Fiction
Pitaloka [2]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Harga diri! Kita bicara soal harga diri yang dipermasalahkan Pitaloka. Bayangkan dirimu berada di lapangan Bubat, kamu satu-satunya yang belum mati di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan. Apa yang akan kamu lakukan? suara Sulaeman menggelegar.

“Tarik napas, buang! Ini bukan sekadar masalah harga diri lagi, tapi eksistensi sebuah negara dipertaruhkan.

Dalam hening, semua terdiam. Merasakan getaran angin dalam sebuah siklus keteraturan yang meneratas lepas dan bias.

“Oke, mari memejamkan mata, tarik napas, tahan perlahan, buang! Tarik napas lagi. Konsentrasi... konsentrasi...! ucap Sulaeman, setengah berteriak.

Para pemain mengikuti aba-aba Sulaeman, suaranya turun naik, terkadang datar, keras lalu melunak, lembut, terkadang mengentak. Semua terpusat menatap pria separuh baya itu. Cambang yang mulai memutih di kedua sisi wajahnya membuatnya terkesan flamboyan.

Senja pun karam, suara serangga malam mulai bersahutan. Latihan usai, para pemain bangkit dari duduknya. Lampu-lampu dipadamkan, tinggal cahaya obor menyalakan kerlapnya.

Lika sedang asyik mengetik. Suasana ruang redaksi yang ramai tidak membuyarkan konsentrasinya. Seorang office boy datang menghampiri.

“Maaf, Mbak, mengganggu. Mbak dipanggil Bapak Willy.

Lika menghentikan pekerjaannya sejenak, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas menggerakkan mouse dan menekan tombol ’save’.

Tak lama kemudian ia berada dalam sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Ada atmosfer kehangatan yang begitu pekat di sini. Seorang pria separuh baya, tampak sedang membolak-balik majalah Srikandi edisi terbaru. Diam-diam Lika memerhatikan atasannya. Mungkin Pak Willy seusia dengan ayahnya. Lika tercekat sesaat. Aku tak boleh terlalu sentimentil, ayahku hanya sebuah nama yang terkubur dalam lubuk hatiku.

“Kelihatannya Mbak Lika punya ketertarikan yang cukup kuat pada masalah wanita. Dalam feature ini ulasanmu cukup menggigit. Mata Pak Willy menyimpan senyum. Lika menahan napas. Ia kira Pak Willy akan menyampaikan sesuatu yang serius atau sebuah teguran atas kinerjanya. Ternyata....

“Terima kasih, Pak. Ya, itu juga karena isu tentang kesetaraan wanita sedang jadi wacana akhir-akhir ini.

“Coba Mbak cari referensi sebanyak mungkin, agar tulisanmu makin bernas. Jangan lupa, Surat-Surat Kartini adalah menu utama yang harus dikuasai.

“Baik, Pak Willy, Surat Kartini nanti saya cari di perpustakaan. Saya hanya punya yang ditulis Pramudya Ananta Toer.

“Saya punya yang lebih lengkap, nanti saya bawakan. Pak Willy meneguk kopinya. “Ada kasus menarik tentang lady parking. Sebuah gagasan agar kaum wanita memiliki area parkir tersendiri di tempat-tempat umum. Coba Mbak gali, masyarakat setuju tidak dengan lady parking ini. Kejar opini mereka, apa nilai positif dan negatif-nya bagi eksistensi kaum wanita.

Lika kembali ke mejanya. Pak Willy memang simpatik dan begitu kebapakan. Dalam hal-hal bersifat formal dia tegas dan praktis, tapi di saat tertentu ia adalah teman diskusi yang akrab, yang mengabaikan batasan antara atasan dan bawahan. Lika dan para wartawan lain merasa nyaman karena Pak Willy juga seorang motivator yang membebaskan mereka berekspresi dan menghasilkan karya terbaik.

Hari menuju ke malam. Suasana ruang redaksi makin sepi, di sebelah sana beberapa wartawan masih bertahan menyelesaikan pekerjaan mereka. Tinggal bunyi musik dan suara tuts keyboard Lika.

Malam baru saja beranjak, belum ada bulan. Teater terbuka Gedung Kesenian itu hanya diterangi nyala obor yang simpang siur dipermainkan angin. Sulaeman marah-marah karena Lika tampil buruk.

“Coba jaga ritme permainan kamu, jangan kedodoran seperti itu!! Sebelumnya, kamu bermain cukup bagus, tapi kali ini anjlok banget. Pemain lain bisa terpengaruh oleh permainanmu.”

Lika diam, dibiarkannya Sulaeman mengeluarkan unek-uneknya. Setelah pemain lain pulang, Lika dan Indrajit harus tetap tinggal.

“Kamu punya masalah yang mengganggu konsentrasimu?”

Lika menatap Sulaeman dalam-dalam, lalu menggelengkan kepala.

“Tidak juga, Pak, mungkin saya terlalu capek. Seminggu terakhir ini banyak deadline yang harus saya kejar.”

“Latihan kemarin lupa dialog dan salah gerak. Sekarang lebih kacau dari yang kemarin.”

Sejurus Sulaeman diam, sebelum meneruskan kata-katanya. “Kalau begini terus, lebih baik pemeran Pitaloka diganti.”

“Saya janji, Pak, latihan berikutnya akan lebih baik.”

Sulaeman beralih pada Indrajit, memberikan beberapa pengarahan. Indrajit menyimak baik-baik ucapan sang sutradara. Mereka pun pamit. Lika pulang jalan kaki, menembus kegelapan malam di antara pohon-pohon yang menaungi jalan.

“Mobilmu ke mana?” Indrajit menjejeri langkah Lika.

“Di bengkel.”

Lika mempercepat langkahnya. Indrajit tak peduli.

“Kamu pergi duluan, deh,” usir Lika.

Senyum di wajah Indrajit segera lenyap tanpa bekas, ia lalu memacu mobilnya. Debu pun beterbangan. Lika melenggang bebas, menikmati suasana perjalanannya. Di kejauhan, Bandung di malam hari menciptakan pemandangan yang memukau. Kerlip lampu yang menyimpan keindahan.

Sambil berjalan pelan, suara Sulaeman masih tersimpan dalam benak Lika.

“Coba resapi karakter Pitaloka. Dia wanita yang kuat, pantang menyerah dan punya prinsip yang kukuh. Di zamannya, dia figur putri mahkota yang dicintai rakyatnya. Bukan hanya cantik secara fisik, dia juga memahami masalah kenegaraan. Hayam Wuruk membutuhkan seorang permaisuri yang cakap untuk mendampinginya memerintah kerajaan sebesar Majapahit.”

Malam makin larut, Lika mempercepat langkahnya.

“Di zaman modern seperti ini, masih banyak wanita yang belum mengenal jati dirinya sendiri, memahami hakikat perannya dalam kehidupan. Sudah baca tulisan Daoed Joesoef, Kyoiku Mama? Ia mengulas pentingnya peran seorang ibu dalam menciptakan kinerja rakyat Jepang, sampai negaranya menjadi raksasa ekonomi yang diperhitungkan dunia.”

Siang itu, di ruangan Pak Willy, Lika menyerahkan naskah berikut CD-nya. Pak Willy melihat sekilas.

“Nanti saya periksa,” ujarnya cepat.

Dia menyilakan duduk, lalu menyodorkan dua buah buku. Satu buku kecil, Kekerasan terhadap Perempuan, dan satu lagi, Feminist Thought. Lika segera menyambutnya, membuka satu dan melihat daftar isinya.

“Hmm... isinya boleh juga. Bapak sudah baca?”

“Isinya bagus. Karya Rosemarie Putnam Tong itu mengulas pemikiran feminisme lengkap dengan sejarahnya. Bawalah kalau mau pinjam!”

Lika menyimpan kedua buku itu di bibir meja. Lalu, mereka terlibat percakapan yang mengasyikkan. Pak Willy selalu menemukan topik pembicaraan yang enak diperbincangkan. Hal yang paling sederhana pun bisa jadi bahan kajian yang bernilai. Seandainya ayahku seperti dia, Lika membatin. Ada rasa rindu berbaur perasaan-perasaan nyeri yang menikam. Aku tak pernah menyukai pria yang melukai hati ibuku, tapi kuakui kadang-kadang aku menginginkan kehadirannya.

Terdengar suara ketukan di pintu. Edo masuk, menyerahkan setumpuk naskah pada Pak Willy. Lika beranjak dari duduknya.

“Saya pamit dulu, Pak.”

“Kenapa cepat-cepat? Masih banyak topik yang menarik untuk kita bahas.”

“Ini, saya mau latihan teater.”

“Kapan dipentaskan? Apa lakonnya ?” tanya Pak Willy antusias.

“Masih lama, Pak. Sekitar dua bulan lagi. Kami akan mementaskan Pitaloka.”

“Pitaloka memang tokoh yang heroik, saya suka karakternya.”

Musik gamelan bertempo cepat mengalun. Sulaeman sibuk memberi arahan ke sana-sini. Adegan peperangan antara pasukan Kerajaan Sunda dan Majapahit yang tidak seimbang berlangsung seru. Teriakan dan gemerincing keris beradu kujang atau perisai memekakkan telinga. Sambil tetap mengamati latihan, Sulaeman berjalan ke arah Lika, lalu berdiri di sebelahnya.


Penulis: Kathrin



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?