Fiction
Rahasia Diri [4]

29 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Siang itu udara panas yang menyengat seakan membakar kota Medan. Di sebuah perumahan sederhana, Henny yang sedang mengandung 2 bulan terus menguap. Ia mengantuk. Seharian ini ia lelah. Pekerjaan merapikan rumah yang seharusnya dilakukan oleh Iroh, pembantunya, digantikannya.

Sudah seminggu Iroh minta izin pulang ke Solo untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit. Rasa lelah yang menyelimutinya sejak siang membuatnya terlelap, sehingga tidak menyadari ada tamu tak diundang menyelinap masuk kamarnya.

Tuhan, ampuni hamba-Mu jika harus melakukan perbuatan keji ini. Namun, tidak ada jalan lain yang harus aku lakukan untuk menolong ibuku. Aron membatin. Dadanya sesak. Ia merasa tak sanggup, tapi ia harus melakukannya! Demi nyawa ibunya.

“Si… siapa kamu?” tanya Henny, ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar datang menyergapnya. Tiba-tiba saja tubuhnya diempaskan berulang kali. Bagian belakang kepalanya membentur dinding. Darah segar mengalir dari kepalanya. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya buram. Ia baru menyadari bahwa maut akan segera mengintai nyawanya, jika ia tidak segera bertindak cepat.

Saat itu yang ada dalam benaknya adalah menyelamatkan diri. Sebelum ia membunuhku, aku dulu yang harus membunuhnya. Henny membatin. Setengah sadar, tangannya meraih laci meja di sebelah tempat tidur. Sebuah gunting teraba olehnya. Tanpa pikir panjang, ia menusukkan gunting itu ke tubuh pria tak dikenalnya. Berkali-kali. Yang ia tahu, ia harus selamat, agar bayinya juga selamat.

Suara gaduh dan teriakan minta tolong mengundang warga sekitar datang ke rumah Henny.

“Bu Henny!” jerit Irma, tetangga sebelah rumahnya, histeris. Sebuah pemandangan yang mengerikan. Di depannya dua manusia tergeletak dalam keadaan sekarat. Henny dan pria yang menyerangnya terkulai lemah dengan tubuh bersimbah darah.

Dalam kebingungan, Irma membawa Henny dan Aron ke rumah sakit. Keduanya mendapat penanganan yang sama di Unit Gawat Darurat. Peristiwa sangat menggeparkan itu mengundang polisi untuk menggali lebih lanjut motif di balik peristiwa pembunuhan itu.

Sadar bahwa hidupnya tak lama lagi akan berakhir, sadar bahwa tak ada gunanya berbohong, Aron menceritakan keadaan sebenarnya.

“Saya hanya disuruh untuk membunuh Ibu Henny. Sebenarnya, saya tidak tega, karena saya tahu saat ini ia sedang hamil!” suara Aron terdengar lemah, di antara tarikan napasnya yang tersengal.

“Siapa yang menyuruhmu?” polisi itu membentak.

“Ibu Mira, istri muda Pak Bram, suami Bu Henny!”

“Alamatnya di mana?”

Aron pun memberikan kartu nama Mira. Untunglah, nyawa Henny dan bayi yang dikandungnya selamat. Setelah kondisi tubuhnya berangsur baik, Henny diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Namun, proses hukum tetap berjalan. Apa pun alasannya, ia telah melenyapkan satu nyawa, walaupun saat itu nyawanya juga tengah terancam. Karena menjadi otak rencana pembunuhan, Mira juga ikut mendekam di penjara.

Henny divonis 8 tahun penjara. Jauh lebih ringan dari keputusan hakim yang semula memutuskan 15 tahun penjara. Itu pun dirasakannya berat sekali. Sel penjara itu sangat menyiksanya. Tiga kali Henny berusaha bunuh diri, namun selalu gagal karena ketahuan oleh penghuni lain. Bayi mungil yang dilahirkan Henny terpaksa dititipkan pada Uli, kakak tertua Henny.

Keluar dari penjara, Henny minta izin pada kakaknya untuk mencoba mencari pekerjaan di Jakarta. Setelah berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak, barulah Henny berani mengambil Vivi dan merawatnya sendiri. Selama dalam pengasuhan Uli, Vivi sering bertanya tentang keberadaan mamanya. Uli hanya mengatakan bahwa mamanya akan segera pulang, meski Uli sendiri tak tahu kapan pastinya.

“Majalah Wanita? Apakah saya bisa bicara dengan Tumpak?” tanya Mira.

Inilah kesempatanku menghancurkanmu, Henny. Jangan kira setelah kamu bebas mengirup udara segar, kamu akan berbahagia. Sekarang kamu bahagia. Tapi, besok, kehancuran karier anakmu siap menanti. Aku akan membuka semua aib masa lalumu! Mira berbisik dalam hati.

Setelah disambungkan dengan Tumpak, Mira mulai menjalankan strateginya. “Bapak Tumpak, saya ingin memberikan informasi penting untuk Anda,” suara Mira terdengar bersemangat.

“Informasi penting?”

“Ya, saya baru saja membaca tulisan Anda tentang kisah sukses Vivi Natali. Anda tahu siapa Vivi dan Henny sebenarnya?”

“Yang saya tahu, Vivi anak tunggal. Ibunya dulunya seorang penjahit dan ayahnya pelaut,” jawab Tumpak.

“Anda percaya?”

“Mengapa tidak? Masa, sih, seorang artis seperti Vivi bisa membohongi publik. Kalau ia berani melakukannya, ini akan merusak reputasinya.”

“Bohong besar jika dikatakan bahwa ayahnya seorang pelaut. Karena, Bram, ayahnya Vivi, dulunya adalah suami saya. Semenjak berpisah dari saya, ia jadi pengangguran, luntang-lantung entah di mana.”

“Lalu, apa hubungannya dengan Henny?” tanya Tumpak, bingung.

“Henny adalah istri pertama Bram. Setelah bercerai dari Henny, Bram menikah dengan saya.”

“Berarti, Anda adalah ibu tiri Vivi?” kata Tumpak, menyimpulkan.

“Oh, tidak. Justru saya tidak pernah tinggal serumah dengan Vivi. Karena, Vivi itu lahir di penjara.”

Tumpak terdiam. Bagaimana mungkin Vivi Natali lahir di penjara?

“Maaf, apa sebenarnya tujuan Anda memberikan informasi ini? Jangan-jangan, Anda hanya mencari sensasi agar ikut terkenal,” Tumpak menebak.

“Untuk apa saya mencari sensasi? Saya justru ingin meng­ungkapkan fakta sebenarnya. Karena, Henny Tiurma adalah pembunuh. Ia membunuh Aron!”

“Siapa Aron?”

“Anda bisa berkunjung ke tempat tinggal saya di Medan. Saya akan memberikan informasi yang lebih jelas tentang Henny dan hubungannya dengan saya. Kapan Anda bisa datang?”

“Secepatnya!” kata Tumpak, sambil berpikir keras.

“Baik, saya tunggu,” suara Mira terdengar ramah. Keme­nang­an besar sebentar lagi akan digenggamnya. Dendam puluhan tahun yang selama ini dipendamnya sebentar lagi akan terwujud.

Henny Tiurma seorang pembunuh? Rasanya tak masuk akal. Penampilannya yang keibuan dan tutur katanya yang lemah lembut sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia seorang pembunuh. Pembunuh berdarah dinginkah? Tapi, apa benar?


Penulis : Dennise



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?