Fiction
Rahasia Diri [9]

29 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Sore itu langit terlihat sangat gelap.

“Semoga hanya mendung saja!” kata Troy dalam hati. Sudah 2 hari ini hujan terus menguyur Me­dan. Dari pagi hingga esok pagi lagi. Troy menge­masi sejumlah perlengkapan untuk dibawa ke ru­mah sakit. Pakaian bersih, makanan, dan alat-alat mandi untuk ibunya yang kini tergolek lemah di kamar VIP sebuah rumah sakit.

Sudah dua bulan ini Mira menahan rasa sakit. Sesekali terdengar rintihan panjangnya saat sakit datang mendera. Apalagi, saat ia menggerakkan tubuhnya, meski hanya gerakan kecil.

Tiba-tiba saja kondisi tubuhnya melemah. Suatu siang, saat akan beristirahat, perut bagian bawahnya mendadak terasa sakit. Semula, Troy berpikir, sakit maag ibunya kambuh. Karena itu, ia memberikan obat maag. Namun, obat itu ternyata tidak membantu. Malah, sakit ibunya makin menjadi. Jangankan makan, minum pun sulit. Ia hampir tidak bisa menelan makanan apa pun. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Tubuhnya yang semula segar, kini jadi terlihat sangat kurus. Troy baru diberi tahu bahwa di usus besar ibunya terdapat benjolan besar.

“Siang, Ma!” sapa Troy, sesampainya di kamar tempat Mira berbaring. Dengan penuh rasa sayang diciumnya kening sang ibu. Mira hanya menyunggingkan senyum. Mulutnya malas untuk berbicara.

“Ma, besok kemotrapi lagi, ya!” ujar Troy, mengingatkan.

Mira menggeleng. Sudah 3 kali Mira melakukan kemoterapi. Tapi, ia merasa hasilnya tidak memuaskan. Rasa sakitnya hanya berkurang sedikit.

“Kenapa, Ma? Ini kan untuk kebaikan Mama. Kata dokter, beberapa kali melakukan kemoterapi, bisa membantu pe­nyembuhan. Ayolah, Ma! Katanya Mama ingin ke Jakarta untuk melihat calon menantu. Kalau Mama sudah sehat, kita langsung melamar Vili!” ujar Troy, memberi semangat.

“Troy,” panggil Mira, lemah.

“Ya, Ma!”

“Bisakah kamu membantu Mama?”

“Mama mau jalan? Kata dokter, Mama belum boleh banyak bergerak. Usus Mama kan masih luka.”

“Bukan itu! Mama ingin bertemu dengan Bram dan Henny.”

“Om Bram dan Tante Henny? Nggak salah, Ma?” ujar Troy, terkejut.

Yang ia tahu, selama ini ibunya begitu membenci Bram dan Henny.

“Mama ingin minta maaf. Rasanya, inilah murka Tuhan pada Mama, sehingga Mama mengalami penderitaan ini,” kata Mira, menyesal. Entah mengapa, secara tiba-tiba hatinya tergerak untuk meminta maaf.

“Saya usahakan, ya, Ma! Mudah-mudahan bisa bertemu keduanya,” ucap Troy sungguh-sungguh.

Siang itu cuaca Medan begitu cerah. Seorang pria tua datang tertatih-tatih menggunakan tongkat penyangga. Bibirnya agak miring ke kiri, akibat stroke yang dialami beberapa waktu yang lalu.

“Ma, Om Bram datang!” bisik Troy, di telinga ibunya.

Saat itu Mira sedang tidur. Perlahan ia membuka mata. Samar-samar dipandangnya pria yang pernah hidup bersamanya. Sisa-sisa ketampanan Bram masih terlihat, walaupun rambut putih dan guratan keriput jelas tampak.
“Bram,” panggil Mira, lemah.

“Mira, apa yang terjadi padamu?” tanya Bram, gundah, terlihat sangat prihatin melihat kondisi Mira.

Mira berusaha untuk menyunggingkan senyum. Tapi, rasa sakit itu tiba-tiba kembali datang sehingga Mira merintih lagi.

“Mira,” Bram mengusap tangan Mira untuk memberikan kekuatan. “Sabar, ya!”

Bram tidak tahu harus berbuat apa. Menurut Troy, dokter menyatakan bahwa kondisi Mira sudah sangat parah karena mengalami berbagai komplikasi penyakit. Dokter hanya bisa mengupayakan yang terbaik.

“Bram, maafkan kesalahanku. Aku telah menghancurkanmu dan menghancurkan Henny,” ujar Mira, pelan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu,” ujar Bram.

“Henny di mana?”

Troy dan Bram saling memandang. Keduanya tidak tahu ke mana harus mencari wanita itu. Karena, sejak pergi meninggalkan Henny, Bram tidak pernah lagi menghubunginya dan tidak pernah mengikuti perkembangannya. Ia tidak tahu apakah Henny dalam keadaan sehat atau sakit. Kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap Henny rasanya sulit dimaafkan. Ketika itu, ia merasa begitu membenci Henny. Saat Henny memintanya untuk kembali, ia malah meninggalkannya. Bram tidak tahu, apakah saat itu Mira menggunakan kekuatan magis untuk menguasai dirinya, sehingga ia menurut saja apa yang diminta oleh Mira.

“Diusahakan, ya, Ma!” kata Troy, tidak yakin. Troy sendiri tidak tahu apakah bisa menemukan Henny.

Mira tersenyum. Ia sangat mengharapkan kehadiran wanita itu. Ia ingin sekali minta maaf. Kalaupun umurnya nanti tidak panjang, ia sudah siap, asalkan wanita yang pernah hancurkan, mau memaafkannya. Agar ia tenang saat pulang ke rumah Tuhan.

Memasuki halaman rumah Uli, hati Vivi tidak tenang. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa takut, sekaligus rindu ingin bertemu ibunya. Maukah Mama menjumpai dan memaafkanku? Andaikan Mama mengusirku dan tidak mau bertemu, bagaimana? Menurut Uli, ibunya sering berteriak-teriak memanggil dirinya dan mengatakan semua penderitaannya disebabkan Vivi.

Lalu, bagaimana kondisi Mama sekarang? Masihkah seperti itu? Senang berteriak-teriak? Andaikan ya, Vivi ketakutan juga. Ia masih ragu untuk masuk. Ia tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk kembali menjumpai ibunya. Namun, diketuknya juga pintu rumah Uli. Pelan sekali ia mengetuk. Tidak ada yang membuka pintu. Sekali lagi ia mengetuk pintu. Sekarang lebih keras.

“Siapa?” terdengar suara dari dalam rumah.

“Saya. Vivi.”

“Vivi?” dengan tergopoh-gopoh, Uli yang saat itu sedang menyiapkan makan untuk Henny, berjalan menuju pintu. “Vivi, akhirnya kau datang juga, Nak!” ujar Uli, sambil merangkul keponakannya, yang sudah seperti anaknya sendiri. Tidak terdengar lagi nada suara yang tinggi, seperti yang beberapa waktu lalu didengar oleh Vivi.

“Mama mana, Tante?” tanya Vivi.

Pertanyaan Vivi segera terjawab karena ia melihat ibunya yang menggunakan kursi roda, bergerak mendekatinya.

“Mama!” panggil Vivi. Ia langsung menghambur ke pelukan Henny. Sambil menangis, Vivi lalu bersimpuh di kaki ibunya.

“Ma, maafkan kesalahan saya. Gara-gara saya, Mama jadi menderita!” kata Vivi, penuh penyesalan. Air matanya mengalir deras, membasahi kain sarung yang digunakan Henny.

“Sudah lama Mama memaafkanmu, Nak!” ujar Henny, dengan lembut. Matanya berkaca-kaca. Anaknya yang beberapa saat hilang kini telah kembali. Semangat hidupnya kembali datang. Dulu ia sempat nekat ingin mengakhiri hidup, karena merasa hidupnya sudah tidak berarti. Tetapi, sekarang, Vivi sudah kembali. Mereka sudah saling menemukan.

Vivi lalu mendorong kursi roda ibunya menuju ruang tengah. “Ma, dapat salam dari Troy, calon menantu Mama!” ujar Vivi.

“Troy? Ia sudah kembali? Sudah lama Mama tidak mendengar kabarnya.”

“Troy ada di Medan, Ma. Ibunya kan tinggal di sini. Katanya, ia akan mengunjungi ibunya dulu, baru datang ke Jakarta. Coba saya hubungi dulu, ya. Siapa tahu dia masih di sini,” ujar Vivi, sambil mengambil ponselnya.

“Halo, Troy, kamu ada di mana?”

“Hei, Vi. Aku masih di Medan. Mamaku sedang dirawat di rumah sakit!” suara Troy terdengar sedih.

“Aku juga sedang di Medan. Sakit apa?” tanya Vivi.

“Nanti aku ceritakan. Atau, kamu mau datang menjenguk Mama?” tanya Troy, penuh harap.

“Oh, pasti. Aku akan ke sana.”

Troy lalu memberikan alamat rumah sakit tempat ibunya dirawat.

“Ma, saya mau ke rumah sakit. Membesuk ibunya Troy.”

“Sakit apa?” tanya Henny.

“Entahlah, Troy tidak cerita!”

“Kalau begitu, Mama ikut, supaya bisa sekalian berkenalan!” kata Henny.

“Tante juga!” sahut Uli.

Mereka bertiga pun menuju rumah sakit. Tidak sulit mencari ruangan tempat Mira dirawat. Troy yang sudah mengetahui kedatangan Vivi dan keluarganya, segera menyambut mereka.

“Troy, kenalkan, ini mamaku!” ujar Vivi.

Troy terkesiap. Ia tidak pernah tahu bahwa calon ibu mertuanya berada di kursi roda.

Seakan membaca apa yang ada dalam benak Troy, Vivi menjelaskan, “Mama mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Besok saja aku bercerita tentang hal itu,” kata Vivi, berbisik.


Penulis : Dennise



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?