salatiga saat ini. Ami juga di sana. Semuanya menunggu tim yang turun mencari Luwi di beberapa titik, termasuk Desa Kopeng, rumah orang tua Widya.
   
Tidak ada yang bisa kulakukan di saat seperti ini selain berdoa. Aku menangis sedikit. Lalu berdoa. Betapa inginnya aku bersamanya saat ini. Aku sangat merindukannya. Rindu yang kembali membuat kepalaku pening. Pening karena kenyataannya tidak ada seorang pun yang tahu di mana Luwi berada. Sesak, karena jika ada orang yang paling pantas untuk bersama Luwi, itu adalah Ami, istrinya, dan bukan aku.
   
“Dia pasti baik-baik saja.” Aku terjaga dan membuka mata. Ami berdiri di sampingku dengan secangkir kopi di tangannya. Wajahnya terlihat kurang tidur. Dia pasti terjaga semalaman menunggu kabar.
“Ya. Kuharap begitu,” jawabku pelan. Kugeser sedikit badanku memberikan tempat untuknya duduk. Dia menggeleng. “Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ada presentasi penting besok siang, aku harus segera kembali ke Jakarta sore ini.”
   
Dalam kebingungan, kupandangi ia setengah tak percaya. Sepotong kabar pun tentang Luwi belum kami terima, bagaimana mungkin dia bisa pergi begitu saja?
         
Ami tersenyum sambil menyentuh lenganku pelan. “Luwi punya kau di sini. Itu yang diperlukannya.” Ami meninggalkanku sendirian, bingung dan ketakutan.
   
Entah berapa lama aku jatuh tertidur di bawah pohon. Tiur membangunkanku. Mereka sudah menemukannya. Itu kata Tiur, sebelum dia pergi lagi. Aku berdiri dan melangkah mengikutinya dari belakang. Kamar tempat Luwi beristirahat sudah mulai lengang. Dari kejauhan kulihat Ami meninggalkan kamar menjinjing laptop dan koper. Kuberikan isyarat pada Hans di teras. Dia mengangguk dan mempersilakan aku masuk.
   
Luwi dibaringkan di atas tempat tidur. Kemejanya sudah diganti. Wajahnya penuh memar. Sebuah jahitan menyilang di atas bibirnya. Dari berita yang kudengar, dia pergi mencari Widya. Beberapa preman menghentikannya secara paksa. Membuat Luwi babak belur dan meninggalkannya tak sadarkan diri di tengah hutan.
   
Aku tahu aku tidak boleh melakukan ini, tapi kubiarkan juga  tanganku menyentuh  wajahnya. Jariku bergerak menyentuh bibirnya dan akhirnya kubelai rambutnya. Saat pintu terbuka dan Ami masuk, aku menarik tanganku dan menyeka air mata yang jatuh ke pipi. Kulakukan semuanya dengan cepat.
   
Ami berdiri di sisiku. Kami terdiam beberapa saat. Keheningan yang aneh. Kudengar Ami menghela napas panjang. “Ini tidak menjadi bagian dari risiko pekerjaan, bukan?” Aku tahu pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, retorik. Aku tahu Ami beberapa kali sudah meminta Luwi mencari pekerjaan baru. Pekerjaan ini begitu menyita waktu dan perhatiannya. Membawanya menjauh dari keluarga, secara fisik dan emosi.
   
“Minggu lalu kami bertengkar lagi. Dia ada bersama kami, tapi pikirannya berada jauh di tempat lain. Pasti pekerjaan.  Kuminta dia mengundurkan diri. Kau tahu apa jawabannya?” Ami menoleh menatapku. Belum sempat kujawab, dia meneruskan, “Andai saja kau bisa lebih mengerti aku seperti Janna.” Aku tersentak. Jantungku berdebar kencang.
   
“Waktu baru tiba di sini, dalam tidurnya dia memanggil-manggil namamu. Namamu, Janna. Dan bukan namaku.”
    “Kuharap itu bukan berarti apa-apa,” kataku.
    “Kuharap juga begitu. Tapi,  kulihat air matamu pagi tadi. Aku tahu, apa yang terjadi di antara kalian adalah sesuatu yang tidak dibuat-buat. Aku tidak bisa menangis sejak hari pertama tiba di sini. Bukankah itu aneh?”
    “Kau tertekan, kau khawatir menunggu suamimu, itu penjelasan yang paling masuk akal,” kataku, mencoba menyanggah. Ami tetap menggeleng. “Kau mencintainya lebih dari cintaku kepadanya. Dan dia mencintaimu lebih dari cintanya kepadaku.”
    Kutarik napasku berat, “Ya, aku mencintai Luwi. Tapi, kau adalah istrinya. Kau miliknya. Dia milikmu. Tidak seorang pun bisa melakukan apa pun untuk memisahkan kalian. Tidak juga aku. Jangan izinkan seorang pun membawa pergi orang yang kau cintai, Ami.”
    “Tapi, dia mencintaimu, Janna. Sangat mencintaimu.”  Ami menangis pelan.
    “Jika aku tidak ada di sekitarnya, cinta itu akan pudar dengan sendirinya.”
Aku memeluk Ami sebelum meninggalkan mereka berdua, “Kebahagiaan kalian adalah segalanya.”
    “Sampaikan salamku pada Luwi,” kataku, sebelum menutup pintu dan berkemas.

***
Memang benar, segala sesuatu harus dialami untuk bisa dimengerti. Dalam kereta yang membawaku pulang ke Jakarta, aku bersyukur dalam hati untuk cintaku pada Luwi.  Bukan untuk disesali. Ternyata aku bisa mencintai dalam kapasitas yang lebih tinggi, bukan hanya untuk memiliki, tapi sebuah cinta yang bisa melepaskan demi sebuah kebahagiaan, kebahagiaan orang yang kucintai.
   
Cara satu-satunya menemukan kesejatian adalah melalui api ujian dan penderitaan. Semoga Ami mengerti hal ini. Semoga dia menemukan cintanya yang sejati melalui ujian cintanya bersama Luwi. Dan aku, aku sudah menemukan yang kucari…  cintaku tak harus memilikimu.
   
Aku akan segera terbang ke Mentawai untuk menemani Hans dan timnya di sana  selama dua tahun ke depan. Kalau ada waktu terbaik untuk berharap pada diriku sendiri, inilah saatnya. Aku berharap bisa melupakan Luwi. Meski kutahu, harapan itu  mungkin tak akan pernah terjadi.

***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?