Fiction
Pitaloka [9]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Semua kursi sudah terisi, penonton gelisah menunggu waktu bergulir. Ini pertunjukan yang kedua, siang tadi pementasan drama Pitaloka berlangsung mulus. Banyak penonton yang tidak kebagian karcis dan pulang menahan kecewa. Bagi para wartawan ini sebuah berita, bagi tim publikasi Kelompok Teater Bulan Persegi, ini sebuah promosi mujarab.

Di belakang panggung Sulaeman memimpin doa bersama. Para pemain tampil lengkap dengan kostumnya masing-masing. Layar terbuka, suara gamelan yang dinamis pelan-pelan merasuki panggung. Adegan demi adegan berlalu tanpa cela, penonton terpaku di tempat duduknya.

Iring-iringan calon pengantin dari Kerajaan Sunda tiba di alun-alun Bubat, di sebelah utara ibu kota Majapahit. Mereka bermalam dalam tenda-tenda besar di sana. Melepaskan penat, sambil menyiapkan diri untuk sebuah pernikahan agung, yang diharapkan dapat mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Kerajaan Sunda dan Majapahit. Mereka mempunyai leluhur yang sama yaitu Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit yang masih keturunan Sunda.

Para pengagung Kerajaan Sunda sempat mengungkapkan rasa herannya, karena mereka ditempatkan di pesanggrahan berupa perkemahan, bukan di keraton sebagaimana mestinya. Melihat keadaan ini, Prabu Maharaja Linggabuana segera mengutus salah seorang perwira angkatan perang Kerajaan Sunda ke Keraton Majapahit yang diterima oleh Mahapatih Gajah Mada.

Gajah Mada menegaskan, pernikahan akan tetap dilaksanakan, tapi posisi putri Dyah Pitaloka sebagai istri persembahan, menjadi upeti sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda. Sang Patih mengabaikan janji Prabu Hayam Wuruk yang akan menjadikan Pitaloka sebagai permaisuri.

Tentu saja utusan Prabu Linggabuana kaget dan berselisih kata dengan Sang Mahapatih. Secara tegas utusan menolak keinginan tersebut. Bagi Gajah Mada yang haus perang, penolakan ini ditafsirkan sebagai tantangan untuk berperang. Gajah Mada segera menyiapkan pasukannya, sang utusan pulang dengan hati geram.

Walau jumlah pasukannya kalah besar, Maharaja Prabu Linggabuana tetap menghunus perang. Gajah Mada mengerahkan pasukannya, pertempuran hebat tak dapat dielakkan lagi. Rombongan Kerajaan Sunda yang berjumlah sembilan puluh delapan orang semuanya ikut bertempur. Denting keris beradu kujang dan ringkik kuda bergema bersahut-sahutan. Suara teriakan dua pasukan yang berseteru, membuat miris hati siapa saja yang mendengarnya. Jerit kematian maratan langit.

Jumlah pasukan yang tidak seimbang menjadikan perang berlangsung cepat. Menjelang tengah hari peperangan itu sudah usai. Sejauh mata memandang, hanya tubuh-tubuh terkapar bergelimang darah segar. Pitaloka terduduk lunglai, tak jauh dari jasad sang ayahanda. Langit siang memerah, udara terasa panas bagai bara yang tersekam.

Mahapatih menghampiri putri cantik yang diberi julukan wajra atau permata atas pesona kecantikannya yang memukau banyak orang. Ketenaran yang bergema sampai ke negeri lain, bahkan sampai Majapahit. Kini wajah yang cantik itu bersaput duka, selaksa luka yang tiada terperi. Mahapatih mengulurkan tangannya, agar sang putri bangkit dan berkenan melanjutkan perjalanannya ke keraton Majapahit.

Sang putri segera menepiskan lengan kokoh pria bertubuh tinggi besar itu. Sekilas terlihat bekas goresan di pangkal lengan dan dada sebelah kirinya.

Aku berhasil melukainya dalam pertarungan sengit satu jam yang lalu. Racun itu akan menggerogoti tubuhnya perlahanlahan sampai ajal menjemputnya!

Tak mungkin aku melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Kalaupun aku tetap melangsungkan pernikahanku sungguh tak ada guna. Menikahi raja dari seorang patih yang menghabisi Maharaja dan pasukan kerajaanku. Adakah itu wujud dari kesetiaanku pada negara?

Sang putri meraih sebilah patrem yang terselip di balik stagen. Gajah Mada sekuat tenaga berusaha mencegahnya, tapi ia kalah cepat. Pitaloka menusuk lambungnya sendiri. Segera ia menjadi limbung, mengerang sakit bukan kepalang. Kemudian jatuh tersuruk di antara tubuh para pengawalnya yang bergeletak. Darah mengalir, merah dan basah. Suara gamelan dan lengking suling yang halus menyayat memenuhi gedung. Layar ditutup. Tepuk tangan penonton membahana.

Layar dibuka kembali, semua pemain dan sutradara tampil ke depan, memberi hormat kepada penonton. Tepukan itu makin bergema. Layar ditutup. Penonton masih enggan beranjak, dan masih memberi tepukannya. Indrajit celingukan, matanya nanar mencari-cari Lika. Dia tak ada di antara mereka.

Sebuah pikiran buruk melintas, tapi Indrajit berusaha keras menghalaunya. Ia bergegas memburu ke arah panggung. Di depan properti tenda kerajaan, sesosok tubuh masih dalam posisi semula.

“Ka... Lika... kamu sedang main-main ‘kan?”

Tak ada jawaban, di sana orang masih bertepuk tangan

“Lika? Pertunjukan ini sudah selesai, aku akan segera meme­nuhi janjiku.”

Yang dipanggil tetap tak menjawab. Indrajit meraba wajah itu, dingin. Matanya mulai berkaca-kaca. Dirabanya bagian perut Lika. Seharusnya ada kantung darah buatan di sini, tapi sama sekali tak ada. Masih belum percaya, Indrajit mencari patrem. Benda tajam itu ada dalam genggaman yang sudah terlepas.

Indrajit menguncang-guncang tubuh wanita yang dipuja sekaligus dihinakannya. Sia-sia. Ia pun berteriak memanggil nama kekasihnya. Teriakan itu tenggelam dalam suara tepuk tangan yang kian samar. Makin samar, sampai kemudian hilang tak berbekas.

Di luar, malam makin karam, tak ada bulan apalagi bintang. Gerimis tipis serupa jarum menghujan, berpendaran tersentuh cahaya lampu. Kuning keemasan. Wangi tanah lekap tercium, gelisah di antara basahnya rerumputan. Gerimis kian menikam, menghujam malam dengan segenap kekelamannya. Tak ada lagi kata yang dapat menafsirkan risau pepohonan yang kehilangan bunga, sebelum diciptakan. (tamat)

Penulis: Kathrin



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?